CERITA
RAKYAT
PETAN
WEWE PRISEN
Petan Wewe berasal dari
bahasa Jawa Serang yaitu Petaan yang artinya ciptaan, menyerupai atau seperti
sedangkan Wewe adalah jenis jin yang berbadan raksasa. Karena kebiasaan orang
Serang berbicara cepat sehingga seringlah disebut Petan Wewe. Jika kita melihat
secara sepintas, Petan Wewe ini akan teringat pada ondel-ondel khas Betawi.
Namun, ternyata setelah ditelusuri akan ditemukan banyak perbedaan.
Alkisah,
di sebuah kampung yang terletak di Serang Timur bernama Prisen ada seorang
pemuda yang pergi dari kampungnya untuk mencari ilmu di Betawi. Saat itu,
usianya masih sembilan tahun. Kehidupannya di kampung Prisen sangatlah miskin,
ibarat bisa makan pagi belum tentu siang atau malam nanti bertemu nasi. Saat
itu adalah masa sulit sebelum Indonesia merdeka sekitar tahun 30-an. Dalam
pengembaraannya sampailah sang pemuda yang berinisial MJ (tokoh yang tidak bisa
disebutkan namanya) ini ke salah satu daerah Betawi yang disebut Jelambar yang
sekarang menjadi Jakarta Barat.
Di
Betawi MJ bertemu dengan seseorang yang ternyata adalah pesilat, orang yang
ahli seni bela diri atau pencak silat TTKDH dengan aliran yang berasal dari
daerah Bogor. MJ sangat rajin mengikuti latihan bersama orang tua angkatnya.
Sampai suatu ketika setelah ia berhasil mempelajari silat tersebut, maka perlu
memenuhi satu persyaratan lagi untuk menjadi pendekar atau guru silat.
Syaratnya yaitu ia harus bertapa di sungai Ciliwung. MJ melakukan semedi dengan
setengah badan terendam sebatas leher berhari-hari. Sampai 40 hari bertapa, ia
tidak makan dan minum. Tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu di kakinya, karena
penasaran ia membuka mata dan melihat ternyata ada dua kepala raksasa. Setelah
ia mendapat ‘am’ atau tanda kelulusan, ia boleh mendirikan perguruan di daerah
asalnya.
Saat
itu, Indonesia sedang bergolak. MJ yang sudah menjadi pendekar ini turut
membantu para tentara. Ia sudah menjadi pemuda yang gagah perkasa, bahkan ikut
mengusir Belanda. Setelah ia mendapatkan ‘am’ ia tidak langsung membuka
perguruan tetapi membaktikan dirinya untuk bangsa dan negara pascakemerdekaan.
Negara Indonesia yang baru merdeka keadaannya belum stabil. MJ menjadi pendekar
yang paling disegani di daerah Betawi. Ia menjadi pendekar yang sakti, bisa
terbang, dan menebas leher para penjajah hanya dengan selewat. Kepala raksasa
itu masih tersimpan di rumahnya. Sang Pendekar mendapat kepercayaan untuk
menjaga keamanan di sekitar daerah Jelambar. Meskipun tak mendapat legalitas
memegang jabatan tertentu di masa Bung Karno tetapi ia setiap bulannya mendapat
gaji dari pemerintah karena telah berusaha menjaga keamanan daerah.
Akhirnya
sang pendekar teringat akan pesan gurunya sebagai seorang pesilat sejati tidak
mengharapkan pamrih atas apa yang dilakukan. Sedangkan selama dua tahun ini ia
mendapatkan upah dari pemerintah. Ia melakukan ‘mujasmidi’ atau puasa untuk meminta
petunjuk akan kedua kepala raksasa itu. Ia memutuskan kembali ke tanah
kelahirannya di Prisen dan mendirikan perguruan silat TTKDH. Kesaktiannya
sebagai sang pendekar menarik minat banyak orang, muridnya tidak hanya dari
daerah sekitar bahkan ada juga dari Palembang dan luar Jawa lainnya.
Setelah
adanya perguruan silat, akhirnya kedua kepala raksasa itu dijadikan hiburan
dengan tetap mempertahankan pencak silat. Sampai saat ini, tak dikultuskan ke
satu orang melainkan ke siapapun yang bisa mengurusnya dengan baik.
Kidung
Pengiring
“Ane
cahaya saking wetan warnane abang
wayange
rahwana.
Ane
cahaya saking kidul
warnane
abu-abu wayange batara guru”
Dahulu, kidung ini
masih dinyanyikan. Namun, tak sembarang orang bisa mendendangkan kidung ini.
Hanya orang yang belajar silatnya sudah taraf tinggi bisa mendendangkan kidung
ini dan menyirep yang mendengarnya.
Orang yang mendengarkan akan terhipnotis. Kidung ini tidak sembarangan
dibacakan, kalau kidung ini dibacakan, anak yang disunat atau pengantin harus menyiapkan
seperangkat baju, dan alat masak dari pendil sampai compreng.
Pelestarian
Petan Wewe
Saat ini, Petan Wewe
tidak hanya sebagai alat yang beraroma magis. Melainkan juga untuk menolong
apabila ada masyarakat yang tidak mampu tetapi ingin nanggap maka ini bisa digunakan untuk hiburan.
Petan
Wewe itu memiliki nama masing-masing, yang laki-laki bernama Abdul Wahab dan
perempuan bernama Fatimah. Tradisi Petan Wewe ini biasa diadakan dalam acara
pernikahan, mengarak pengantin sunat, memperingati HUT RI, atau menyambut tamu
agung seperti Bupati, Camat, dan sebagainya.
Sebelum
mengadakan perhelatan akbar, para pemain melakukan ritual. Seperti membaca
Al-Fatihah sampai Al-Falaq berulang-ulang. Dilengkapi pula dengan sesajen
kemenyan, sajian kue tujuh rupa seperti Botok, Jejorong, dsb. Ada pula musik
kendang, dan terompet. Pertunjukkan ini tidak dilengkapi dengan sinden, jika
sekarang ada itu hanya tambahan untuk hiburan.
Meski
Petan Wewe ini tak sepopular Ondel-ondel Betawi, namun sekuat tenaga masyarakat
Prisen melestraikan dan merawat Petan Wewe. Banyak kearifan lokal yang terdapat
dalam budaya Prisen ini, kebersamaan masyarakat dalam mempertahankan identitas
budayanya masih terasa kental dalam berbagai acara. Mereka bergotong-royong
mempersiapkan perhelatan atau berkumpul mengarak Wewe dan merawat Wewe itu
dengan baik hingga saat ini.
Sumber Lisan: Pak Atim (Pelestari
Petan Wewe)
Diceritakan kembali secara tertulis
oleh: Nita Nurhayati
assalamualikum,,,,sya mhasiswa iain smh banten tertarik pengen meneliti lebih lanjut petan wewe di prisen, kira2 klo mau wawancara sumbernya itu siapa y atau klo bisa teh nita nurhayati sebagai sumbernya kira2 bisa bantu saya g teh,,, wassalam,,
BalasHapuswaalaikumsalam kang hamli,. mangga atuh datang ja langsung ke prisen kang,.-)
HapusDateng aja langsung ke prisen kebetulan saya org prisen
BalasHapusPunten ka, kak sekarang sudah lulus
BalasHapusAlhamdulillah.. Selamat ya atas kelulusannya. Semoga berkah ilmunya...
HapusTeh izin manjadikan teteh sebagai sumber lisan untuk skripsi nurhasanah tidak?
HapusSilakan..
Hapus