Tubuh
Realis dalam Cerpen The Necklace karya
Guy de Mauppasant
oleh:
Nita Nurhayati
Pendahuluan
Pembicaraan tentang tubuh sudah banyak
diperbincangkan dalam dunia sastra. Seorang ahli filsafat eksistensialis dan
feminis, Simone Beauvoir, membicarakan tentang tubuh biologis dalam The Second Sex. Menurut Beauvoir, One is not born, but rather become a woman.
Gagasan tentang perempuan ini banyak dijadikan landasan berpijak bahwa
perempuan bukanlah suatu fakta yang ajeg, melainkan lebih merupakan keadaan
yang selalu berada dalam proses menjadi, dan itu berarti
kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki perempuan harus didefinisi (bahwa) tubuh
bukanlah suatu benda, tubuh adalah situasi: tubuh adalah cengkeraman kita
terhadap dunia dan sketsa rencana hidup kita. Dari pernyataan Beauvoir ini,
tubuh merupakan bagian fundamental bagi perempuan. Perempuan ada dengan
tubuhnya dan mengada dengan tubuh yang dibentuk oleh dirinya sendiri. Perempuan
hidup bersama tubuhnya dan dengan tubuh inilah perempuan menjalani kehidupan,
bahkan merumuskan masa depan.
Prabasmoro (2007: 45) menjelaskan, tubuh
perempuan lebih dari sekadar facticity, adalah
bagian dari dirinya sebagai manusia. Di sinilah kontradiksi terjadi pada
perempuan. Sebagai seorang manusia, dia adalah subjek, suatu kesadaran, tetapi
sebagai seorang perempuan, dia adalah Liyan
yang Mutlak. Dia adalah objek. Kontradiksi antara menjadi subjek dan pada
saat yang sama dihadapkan pada objektivikasi, seorang perempuan mungkin
mendapatkan dirinya sendiri dengan cara melarikan diri dari tanggung jawab
menjadi manusia bebas dan suatu subjek. Tetapi karena Beauvoir tidak percaya
pada keajegan suatu situasi, tidak ada subjek tanpa suatu objek, dan tidak ada
subjektivitas yang cukup aman karena selalu ada kemungkinan terjadi perubahan
posisi.
Pendekatan Beauvoir memastikan bahwa tubuh
merupakan bagian dari proyek untuk menjadi
perempuan. Perempuan dalam pemikiran Beauvoir lebih dari sekadar istilah
yang mengacu kepada seseorang dengan tubuh perempuan saja, melainkan juga mengandung
makna bagaimana seseorang dengan tubuh itu menggunakan,
memaknai, dan/atau melakukan sesuatu melalui/atas tubuhnya serta terus
menerus berhubungan dengan dunia melalui tubuhnya dan sebaliknya. Dalam
pemikiran ini tampak ada gagasan bahwa ada interaksi yang terus menerus tidak
saja antara perempuan dengan manusia lain (laki-laki dan perempuan), dan antara
perempuan dengan dirinya sendiri, melainkan juga antara tubuhnya dengan konteks
sosial historis yang berhubungan dengannya (Prabasmoro, 2007: 66).
Dari penjelasan Prabasmoro mengenai tubuh melalui
pendekatan Beauvoir ini, memungkinkan adanya dialog antara perempuan dengan
tubuhnya. Tubuh sebagai objek pasif dalam bentuk fisik perempuan merupakan
situasi dan ditentukan dan akan menentukan sesuatu berjalan yang bergantung
pada yang empunya tubuh.
