Cerpen

Perempuan Penggila Kata

 

            “Arta” orang-orang memanggilnya begitu. Perempuan bertubuh sintal yang biasa bermalam di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) itu adalah dirinya. Setiap orang yang melihatnya pasti akan menatap tajam tanpa mengalihkan pandangan. Penampilannya yang di luar kebiasaan dari kebanyakan perempuan di kampus, menjadikan dirinya pusat perhatian. Rambutnya dipotong pendek 5 cm menyerupai laki-laki. Wajahnya yang kotak dengan sorot mata tajam membuatnya tak sedikitpun seperti perempuan. Ia selalu mengenakan celana pendek dan kaos seksi setiap ke kampus.
            Belum lama ini aku mendapatinya di sebuah ruangan kecil yang pengap. Aku mencari bukuku yang tertinggal di sana kemarin. Sudah kucari berkeliling di ruang sempit itu sampai aku menunduk ke bawah kolong lemari tetapi, tak jua kutemukan buku yang dicari. Arta tak menghiraukanku yang masih sibuk mencari buku. Sementara dengkuran perempuan itu semakin menggema memenuhi ruangan yang dijadikan sekretariat sebuah bengkel penulisan sastra di kampus itu
            Aku masih sibuk mencari buku. Aku butuhkan buku itu sekarang. Bukan karena penulisnya adalah orang-orang yang aku kenal dan pernah mengisi segmentasi hidupku meski dalam sepenggal waktu. Namun, buku itu sangat berharga bagiku. Aku duduk menyandar pada dinding putih dengan kaki selonjor.
            “Hei, kamu ada di sini? Kenapa gak bilang. Aku dari tadi sms kamu gak dibalas, telepon juga gak diangkat”. Lelaki itu datang dengan memberodong pertanyaan.
            “Dari tadi di sini?” lelaki itu menyerangku dengan pertanyaannya lagi. Padahal pertanyaan sebelumnya belum sempat kujawab.
            Aku masih diam. Pikiranku bukan pada pertanyaan-pertanyaan yang menyerangku seenak lidahnya. Namun, aku masih fokus pada pencarian bukuku yang hilang.
            Hari itu memang hari libur. Sehingga tak ada orang yang silih berganti memasuki PKM yang bisa kutanyai tentang keberadaan bukuku. Di hari wekend tak banyak mahasiswa datang ke kampus. Jika tak ada mata kuliah atau dosen yang tak hadir karena sibuk, mereka girang bukan kepalang. Kemudian keluar kelas untuk jalan-jalan ke Mall atau nonton bioskop. Wilayah kampus yang tampak masih berpenghuni adalah area hotspot bermeja di samping Rektorat. Tadi saja, ketika aku datang ke ruangan sempit ini, jalanan tampak lengang tak seperti biasanya. Aku merasa asing di sini, meski jalan ini sudah biasa kutelusuri. Tetapi, kali ini berbeda. Tak ada kendaraan terparkir di depan gedung perkuliahan, atau mobil-mobil dosen dan mahasiswa dengan berbagai merk yang biasanya masih tampak mentereng di malam hari.
            Sementara aku yang sudah empat tahun kuliah di kampus negeri satu-satunya di Provinsi Banten ini, masih saja jalan kaki seperti pertama kali aku masuk kuliah.
“Hei, kok ditanya malah melamun?” Suara lelaki yang tak seberapa keras itu mengagetkanku karena tangan kasarnya sudah mandarat di bahuku.
“Eith... don’t touch me ox!” kataku sambil menyingkirkan lengannya dari bahuku.
Aku masih diam, aku takut dia tahu bahwa buku yang ia berikan padaku hilang. Ini kesalahanku. Aku yang lalai, aku yang lupa ketika kemarin membiarkan banyak orang menyentuh dan membacanya sekilas. Perpindahan tangan itu jadi sulit dideteksi siapa nama pemegang terakhirnya. Karena orang itulah yang menurutku mesti bertanggung jawab.
“Maafkan aku teman, aku tak sengaja” aku membatin.
