Kritik
Sosial dalam Puisi-Puisi Taufiq Ismail
Oleh:
Nita Nurhayati
Puisi merupakan ungkapan isi hati. Ini
merupakan definisi singkat tentang makna sebuah puisi. Puisi juga merupakan respon terhadap situasi sosial yang
terjadi di sekelilingnya. Puisi itu harus membumi menurut Arip Senjaya, membumi
seolah-olah mesti menapak kehidupan. Puisi bukan sekedar imajinasi belaka. Menulis
puisi bagi penyair berarti juga merupakan ekspresi kreatif, dan estetis untuk
menanggapi, menafsirkan, dan mengkritisi kehidupan sosial. Puisi dapat lahir
dari sebuah perenungan. Wan Anwar menyebutkan bahwa menulis puisi butuh
kontemplasi bukan instan. Apabila sebuah puisi dilahirkan secara instan, maka hidupnya
sebuah puisi juga akan instan. Realita demikian terjadi pada puisi-puisi karya
Taufiq Ismail.
Kita sebut saja salah satu judul puisi
Taufiq Ismail yaitu Sajadah Panjang.
Puisi ini popular karena liriknya didendangkan oleh Bimbo dan selalu
diperdengarkan terutama ketika bulan Ramadhan. Puisi yang berjudul Sajadah Panjang ini ditulis pada tahun 1984, jika dihitung usianya sudah
mencapai 25 tahun. Namun, Sajadah Panjang
tidak lekang dimakan usia hingga saat ini. Apabila dikaji secara tekstual, maka
puisi yang tergolong bernuansa religius ini tidak hanya hasil sebuah
kontemplasi. Bukan hanya sekedar sebuah himne, melainkan di dalamnya sarat
amanat yang lebih jauh akan membuat orang sadar akan kualitas ibadahnya.
Dalam totalitasnya puisi-puisi tertentu
seringkali menunjukkan adanya relevansi sosial. Di zaman yang serba modern ini,
orang-orang lebih banyak terbuai dengan teknologi internet terutama facebook. Mengingat adanya pergeseran
zaman, jarang sekali ditemukan banyak ‘Hamba
tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini’ Kita hanya menyaksikan
hamba yang lanjut usia atau yang masih ingusan di atas sajadah panjang. Keadaan
tersebut merupakan realita sosial yang biasa terjadi di masjid-masjid megah
daerah perkotaan.
***
Kritik
Sosial dalam Sajadah Panjang
Pada Jumpa Sastrawan bersama Taufiq
Ismail yang diadakan Hima Diksatrasia Untirta, penulis puisi berjudul Sajadah Panjang ini memaparkan kisah nyata dengan sangat ekspresif. Taufiq
Ismail bercerita tentang buku kumpulan puisinya yang ditemukan di antara
puing-puing reruntuhan gempa Sumatera Barat. Awalnya saya yang mendampingi
beliau menuju Auditorium Untirta, tempat diadakan Jumpa Sastrawan tersebut
merasa heran melihat tas kecil yang berisi bungkusan koran lusuh. Taufiq Ismail
meminta saya untuk membawakannya, sebenarnya saya teramat heran, namun segan
untuk bertanya pada pelopor puisi angkatan ’66 ini. Ternyata di dalam Koran tersebut
terdapat kumpulan puisi Taufiq Ismail.
Dengan sangat emosional Pak Taufiq
bercerita tentang ditemukannya buku itu, berbagai kejadian aneh tidak dapat
dielakkan. Terdapat lipatan kertas pada lembar puisi “Sajadah Panjang”.
Sesekali air matanya menitik ketika bercerita, ternyata Padang merupakan kota
metropolitan yang gaya hidupnya tak jauh dari Jakarta. Layaknya kota-kota
besar, maksiat bukanlah menjadi hal yang tabu menurut Taufiq Ismail. “Langit akhlak rubuh, di atas negeriku
berserak-serak” seperti dalam gambaran puisi berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Realita sosial ini merupakan
sebuah peringatan bagi manusia sebagai makhluk Tuhan yang masih diberi
kesempatan untuk introspeksi diri. Lebih jauh bagi Taufiq Ismail, standar pokok
dalam estetika kesenian juga dalam kesusastraan adalah “Mengingatkan para
pembacanya kepada Sang Pencipta”.