Adapun The
Necklace (Perancis: La Parure)
adalah cerita pendek Guy de Mauppasant yang pertama kali diterbitkan pada 17
Februari 1884 di surat kabar La Gaulois. Cerita ini menjadi salah satu karya populer
Mauppasant yang dikenal dengan the
surprise ending and ironi (Wikipedia). Guy de Mauppasant dikenal sebagai
penulis realis di negeri asalnya yaitu Perancis. Realisme di Perancis dimulai
pada pertengahan abad ke sembilan belas dan menolak ajaran dari gerakan
romantis. Sastra realis sering terfokus pada kehidupan kelas menengah seperti
kisah tragis Mathilde dan suaminya. Faktor sosial dan pengaruh lingkungan serta
budaya sangat besar pengaruhnya dalam sastra realis. Mauppasant, seperti
mentornya, Gustave Flaubert, percaya bahwa fiksi harus menyampaikan kenyataan
dengan seakurat mungkin.
The Necklace merupakan cerpen Mauppasant
yang menunjukkan fakta dan observasi terhadap peristiwa yang terjadi di
sekitarnya. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan bernama
Mathilde. Perempuan yang sudah berumah tangga dengan laki-laki sederhana.
Mathilde mengharapkan hidup yang mewah seperti perempuan-perempuan kelas
menengah atas lainnya. Namun, ekonomi keluarga tak mendukungnya. Suatu ketika
suaminya diundang ke acara pesta kementerian. Suaminya berharap istrinya akan
senang mendapat undangan ini, namun yang terjadi justru sebaliknya. Mathilde
merasa gelisah karena tak memiliki gaun yang layak untuk dipakai.
Mereka berembuk dan akhirnya Mathilde membeli
sebuah gaun yang indah. Mathilde menatap wajahnya di cermin, seperti ada yang
kurang. Ia menginginkan kalung indah untuk menghiasi lehernya, sementara
suaminya sudah kehabisan uang. Kemudian suaminya menyarankan Mathilde untuk
meminjam kalung pada tetangga. Mathilde menuruti saran suaminya. Ia meminjam
kalung pada tetangganya. Di acara pesta Mathilde menjadi perempuan paling
cantik. Namun, keberuntungan dan kesenangan hanya sesaat, kalung yang
dipinjamnya itu hilang, sehingga Mathilde dan suaminya harus menggantinya.
Mereka berdua bekerja keras untuk mengganti kalung itu, mereka menggantinya
dengan yang asli. Padahal kalung milik tetangganya itu adalah imitasi.
Dari gambaran singkat mengenai kisah dalam cerpen
The Necklace, tampak bahwa cerpen ini
mengangkat tentang tokoh perempuan yang berpikir dan merasakan tentang
tubuhnya. Adapun
yang dimaksud dengan Tubuh Realis yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
tubuh perempuan sebenarnya yang dihadirkan dalam cerpen, atau Beauvoir
menyebutnya sebagai tubuh biologis, sementara hal-hal yang tidak berkaitan
dengan tubuh realis tidak dibahas dalam cerpen ini. Fokus pembahasan dibatasi
pada analisis tubuh realis pada tokoh utama, yaitu Mathilde. Dengan
demikian pertanyaan yang muncul dalam penulisan ini adalah bagaimana tubuh
realis digambarkan dalam cerpen The
Necklace karya Guy de Mauppasant?
Konsep Tubuh dan Sastra
Tubuh merupakan satu-satunya indikator yang
paling niscaya atau bahkan mutlak dan yang terkesan paling alamiah dari
eksistensi manusia sebagai pribadi. Dalam perkembangan kebudayaan memang banyak
indikator yang diciptakan bagi eksistensi pribadi manusia itu seperti apa yang
disebut dengan watak, kepribadian, kreativitas yang orisinal, dan bahkan tanda
tangan dan pola tulisan. Namun, tanpa semua itu manusia tetap dapat hadir
sebagai sebuah pribadi. Hanya kalau tubuhnya lenyap, eksistensi manusia sebagai
pribadi secara mutlak pun lenyap (Faruk, 2004: 59).