Ketika kata maaf itu hampir kulontarkan kepadanya, dia sudah lenyap dari hadapanku tanpa berpamitan. Perasaanku semakin dikusai rasa bersalah.
Tiba-tiba saja HPku yang hanya berisi dua lagu itu berbunyi. Bukannya pelit, tetapi karena memori HP ku yang memang tidak cukup memuat banyak lagu MP3. Aku sudah mati-matian menghapus semua data yang tidak penting termasuk foto-foto dan pesan-pesan singkat dari lelaki yang sekarang sudah kuanggap mati. Tetapi tetap tak bisa dipaksakan, yang ada hanya ucapan maaf dari operator karena memori tidak cukup. Aku jadi aneh melihat teman-teman lain yang begitu bangga memiliki HP keluaran terbaru, “blackbarry, i-phone” katanya yang bisa memuat banyak lagu, menyimpan banyak foto dan video. Tetapi ada saja yang membuatku miris karena mereka biasanya lebih royal menghabiskan banyak uang untuk shoping di Mall dibandingkan membeli buku. Sampai-sampai buku dalam rak pustakaku hampir dikuras oleh mahasiswa-mahasiswa yang enggan mengeluarkan modal untuk kuliah atau membeli sebuah buku pun susah.
***
“Maaf, aku harus pergi. Orang rumah memintaku untuk segera pulang, tnx”. Kata-kata itu yang tertera dalam layar HPku.
Pikiranku masih terasa penat mengingat buku itu. Hatiku merasa sangat gelisah jika mesti kehilangan buku itu. Aku membayangkan lelaki yang memberi buku itu pasti akan marah besar karena kelalaianku. Ini memang bukan yang pertama kalinya aku kehilangan buku. Sudah dua atau tiga kali buku pemberiannya hilang. Sungguh, aku tidak sengaja. Yang pertama dipinjam teman dan tidak dikembalikan sudah sejak lama dengan alasan lupa menyimpannya, lalu kedua buku teori skripsi yang sangat aku butuhkan dan ia belikan ketika Pesta Buku di Jakarta, hilang begitu saja di Masjid kampus selepas aku sholat dhuhur. Entah bagaimana ceritanya, yang jelas aku letakkan buku itu di bawah tasku, tetapi ketika aku selesai sholat buku itu sudah raib. Dan yang terakhir, buku ini. Bagaimana nasibnya ya?
“Aku ceroboh, aku pelupa. Pantas saja teman-teman menjulukiku ‘si nenek’ karena apapun yang aku genggam pasti terlepas begitu saja. Parahnya aku sulit mengingat kejadian-kejadian sebelumnya kecuali hanya pusing ketika sel-sel dalam otakku seolah berontak untuk mereview kejadian yang telah terlewatkan.
Ruangan ini terasa semakin sesak, tanpa AC terasa semakin pengap, padahal hanya ada dua orang: aku dan perempuan gelo itu. Sirkulasi di ruangan ini memang tidak cukup baik. Bayangkan, ruangan yang terletak di bawah tangga, dibangun dengan triplek dan kayu seadanya. Seperti rumah-rumah gubuk yang berjajar di belakang terminal. Atau rumah kardus di bantaran kali belakang kampus.
Meski demikian, dengan kreativitas sang ketua, ruangan ini disulap dengan cat luar berwarna hitam dan cat dalam yang bernuansa pink. Perpaduan yang aneh menurutku. Kata sang ketua, ruangan ini merupakan cerminan dan luapan gaya anak-anak sastra. Penampilan luar bukan berarti dapat mencerminkan dalamnya otak dan hati seseorang. Di luar boleh hitam, legam dan pekat, seperti dalamnya pikiran yang tak satupun orang bisa menjangkaunya. Lalu hati orang-orang sastrawi akan tetap penuh cinta dan kasih sayang dengan balutan warna pink. Katanya demikian.