Airmata
pada Rindu Rasul
Ada hal yang lebih mengharukan lagi
ketika Jumpa Sastrawan bersama Tuafiq Ismail, beberapa peserta Jumpa Sastrawan serentak
menundukkan kepala tanpa aba-aba. Hal ini terjadi ketika seorang Dosen yang juga
musisi yaitu Firman Venayaksa menyanyikan lagu “Rindu Rasul”. Seperti kita ketahui bahwa Rindu Rasul merupakan
salah satu puisi Taufiq Ismail yang digubah menjadi musikalisasi puisi oleh
grup musik Bimbo. Sama halnya Sajadah
Panjang, jika Sajadah Panjang lebih
kental pada unsur religiusitas yakni sisi vertikal antara hamba dengan
Tuhannya. Maka Rindu Rasul merupakan pengejewantahan dari seorang suri tauladan
yang saat ini sulit kita temukan.
Dalam dunia politik yang penuh intrik,
banyak cara dihalalkan demi mendapatkan kekuasaan. Dinamika sosial yang
heterogen membuat tidak sedikit kalangan yang haus akan kekuasaan. Baru-baru
ini politik taktis dilaksanakan dalam pesta rakyat 2009. Pemilihan Presiden tidak
jarang menguras kantong pejabat demi mendapatkan kursi di Pemerintahan.
Beberapa oknum berseliweran sebagai tim sukses agar calon andalannya
mendapatkan suara terbanyak. Masalah Pemilihan Umum dan manipulasi suara yang
terjadi di dalamnya sampai soal memusuhi, menyingkirkan, dan membunuh menjadi
tema sosial yang dibahas dalam beberapa puisi Taufiq Ismail.
Jika manusia dianggap makhluk paling
sempurna dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya, maka Nabi Muhammad, Rasulullah SAW
lah yang merupakan manusia paling sempurna hingga akhir zaman. Berlinangan airmata
menahan kerinduan pada sosok pemimpin seperti Rasulullah. Dengan demikian,
Taufiq Ismail berusaha menuangkan kerinduannya kepada Rasul tercinta dalam
puisi tersebut.
Melihat kenyataan tersebut, puisi tidak
hanya sebuah produk inspirasi, melainkan sebuah pencarian kebermaknaan hidup.
Puisi tidak akan lepas dari realitas sosialnya. Walaupun sebutlah sebuah puisi
kamar yang berkutat pada eksplorasi masalah privasipun tidak lepas dari masalah
sosial. Jika seseorang mengutarakan isi hati, lalu membuat puisi cinta dan yang
sejenisnya. Maka puisi tersebut juga merupakan respon terhadap kegiatan sosial. Dalam hal ini ada interaksi
antarpersonal meski dalam bentuk tulisan. Manusia merupakan makhluk Zoon Politicon
menurut Aristoteles. Manusia tidak dapat hidup sendiri, seperti halnya sebelah
kaki tidak akan mampu menopang tubuh seseorang. Akan jadi seimbang dan kukuh apabila
keduanya utuh.
Kritik
Sosial yang Menyuarakan Aspirasi Mahasiswa
Satu kesatuan tubuh sama halnya seperti
sebuah komponen puisi, akan selalu mengalir bersama fenomena sosialnya. Penulis
tertarik dengan sebuah puisi seperti berikut.
TAKUT
’66 TAKUT ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.
