LELAKI TUA DAN LAUT DALAM DUA TERJEMAHAN
Lelaki
Tua dan Laut karya Ernest Hemingway yang telah
diterjemahkan banyak orang dari berbagai negara. Termasuk di Indonesia, dua
terjemahan versi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono dan
Dian Vita Ellyati. Sebuah karya yang diterjemahkan oleh dua orang dengan latar
belakang yang berbeda menimbulkan pengungkapan yang berbeda. Dengan demikian,
perlu dikaji tentang persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam kedua
terjemahan tersebut.
Persamaan
Lelaki Tua dan Laut
dalam Dua Terjemahan
Dua terjemahna Lelaki Tua dan Laut ini, baik yang
ditulis oleh Damono maupun Ellyati, keduanya menceritakan tentang filosofi
hidup. Pandangan tokoh yaitu Santiago dalam menghadapi hidup amat kental dalam
novelette ini. Lelaki Tua dan Laut
menceritakan tentang kehidupan yang dapat diibaratkan sebagai laut. Tokoh
Santiago memandang laut sebagai bentangan jarak yang luas, seperti halnya jarak
antara harapan dan kenyataan. Pekerjaan Santiago sebagai pemancing membutuhkan
kesabaran dan penantian yang panjang yang direnungkan sebagai harapan guna
mencapai makna kehidupan.
Santiago
tak henti-hentinya memancangkan harapan akan tangkapan ikannya. Ikan dijadikan
sebagai simbol harapan dari sebuah penantian. Keberadaannya dilaut menaklukkan
ombak dapat diibaratkan sebagai sebuah keberanian untuk menaklukkan tantangan.
Ombak dalam kehidupan Santiago seolah seperti pasang surut kehidupan
masyarakatnya ketika ada yang lahir dan ada yang menemui kematian.
Laut
bagi Santiago, selain menyuguhkan ketenangan juga menyimpan bahaya. Dari cerita
ini, kita dapat belajar tentang keberanian seseorang dalam menantang hidupnya
di laut lepas yang ganas. Keteguhan Santiago menghadapi kehidupan di laut, yang
harus berjuang mengangkat beratnya ikan Marlin dan buasnya ikan hiu menandakan
bahwa tantangan hidup memang harus dihadapi. Santiago digambarkan sebagia
lelaki penyendiri, meski kadang-kadang ditemani oleh Manolin (lelaki muda yang
pernah melaut bersamanya), namun hidup Santiago lebih banyak dihabiskan dalam
kesendirian.
Kesendiriannya
ini merupakan pelarian dari kehidupan masyarakat yang hiruk-pikuk. Ia memilih
untuk memancing untuk mendapatkan ketenangan hidup. Meski demikian, dalam
usianya yang senja, Santiago seolah ingin membuktikan pada masyarakat yang
memandangnya sebelah mata bahwa dirinya kuat dan perkasa. Di hari 85, Santiago
akhirnya mendapatkan tangkapan ikan, dan ia berhasil membawa pulang ikan hiu.
Pencapaian menurut Santiago adalah sebuah kerja keras, usaha yang maksimal,
berani menaklukkan tantangan dan keteguhan hati dalam mencapai harapan.
Makna
Filosofi Kehidupan dalam Lelaki Tua dan
Laut
Dari
dua terjemahan Lelaki Tua dan Laut tersebut,
dapat kita ambil beberapa makna kehidupan yang terdapat di dalam teks antara
lain:
1.
Hidup harus dijalani dengan kerja keras
dan pantang menyerah
Ia
seorang lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap ikan di Arus
Teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan puluh empat hari lamanya tidak
berhasil menagkap seekor ikan pun. (1983: 5, terj.
Damono).
Depalan empat puluh hari bukanlah
waktu yang sebentar, namun Santiago tetap berusaha untuk mendapatkan hasil
memancingnya, walupun selama itu ia tak dapat seekor pun ikan.
2.
Berani menjalani kehidupan
Lelaki
tua itu memandanginya dengan bola matanya ynag terbakar matahari menyiratkan
hati yang penuh perasaan sayang dan percaya diri.
“Andai
saja engkau adalah anakku sendiri, aku akan mengajakmu keluar dan bertaruh,” ia
berharap. (2009: 7, terj. Ellyati)
3.