Adipurwawidjana (2004: 184) dalam esainya tentang
Menegosiasikan Tubuh dalam Produksi
Sastra dan Kesadaran Kelas Menengah memandang bahwa isu tentang tubuh --
serta masalah gender dan seksualitas yang lazim mengiringinya -- sebagai sebuah
wacana yang telah lama diopresi dan direpresi dalam tatanan dualistik yang
memisahkan antara akal/jiwa dan tubuh/materi, menempatkan yang pertama di atas
yang terakhir. Iman yang menandaskan pemahaman mind over matter merupakan candu yang melanggengkan sebuah tatanan
yang berbahan bakar ilusi. Tubuh itu penting, karena sastra bukan saja
merupakan modus produksi -- baik ekonomis maupun ideologis -- melainkan
berperan sebagai medium distribusi dan diseminasi. Dalam hal ini sastra
berfungsi sebagai diskursus.
Memang tubuh dan sastra berada dalam tataran yang
sama, karena seperti minyak dan air, sastra dan tubuh – setidaknya pada mulanya
merupakan dua elemen yang basisnya berbeda dan bahkan bertolak belakang. Sastra
adalah sebuah being yang lahir dari
struktur dalam bahasa tembok kota terlarang yang di tengahnya terdapat menara menjulang
ke surga. Sebaliknya tubuh lahir di luar, dalam ketakterbatasan wilderness yang pada waktu dan tempat
tertentu ada tetapi kemudian terkubur dalam tanah dan mengurai. Karena itu,
tubuh berbasis tanah, sedangkan sastra mengabaikan basis karena menggapai
langit. Dalam terminologi Raymond Williams, tubuh adalah basis dan sastra
merupakan superstruktur yang membangun superego ala Freud dan menciptakan
superman ala Nietszche. Sastra memang baik secara historis maupun secara formal
bersifat memisahkan. Ia menciptakan dikotomi sebagai berikut.
§
tulisan
|
§
lisan
|
§
sakral
|
§
profan
|
§
langit
|
§
bumi
|
§
elit
|
§
awam
|
§
keabadian
|
§
temporalitas
|
§
jiwa
|
§
tubuh
|
§
laki-laki
|
§
perempuan
|
§
hegemoni
|
§
massa
|
Dari dikotomi di atas dapat dilihat bahwa tubuh
berada dalam bagian kanan bersama perempuan. Tubuh melekat pada perempuan,
meskipun laki-laki juga memiliki tubuh, namun sering kali tubuh perempuan lebih
banyak mendapat perhatian dibandingkan dengan tubuh laki-laki. Adapun yang
berlawanan dengan konsep tubuh yakni jiwa. Dalam hal ini jiwa bersifat rohani
sedangkan tubuh bersifat ragawi. Lalu jika kita kembali ke paling atas,
terdapat tulisan yang beroposisi dengan lisan. Sastra sebenarnya dapat menjadi
sastra tulisan maupun lisan. Namun, seperti yang dikatakan Williams, bahwa sastra
menggapai langit dan tubuh menggapai bumi. Dengan demikian sastra berada dalam
jajaran kiri bersama yang sakral, elit, keabadian, laki-laki, dan hegemoni.
Berdasarkan penjelasan Adipuwawidjana mengenai
konsep tubuh dan sastra tersebut, berarti sastra dan tubuh awalnya merupakan
elemen-elemen terpisah, namun ketika sastra berbicara tentang tubuh seperti
dalam cerpen The Necklace, maka
batas-batas dalam dualisme tersebut menjadi ambivalen dan membaur dalam sebuah
karya fiksi. Seperti halnya cerpen The
Necklace karya Guy de Mauppasant ini menjadi sastra yang membicarakan
tubuh, padahal sastra dan tubuh merupakan dua elemen yang berseberangan.
Mungkin karena sastra tidak bisa lepas dengan masyarakat, konsep seni untuk
seni atau sastra untuk sastra tentu tidak berlaku dalam cerpen The Necklace. Cerpen ini justru merekam
realitas yang direspon penulis, yaitu Guy de Mauppasant terhadap peristiwa
sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal ini Mauppasant berusaha menangkap
fenomena yang terjadi di Perancis pada abad sembilan belas, ketika cerpen ini
ditulis, di mana perempuan-perempuan Perancis ingin dilihat dan tampil dengan
tubuhnya yang menarik. Apalagi jika kita membaca latar yang disebutkan yaitu
Perancis, kita tahu bahwa Perancis merupakan kiblat mode sehingga
perempuan-perempuan berlomba untuk tampil modis.