1998
Puisi tersebut di atas menjadi
inspirasi untuk teguh mengadakan jumpa sastrawan bersama Taufiq Ismail. Dengan
berbagai keterbatasan fasilitas, namun puisi inilah yang menjadi pembakar semangat
panitia. Para panitia harus berebut Auditorium dengan Dosen Untirta tepatnya
LPPM yang mengadakan Seminar Penelitian Dosen. Kami sadar bahwa mahasiswa takut pada dosen. Jabatan
struktural memegang kewenangan dalam hal kebijakan. Ucapan lisan antara atasan
dengan atasan akan jadi lebih formal dan dianggap resmi dibandingkan prosedural
yang ditempuh mahasiswa. “Mahasiswa harus punya etika”, pola pikir seseorang
akan dinilai dari attitude dan
kepribadian yang ditampilkan. Lagi-lagi benturan birokrasi merupakan lahan
panas bagi seseorang yang tak punya wewenang.
Mengapa mesti berlindung di bawah
selimut mahasiswa yang kewajibannya hanya kuliah tanpa organisasi, tanpa
memiliki ambisi untuk sekedar mencicipi suramnya rimba kehidupan. Kepekaan itu
membangkitkan kepedulian akan pentingnya arti berjuang. Karena terus menerus
terkungkung dalam ketakutan adalah kebinasaan. Toh, akhirnya pemegang kekuasaan tertinggi -- dalam hal ini
presiden pun takut pada mahasiswa.
Dengan kesempatan yang sangat ekslusif
penulis langsung bertanya pada Taufiq Ismail, mengapa bisa menulis puisi
tersebut. Taufiq Ismail hanya tersenyum sambil menjawab, “ya, begitulah adanya” Sebenarnya makna puisi tersebut tidak
sesederhana liriknya. Sebuah tingkatan tangga yang membawa kita menapaki langit
yang kemudian ada kalanya kita harus menapak di bumi.
Puisi berjudul “Takut ‘66, Takut ‘98”
tidak hanya jadi saksi sejarah pada masa orde lama, pemberantasan PKI dan
hancurkan tirani. Hingga ada jargon: Bangkit,
Lawan, Hancurkan Tirani! pembakar semangat mahasiswa. Kemudian, Takut ’98
merupakan implementasi dari masa orde baru tahun ‘98. Kita pasti masih ingat
dalam benak bahwa Presiden Soeharto digulingkan oleh mahasiswa ketika korupsi
merajalela dan krisis moneter menjerat leher rakyat.
Mahasiswa yang dielu-elukan sebagai agent of change sesungguhnya memiliki
kekuatan maha dahsyat jika mau berjuang di jalan yang benar. Bukan berarti
menjelmakan diri sebagai pahlawan atau pejuang ’45 yang semangatnya membara
dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi memang terasa lebih sulit
mempertahankan kemerdekaan dibandingkan mendapatkan kemerdekaan. Jika dahulu
rakyat Indonesia berperang dengan parang, bambu runcing dan senjata seadanya.
Tapi, saat ini rakyat Indonesia terutama generasi muda mesti berperang dengan
logika, perang yang ada adalah perang ideologi.
Lalu,
bagaimana caranya memenangkan peperangan dalam hal ideologi, maka Taufiq Ismail
punya jawabannya. Jawaban ini tidak hanya berlaku pada seseorang yang ingin
berkarya atau menjadi penulis besar saja. Melainkan bagi para pemenang dalam
dilematis kehidupan. Kuncinya adalah Baca,
baca, baca. Tulis, tulis, tulis. Dalam buku Taufiq Ismail: Karya dan
Dunianya karya Suminto A. Sayuti dituliskan bahwa Taufiq Ismail yakin akan membaca merupakan mata air pencerahan bagi
manusia. Karena kebiasaan membacalah yang menyebabkan Taufiq Ismail menjadi
mudah menulis. Kegiatan membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Jika gajah mati meninggalkan gading, maka manusia meninggal
meninggalkan karya. Karya yang akan selalu dikenang sepanjang masa.
Salam Gairah Literasi Sastra, 31
Januari 2010
Nita
Nurhayati, Ketua Hima Diksatrasia 2009
Komentar
Posting Komentar