Apapun yang ada di ruangan itu aku suka, meski ruangannya tak rata seperti PKM lain, struktur bangunannya mengikuti ruangan gudang bawah tangga yang serupa segitiga tak beraturan. Aku betah berada di ruangan penuh buku itu. Ah, yang benar saja. Sudah sejam aku berada di ruangan itu, perempuan gelo bergaya seksi itu masih tidur dengan nyenyaknya. Sebatang rokok starmild dengan abu yang sudah terkumpul disertai asap yang masih mengepul ketika aku datang kini sudah tak bernyawa. Puntung rokok itu terbujur datar di atas asbak kaleng bekas minuman ringan yang dibelah dua lalu di lem sehingga bentuknya lebih kecil dari aslinya. Tubuh perempuan itu menggeliat-geliat.
Kulihat kedua mata perempuan itu masih terpejam. Dibalikkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Tampaknya ia sedang bermimpi atau mengigau. Aku tak peduli pada ruang bawah sadar perempuan gelo itu. Mataku tertancap pada buku yang tertekuk dua dengan kertas yang terlipat-lipat tak beraturan.
“Ini bukuku” aku sontak berteriak seraya menarik buku yang terhimpit oleh payudaranya yang padat.
Ternyata perempuan gelo ini cukup sensitif.
“Heh, ngapain lo? Mo macem-macem ma gue, mentang-mentang gue lagi tidur lo berani ma gue. Gue mah gak nafsu sama perempuan, gue masih normal” Dia terus memaki dengan sorot matanya yang merah.
Perempuan gelo itu masih memaki berapi-api ketika tak sengaja tarikan bukuku menggeser tali bajunya hingga terlepas. Dadanya jadi terbuka.
“Maaf Ta, aku gak sengaja. Aku cuma mau ngambil buku ini”.
“Enak aja lu main ambil, buku itu belum selesai gue baca, gue lagi bikin esai tentang cerpen-cerpen instan yang ada di buku itu. Mo gue bantai!” tambahnya.
“Eh, Ta. Kamu mimpi ya?’
“Udah tidur lagi aja, aku cuma mo ngambil buku ini, suerr” Aku kemudian berlari menjauh dari Arta.
Hei, sia. Ngeganggu bae.”
Suara perempuan gelo itu memecah ruangan, tetapi tak kupedulikan. Aku terus melaju mengambil langkah seribu menjauh dari Arta.
***
            Semenjak kejadian itu, aku jadi malas ke PKM. Aku lebih sering ke perpustakaan kampus yang isinya itu-itu saja. Bukunya itu-itu saja, pengunjungnya itu-itu saja, dan tentunya penjaganya juga itu-itu saja. Setelah bosan di perpustakaan, aku duduk di kantin dan memesan pecel yang ada di pojok kantin kampus.
            Aku sendiri duduk di sana. Berada agak jauh dari tempat duduk yang penuh di pojok sana. Tampak perempuan-perempuan bergaya seperti cewek metropolis. “Inikah Banten yang sekarang? Inikah cara mereka mengekspresikan kebebasan, inikah yang namanya modern?” Aku terus menggerutu sambil memainkan HP yang jadul itu.
            “Teh, kok sendirian?” tiba-tiba Purna -- adik kelasku menghampiri dengan muka kusutnya.
            “Aku lagi pesen pecel, laper. Kamu udah pesan makanan Na?”
            Kami duduk berdua dan berbincang banyak hal tentang apapun yang pernah kami alami akhir-akhir ini.
            “Itu bukannya Mely, teman sekelasmu kan?” Tanyaku penasaran pada Purna.
            Iya, mereka mah kalau di luar gak kayak temanlah teh. Lihat aja tingkahnya. Abnormal, malu-maluin aja!” Purna menunjuk-nunjuk mereka dengan sinis.
            Aku menyaksikan mereka asyik berpelukan dengan pacar-pacar mereka. Belum lagi di tangannya terselip sebatang rokok yang dihisap secara bergantian oleh perempuan-perempuan yang mengaku modis itu.
            “Anak pendidikan kok kelakuan kayak anak nondik. Gimana jadinya muridnya nanti? Berandal semua”. Kata-kata yang terlontar dari mulut Purna semakin ketus.