Tubuh dan Penubuhan Beauvoir
Beauvoir bagaimanapun berulang-ulang
mempertanyakan investasi dari kata perempuan.
Pada halaman awal bagian pendahuluan dalam bukunya The Second Sex, Beauvoir mengajukan pertanyaannya yang mendasar dan
penting dengan mempergunakan istilah perempuan,
baik dalam bentuk tunggal woman atau
dalam bentuk jamak women. Pertanyaan
pertamanya adalah Are there women,
really? (Apakah perempuan benar-benar ada?). Pertanyaan keduanya adalah What is a woman? (Apakah perempuan?),
yang diulang dua kali. Pertanyaan tesisnya itu secara garis besar memetakan
argumentasinya mengenai eksistensi perempuan dan bagaimana perempuan dibentuk,
didefinisi, dikonstruksi, dan diinvestasikan. Dengan menggunakan pemikiran
eksistensialis dan fenomenologis, Beauvoir mengeksplorasi akar penindasan
terhadap perempuan serta kemungkinan untuk melepaskan diri dari opresi itu.
Salah satu argumentasi kunci Beauvoir berhubungan degan penubuhan perempuan
(Prabasmoro, 2007: 55).
Butler (Pramodhawardani, 2004: 84) seperti halnya
Beauvoir, mulai mempersoalkan definisi perempuan.
Pada masa lalu feminisme telah melihat perempuan sebagai subjek
representasi politisi. Butler membantah bahwa kita tidak dapat melihat
perempuan sebagai kelompok homogen yang dipersatukan karena tiap-tiap perempuan
adalah individu unik. Perempuan bukanlah suatu kelompok karena banyak sekali
perbedaan di antaranya, misal dalam hal kelas, ras, dan etnik.
Menjadi perempuan adalah lebih dari sekadar fakta
biologis. Pertama-tama dan yang paling utama adalah bahwa Beauvoir
menggarisbawahi, “Tentu saja perempuan, seperti laki-laki adalah makhluk hidup,
tetapi pernyataan seperti itu adalah suatu hal yang abstrak. Faktanya adalah
setiap makhluk hidup yang konkret selalu berada dalam situasi yang spesifik,
yang juga tidak saja berbeda antara laki-laki dan perempuan, melainkan juga
antarperempuan (Prabasmoro, 2007: 59).
Marleau-Porty (Prabasmoro, 2007: 56) juga
menunjukkan bahwa tubuh bukanlah pikiran, bukanlah substansi. Baginya tubuh
bukanlah lawan dari pikiran. Ada bukanlah tubuh dan pikiran yang disatukan
sebagai elemen yang terpisah, seperti air, udara, bumi, dan api. Tubuh dan
pikiran adalah elemen yang saling mengisi, saling berhubungan satu sama lain
atau dengan semua elemen yang lain, tetapi tidak dapat mengatakan bahwa air
adalah lawan dari api, atau bumi adalah lawan dari udara.
Demikian penafsiran tentang tubuh dan perempuan.
Beauvoir dalam bukunya The Second Sex juga
membahas tentang perempuan menikah. Pengertian ini perlu dijelaskan karena
cerpen yang akan dibahas mengetengahkan tokoh perempuan yang sudah menikah.
Menurut Beauvoir (2003: 230), perempuan yang sudah menikah mendapat sejumlah
kekayaan yang diberikan kepadanya di dunia ini, jaminan-jaminan sah
melindunginya dari yang tidak merugikan laki-laki, tapi perempuan budak
laki-laki. Ia adalah kepala ekonomi dari kegiatan melakukan usaha bersama-sama.
Oleh karena itu, ia mewakili pernikahan tersebut dalam sudut pandang
masyarakat.