Hidup dengan harapan
Jika
saja mereka tidak berenang terlalu cepat aku akan menagkapnya, pikir lelaki tua
itu (2009:
33, terj Ellyati).
4.
Menjalani hidup dengan penuh kesabaran
Disandarkan
dirinya baik-baik pada kayu dan diterimanya saja penderitaannya sedangkan ikan
itu berenang dengan tenang dan perahunya meluncur perlahan-lahan membelah air
kelam (1983: 61, terj. Damono).
5.
Hidup adalah Laut
Ia
selalu menganggap laut sebagai ‘la mar’ yakni nama yang diberikan oreang-orang
dalam bahasa Spanyol kalau mereka meencintainya. Kadang-kadang mereka yang
mencintainya suka mencaci makinya tetapi semua itu diucapkan seperti kepada
seorang perempuan. Beberapa nelayan yang lebih muda, yang menggunakan pelampung
pada tali pancingnya dan yang memiliki perahu motor yang dibeli dengan uang
hasil penjualan hati ikan hiu menyebut laut ‘el mar’ yakni berjenis laki-laki.
Mereka itu menganggap laut sebagai musuh. Tetapi lelaki tua itu selalu
menganggapnya sebagai perempuan atau sebagai sesuatu yang member atau menyimpan
anugerah besar, dan kalaupun laut menjadi buas dan jahat, itu karena terpaksa
saja. Bulan berpengaruh ats perangainya seperti halnya atas perempuan, pikir
lelaki tua itu. (1983: 26, terj. Damono)
6.
Berdoa untuk mencapai ketenangan hidup
“Aku
bukan orang sholeh,” katanya. “Tetapi akan aku ucapkan Bapa Kami sepuluh kali
dan Salam Maria sepuluh kali kalau ikan ini tertangkap,…”
Sehabis
mengucapkan doa, dan merasa jauh lebih baik, tetapi penderitaannya tak
berkurang sedikitpun, bahkan barangkali bertambha, ia bersandar pada kayu
haluan dan mulai menggerak-gerakkan jari-jari tangan kirinya
(1983: 61-62, terj. Damono).
7.
Strategi dalam Hidup
Sekarang
aku harus berpikir tentang tarikan tali ini, pikirnya. Ada bahayanya tetapi
juga ada untungnya. Kalau dayung-dayung itu berhasil memberati perahu sehingag
ikan itu mengamuk, tali-tali ini bisa berulur panjang dan ia akan lepas
(1983: 73, terj. Damono).
8.
Hakikat manusia dalam kehidupan
“Tetapi
manusia tidak diciptakan untuk ditaklukan,” katanya. “Seorang manusia dapat
dihancurkan tetapi tidak ditundukkan” (2009: 100, terj.
Ellyati).
9. Pencapaian
hidup
“Samudra
begitu luas dan sebuah perahu hanya begitu kecil dan sulit ditemukan,” kata
lelaki tua itu. Ia merasakan betapa bahagianya bisa bercakap kepada seseorang
dan tidak hanya kepada diri sendiri atau kepada laut. “Aku rindu padamu,”
katanya. “Apa hasilmu?”
“Hari
pertama seekor. Hari kedua seekor dan dua ekor pada hari ketiga.”
“Bagus
sekali.” (1983: 124, terj. Damono).
10. Keberterimaan
atas takdir hidup
Apa
yang bisa kupikirkan sekarang? Pikirnya. Tak ada. Aku tak boleh memikirkan
apapun dan menunggu serangan berikutnya. Aku berharap semua ini benar-benar
hanya mimpi, pikirnya. Tetpi siapa yang tahu? Mungkin setelah ini keadaan akan
membaik. (2009: 108, terj. Ellyati)
Dari
penafsiran atas makna filosofi kehidupan di atas, dapat disimpulkan bahwa Lelaki Tua dan Laut menyiratkan berbagai
makna filosofi hidup yang dijalani Santiago sebagai tokoh utama dalam novelet
tersebut dan dapat diambil hikmahnya bagi pembaca.