            “Emang, sekarang anak-anak pendidikan banyak yang gitu ya? Mereka cantik, tapi...” aku menunduk.
            “Yah, gitulah FKIP. Bhineka Tunggal Ika. Yang jilbaber mah banyak, yang maksiat juga ngebeludak. Udah ah teh, cuape ngomongin orang mulu mah. Oya, Teteh dicariin Kang Sapar tuh di PKM. Katanya mo ngelayout majalah”.
            “Ada siapa di PKM?”
            “Yah, biasa. Ada Arta yang masih molor. Jam segini kan waktunya tidur, kalo malam tuh baru dia keliaran kayak kelelawar. Nongkrong di Terminal Pakupatan kalau gak di Stadion Maulana Yusuf atau paling banter di Alun-Alun Serang. Katanya mencari ruh kehidupan. Sableng tuh orang”.
            “Emang sableng, saudaraan kayak temanmu tuh” Aku mengarahkan pandanganku pada teman-teman sekelas Purna yang tertawa cekikikan sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara.
            Perempuan merokok memang sudah jadi pemandangan yang biasa di Kantin Kampus. Masalah moral adalah urusan masing-masing katanya. Di jajaran meja kantin itu saja bisa mencapai sepuluh orang perempuan merokok. Merokok itu dapat menyebabkan kanker, bla-bla, hanya tinggal slogan.
            “Oya Teh, udah tahu kan kalau Arta itu sebenarnya sudah punya anak? Teteh tahu gak anaknya ditaruh di mana? Digugurkan, dititipkan atau dibunuh ya? Hmemmm... Aku, Vivi dan teman-teman lainnya pernah ngeliat kalau perutnya Arta itu tadinya buncit seperti orang hamil 5 bulan gitu. Sudah satu semester kan dia menghilang, jadi wajar kalau sekarang udah kempes lagi. MBA (Marriage By Accident) Teh, gak tahu tuh Bapaknya siapa. Huh...”
            “Aku kembali mengingat-ingat. Kalau beberapa waktu lalu, Arta memang mengeluh kalau ia selalu mengalami pendaharan. Hmem...” Aku berpikir keras.
            Julukan Banten sebagai kota santri ini jadi sulit untuk dimutlakkan kebenarannya, waktu itu saja satpam patroli malam-malam sampai menemukan kondom di kamar mandi. Belum lagi ada mahasiswa yang kepergok sedang berhubungan intim seperti Ariel dan Luna Maya, dengan landasan suka-sama-suka katanya. Fakta yang ada dari cerita-cerita teman sekelas paling tidak mereka sudah pernah merasakan dikiss atau ML sama pacarnya, atau minimal membebaskan tubuh dan hasratnya.
            “Ini Banten, bukan Jakarta. Tapi arus modernitas seolah telah mengubahnya menjadi pergaulan remaja yang bebas tanpa diimbangi dengan koridor agama” seloroh Purna.
            Setelah makan, aku dan Purna menuju PKM untuk menyelesaikan editan majalah. Aku menyaksikan Arta sedang serius pada laptopnya. Seperti malam-malam sebelumnya, ia tak peduli pada keadaan sekelilingnya. Kecuali ketika kopi dan rokoknya habis dihisap, ia baru beranjak dari hadapan laptop untuk membelinya dan kembali berkutat dengan kata-kata dengan alur imajinasi dalam otaknya. Sebulan ini ia memang telah merampungkan novelnya. Bahkan ia sudah meminta endorsmen dari dosen sebagai apresiasi karyanya.
            Diam-diam aku kagum pada perempuan gelo ini, perempuan pabrik kata-kata, perempuan yang mahir berbahasa Inggris dan dia memang gila, gila pada baca dan kata. Jangan tanyakan tentang kuliah padanya, karena aku akan lulus mendahuluinya meski aku adik kelasnya. Urungkanlah niatmu seperti aku yang juga mengurungkan niatku untuk bertanya; “Apakah kau masih perawan, Ta?”
    
Nita Nurhayati, 10 Juli 2010-16 Desember 2015


Dimuat pada Tanggal 18 Desember 2015
 

Komentar