Sinopsis Cerpen The Necklace
Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan
bernama Mathilde. Ia adalah perempuan biasa yang memiliki wajah cantik dan
menarik. Mathilde menikah dengan seorang juru tulis biasa yang bekerja di
Kementerian Penerangan. Keadaan ekonomi yang serba terbatas membuat Mathilde
hanya bisa tampil seadanya. Ia merasa hidupnya sangat menderita dibandingkan
perempuan-perempuan yang dilihatnya. Perempuan-perempuan lainnya bisa merasakan
kemewahan yang mereka miliki dengan mengenakan pakaian mewah,
perhiasan-perhiasan mahal, dan tinggal di rumah mewah dengan berbagai
kesenangan.
Mathilde sering melamunkan nasibnya. Ia merasa
bahwa takdir telah membuatnya menjadi seperti perempuan kebanyakan. Mathilde
begitu mendambakan kemewahan yang dimiliki perempuan-perempuan kelas menengah
ke atas. Pada suatu malam, ia sedang melamun ketika suaminya memuji masakannya.
Pikiran Mathilde melayang pada hal-hal yang diinginkannya. Ia mendambakan makan
malam istimewa dengan peralatan makan yang mahal, tapi yang dimiliki Mathilde
adalah kebalikannya.
Pada suatu sore suaminya datang membawa undangan
pesta. Loisel, suami Mathilde, berharap istrinya akan bahagia. Namun, ternyata
Mathilde justru gelisah memikirkan gaun dan aksesori apa yang akan ia kenakan
ke pesta. Padahal suaminya telah berusaha mendapatkan undangan yang terbatas
itu. Karena putus asa, Mathilde menyuruh suaminya menyerahkan undangan itu pada
orang lain. Akhirnya Loisel meminta istrinya berembuk. Mathilde mengajukan
permintaan untuk membeli gaun seharga empat ratus frans. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya Loisel sepakat membeli gaun yang diinginkan istrinya.
Sesudah Mathilde mendapatkan gaun yang diinginkan, ia menghadap ke cermin dan
melihat dirinya betapa cantik, namun ia merasa masih ada yang kurang. Ia
membayangkan jika saja ada kalung berlian yang terpasang di lehernya, pasti
dirinya akan tampil sangat cantik dan menarik. Mathilde lagi-lagi gelisah.
Melihat kegelisahan istrinya tersebut, Loisel
menyarankan agar Mathilde meminjam perhiasan kepada tetangganya. Mathilde
menuruti kata suaminya kemudian ia pergi ke rumah Nyonya Forestier dan meminjam
sebuah kalung. Hari pelaksanaan pesta pun tiba, Mathilde tampil sangat cantik
dan menawan di antara perempuan-perempuan lainnya. Semua yang hadir terpesona
dan ingin berdansa dengannya, termasuk menteri juga berdansa dengannya.
Sementara suaminya menunggu dan tertidur di sofa. Tak terasa hari sudah
menunjukkan pukul empat dini hari. Suami-istri itu beranjak meninggalkan pesta.
Loisel menyampirkan selendang di bahu istrinya, namun istrinya menolak karena
melihat perempuan-perempuan lain mengenakan mantel tebal dan indah. Mathilde
lari menghindar dan berjalan cepat keluar dari gedung pesta. Sesampainya di
rumah, ternyata Mathilde kehilangan kalung yang ia pinjam dari Nyonya
Foriester. Mathilde panik dan mengadukan pada suaminya. Loisel kemudian mencari
kalung berlian itu, namun tak juga didapatkannya.
Suami-istri itu pergi ke toko perhiasan dan
ketika bertanya, ternyata kalung yang dipinjam itu harganya sangat mahal.