Perbedaan Lelaki Tua dan Laut dalam Dua
Terjemahan
Setelah membaca Lelaki Tua dan Laut yang diterjemahkan oleh Damono dan Ellyati,
terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan yang menonjol adalah cara pengungkapan
dalam penerjemahan karya Hemingway ini menimbulkan redaksi kalimat yang
berbeda. Karena latar belakang Damono sebagai sastrawan, maka nilai sastranya
lebih terasa dibandingkan membaca terjemahan Ellyati. Damono memindahkan teks Lelaki Tua dan Laut disesuaikan dengan
konteksnya, sedangkan Ellyati menerjemahkannya secara leksikal atau Word to Word, seperti kutipan berikut.
Lelaki Tua dan Laut versi asli:
He was an old man who fish alone in a skiff in the
Gulf
Stream
and he had gone eighty-for days now without taking a fish.
Terjemahan Damono:
Ia
seorang lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap ikan di Arus
Teluk Meksiko dan kini sudah genap empat puluh hari lamanya tidak berhasil
menangkap seekor ikan pun.
Terjemahan Ellyati:
Adalah
seorang lelaki tua yang pergi ke laut seorang diri dalam sebauh perahu di Arus
Teluk Meksiko yang telah berlayar 84 hari tanpa membawa hasil ikan seekorpun.
Melihat perbedaan dalam
redaksi penerjamahan tersebut, Damono (2009: 97) menjelaskan bahwa ada dua
jenis keterpengaruhan dalam penerjemahan. Umumnya kita berpebdapat bahwa
penerjemah terpengaruh oleh yang diterjemahkannya; dan kita juga boleh
berpendapat bahwa penerjemah justru mempengaruhi karya yang diterjemahkannya.
Apabila membandingkan
dua karya terjemahan ini, maka terjemahan Damono dapat dianggap mempengaruhi
karya terjemahannya, sedangakn Ellyati cenderung terpengaruh oleh yang diterjemahkannya.
Dengan
demikian, karya sastra terjemahan dapat menimbulkan banyak penafsiran. Damono
juga menjelaskan bahwa karya asli itu final,
sedangkan terjemahan bukan. Sehingga meminjam istilah Gifford, karena
diterjemahkan, karya sastra mengalami second
existence, keberadaan atau kehidupan kedua (2009: 106). Dengan adanya
beragam terjemahan Lelaki Tua dan Laut
yang berbeda redaksi kalimat dan penafsiran dapat memperkaya khasanah
kesustaraan Indonesia terutama sastra terjemahan.
Referensi:
Damono,
Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan.
Ciputat: editum.
Hemingway,
Ernest. 1983. Lelaki Tua dan Laut.
(terj. Sapardi Djoko Damono). Jakarta: Pustaka Jaya.
Hemingway,
Ernest. 2009. The Old Man and The Sea.
(terj. Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.
*disampaikan pada presentasi sastra bandingan
wah, susah sangat nyari ini buku....
BalasHapusIya, edisi terbatas Mas. Saya ja dapatnya dari Palasari Bandung. Selamat hunting Mas. Terima kasih sudah bersedia mengapresiasi tulisan sederhana ini. Semoga bermanfaaat.
BalasHapuskayanya ada juga terbitan serambi
BalasHapusIya mungkin. Saya dapatnya cuma dua buku itu aja..
HapusMba, lelaki tua dan lautnya yang terbitan selasar masih ada nggak? saya mau pinjam untuk keperluan penelitian kalo boleh :) saya punyanya yang terbitan baru, sedangkan kata pembimbing harus dibandingkan dulu dengan versi lama. dan versi lamanya yang terbitan selasar sudah nggak terbit lagi. kalo yg terbitan dunia pustaka jaya saya sudah ada :)
BalasHapusSalam Kenal
Nur Kholishoh
cholieshoh@gmail.com
Salam kenal juga Kholisoh. Gimana penelitiannya udah beres?
HapusSalam kenal juga Kholisoh. Gimana penelitiannya udah beres?
Hapussangat membantu ka tulisannya, temen temen jangan lupa mampir ke blog ku ya http://marvellous-elt.blogspot.co.id/, mohon komentarnya agar lebih giat lagi menulis. salam kenal ka. terimkasih
BalasHapusTulisannya bagus, tapi backgronnya terlalu ramai pak, kurang nyaman dibaca
BalasHapusTerima kasih atas sarannya
Hapus.