Mathilde dan suaminya bekerja keras untuk dapat mengganti kalung yang hilang
itu. Mereka juga meminjam ke banyak orang untuk mendapatkan uang. Mereka
mempertaruhkan sisa hidupnya demi kalung itu. Mathilde tampak semakin tua
karena setiap hari harus bekerja. Selama sepuluh tahun mereka bekerja keras
sampai akhirnya dapat mengembalikan kalung milik Nyonya Foriester. Ketika
bertemu Nyonya Foriester, setelah dua tahun pengembalian kalung itu, Nyonya
Foriester melihat Mathilde semakin tua dan tak terawat, ia menanyakan keadaan
Mathilde. Kemudian mereka berbincang tentang kalung itu dan ternyata kalung
yang dipinjam Mathilde adalah kalung imitasi.
Pembahasan
Setelah diuraikan tentang konsep tubuh dan
sastra, serta tubuh dan penubuhan menurut Beauvoir. Saya akan melakukan
analisis terhadap cerpen The Necklace karya
Guy de Mauppasant. Pembahasan cerpen ini akan menguraikan tentang penggambaran
tubuh yang terdapat di dalamnya. Mulai dari glorifikasi tubuh sampai derogasi
tubuh yang dialami oleh tokoh utama dalam cerpen ini, yaitu Mathilde.
Glorifikasi Tubuh
Dalam cerpen The Necklace, tubuh mendapatkan porsi besar dalam penceritaan.
Tubuh menjadi pusat cerita yang menentukan takdir tokohnya. Bagian awal cerpen
ini mendeskripsikan tubuh realis atau biologis menurut Beauvoir, yaitu tubuh
tokoh utama perempuan.
She was one
of those pretty and charming girls born, as though fate had blundered over her,
into a family of artisans. She had no marriage portion, no expectations, no
means of getting known, understood, loved, and wedded by a man of wealth and
distinction, and she let
herself be married off to a little clerk in the Ministry of Education. Her tastes were simple because she had never been able
to afford any other, but she was as unhappy as though she had married beneath
her, for women
have no caste or class, their beauty, grace, and charm serving them for birth
or family. their natural delicacy, their instinctive elegance, their nimbleness
of wit, are their only mark of rank, and put the slum girl on a level with the
highest lady in the land.
Mathilde
sebagai tokoh utama digambarkan sebagai perempuan biasa yang cantik dan
menarik, namun keadaan ekonomi yang serba kekurangan membuatnya tak bisa
menerima kenyataan. Ada hasrat untuk memaksimalkan fungsi dan peran tubuh yang
ingin diluapkan Mathilde, namun hasrat itu harus ditekan. Menjadi perempuan
kebanyakan akan membuat perempuan terbatas untuk menunjukkan eksistensinya.
Seperti kata Beauvoir, perempuan dapat menunjukkan eksistensi dengan tubuhnya.
Tubuh menjadi hal yang penting untuk menampilkan diri dan menunjukkan bahwa dirinya
ada. Perempuan adalah pribadi yang unik dan satu sama lain tidak bisa
disamakan. Sama halnya seperti yang diinginkan Mathilde untuk menjadi perempuan
paling cantik di antara perempuan yang lain.
***
Narator dalam cerpen ini menggunakan
sudut pandang orang ketiga, yaitu dia. Dengan penggunaan sudut pandang orang
ketiga, narator menjelaskan pikiran dan pandangan perempuan sebagai tokoh utama
terhadap tubuhnya. Mathilde sebagai tokoh utama merupakan perempuan yang
menginginkan kemewahan yang dirasakan perempuan yang bukan seperti perempuan
kebanyakan. Dari narasi yang menunjukkan jalan pikiran Mathilde tentang
perempuan lain -- yang dianggap lebih beruntung darinya ini -- menggambarkan
perbedaan kelas. Mathilde yang berada dalam kelas rendah menginginkan
kebahagiaan yang diperoleh perempuan kelas menengah atas. Perbedaan kelas ini
menimbulkan kecemburuan di hati Mathilde dan membuat ia begitu menderita sehingga
meratapi hidupnya yang biasa dan sederhana.
She suffered
endlessly, feeling herself born for every delicacy and luxury. She suffered
from the poorness of her house, from its mean walls, worn chairs, and ugly
curtains. All these things, of which other women of her class would not even
have been aware, tormented and insulted her.
Dalam lamunannya, Mathilde begitu
mendambakan hal-hal di luar dirinya, kebutuhan materi menjadi hal yang diagungkan.
Ia merasa tak berguna dan tak memiliki apa-apa. Menurutnya sebagai perempuan,
ia menginginkan tubuhnya dibalut dengan gaun-gaun indah, perhiasan, dan dirinya
menjadi pusat perhatian.
She had no
clothes, no jewels, nothing. And these were the only things she loved. She felt that she was made for them. She
had longed so eagerly to charm, to be desired, to be wildly attractive and
sought after.
Bagi Mathilde, gaun yang indah atau
pakaian yang mewah akan lebih menampakkan kecantikan alami yang dimilikinya.
Seperti awal cerita yang mendeskripsikan secara fisik bahwa Mathilde memiliki
paras yang cantik dan tubuh menarik.
Suatu ketika suaminya, Loisel,
membawa undangan dan berharap istrinya akan bahagia. Namun, ternyata justru
sebaliknya. Mathilde menjadi gelisah karena tak memiliki gaun yang indah untuk
dikenakan. Mathilde menolak undangan itu.
"What do
you want me to do with this?"
"Why,
darling, I thought you'd be pleased. You never go out, and this is a great
occasion. I had tremendous trouble to get it. Every one wants one, it's very select, and very few go to the clerks.
You'll see all the really big people there."
Loisel meyakinkan Mathilde bahwa
undangan itu adalah kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya. Loisel telah
berjuang mendapatkan undangan terbatas itu. Ia ingin membahagiakan Mathilde,
sedangkan Mathilde masih sibuk dengan pikiran dan perasaannya yang terus
menerus tidak mau menerima keadaan. Mathilde masih dipusingkan dengan urusan
pakaian.
Mereka kemudian berdebat tentang
pakaian, Loisel menyarankan istrinya agar mengenakan gaun yang pernah dipakai saat
menonton teater. Mathilde menolak. Inilah perbedaan antara cara pandang
perempuan dan laki-laki terhadap pakaian. Perempuan yang sadar akan tubuhnya
akan berusaha semaksimal mungkin membuat tubuhnya tampak menarik dan cantik.
Memakai pakaian yang sudah pernah dikenakan pada acara sebelumnya, sama saja
dengan menjatuhkan harga dirinya karena akan disebut ketinggalan zaman atau
tidak modis. Pandangan ini yang membuat Mathilde ingin mengurungkan niatnya
untuk datang ke pesta.
"Nothing.
Only I haven't a dress and so I can't go to this party. Give your invitation to
some friend of yours whose wife will be turned out better than I shall."
Mathilde selalu merasa kekurangan
karena cantik menurutnya dikukur dari materi. Cantik tubuh realisnya akan
tertutupi jika hanya memakai pakaian seadanya. Mathilde menginginkan gaun yang
indah untuk membalut tubuhnya yang juga indah. Beginilah cara Mathilde
memperlakukan tubuhnya untuk menunjukkan eksistensi diri. Akhirnya Mathilde
meminta kepada suaminya uang empat ratus franc untuk membeli gaun.
He grew
slightly pale, for this was exactly the amount he had been saving for a gun,
intending to get a little shooting next summer on the plain of Nanterre with
some friends who went lark-shooting there on Sundays.
Beginilah nasib perempuan menikah
yang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri. Seperti kata Beauvoir,
perempuan mendapat sejumlah kekayaan yang diberikan oleh suaminya. Sementara
ketika suami berada dalam kondisi ekonomi terbatas, maka perempuan juga ikut
merasakannya. Perempuan yang tidak bisa mandiri dan hanya mengandalkan
penghasilan suami, hidupnya selalu bergantung pada suami. Sementara suami juga
memiliki rencana-rencana yang akan dilakukannya untuk menikmati hasil
keringatnya.
Meski demikian, akhirnya Mathilde
dapat membeli gaun yang diinginkan. Ia menatap dirinya di depan cermin dan
melihat penampilannya yang menawan. Namun, seperti ada yang kurang, Mathilde
membutuhkan kalung yang dapat menghias lehernya.
Pandangan Mathilde akan kebutuhan
materi membuat tubuh itu sendiri berada dalam ambivalensi antara glorifikasi
dan derogasi. Pada satu sisi tubuh dimuliakan karena peran dan fungsinya, namun
di sisi lain tubuh seolah terepresi oleh materi.
"No . .
. there's nothing so humiliating as looking poor in the middle of a lot of rich
women."
Tubuh dan materi menjadi ukuran
kecantikan bagi Mathilde. Ia kemudian meminjam perhiasan kepada tetangganya,
Nyonya Foreister.
Suddenly she
discovered, in a black satin case, a superb diamond necklace; her heart began
to beat covetousIy. Her hands trembled as she lifted it. She fastened it round
her neck, upon her high dress, and remained in ecstasy at sight of herself
Ekspresi Mathilde tampak jelas,
ketika ia mendapatkan kalung yang diinginkan. Hari pelaksaan pun tiba, Mathilde
menjadi perempuan paling cantik saat pesta itu. Ia meraih eksistensinya sebagai
perempuan yang memiliki wajah paling cantik, menarik, anggun, sehingga semua atase
ingin berdansa dengannya, termasuk juga menteri.
Dalam cerpen ini tubuh menjadi pusat
pengisahan, meski tubuh yang dimaksud tidak hanya menjadi tubuh itu sebenarnya.
Tubuh realis dihadirkan, namun kebutuhan materi untuk menjadikan tubuh realis
itu tampak cantik dan menarik membuat tubuh itu sendiri terabaikan. Meski
demikian, secara utuh tubuh mendapat glorifikasi yang dominan dalam cerpen ini.
Derogasi
Tubuh
Setelah tubuh mendapatkan
pemuliaannya atau bisa disebut sebagai glorifikasi tubuh, maka pada bagian
berikutnya, tubuh mengalami derogasi. Tubuh menjadi teropresi dan terepresi
semenjak peristiwa hilangnya kalung pinjaman itu.
She took off
the garments in which she had wrapped her shoulders, so as to see herself in
all her glory before the mirror. But suddenly she uttered a cry. The necklace
was no longer round her neck!
Hidup Mathilde dan suaminya menjadi
berubah. Suami-istri itu berusaha untuk dapat mengembalikan kalung pinjaman
yang hilang itu.
He did borrow
it, getting a thousand from one man, five hundred from another, five louis
here, three louis there. He gave notes of hand, entered into ruinous
agreements, did business with usurers and the whole tribe of money-lenders. He
mortgaged the whole remaining years of his existence, risked his signature
without even knowing it he could honour it, and, appalled at the agonising face
of the future, at the black misery about to fall upon him, at the prospect of
every possible physical privation and moral torture, he went to get the new
necklace and put down upon the jeweller's counter thirty-six thousand francs.
Tubuh realis digambarkan menjadi
lebih buruk di dalam bagian cerpen ini dan tubuh tak lagi dimuliakan seperti
narasi sebelumnya. Tubuh perempuan dipaksa untuk melakukan aktivitas-aktivitas
kasar dan membuat tubuh itu menjadi tidak terawat.
She came to
know the heavy work of the house, the hateful duties of the kitchen. She washed
the plates, wearing out her pink nails on the coarse pottery and the bottoms of
pans. She washed the dirty linen, the shirts and dish-cloths, and hung them out
to dry on a string; every morning she took the dustbin down into the street and
carried up the water, stopping on each landing to get her breath. And, clad
like a poor woman, she went to the fruiterer, to the grocer, to the butcher, a
basket on her arm, haggling, insulted, fighting for every wretched halfpenny of
her money.
Tubuh realis Mathilde jadi semakin
menempati posisi yang kurang menguntungkan. Tubuh harus direlakannya untuk
bekerja keras demi membayar utang untuk mengganti kalung pinjaman tersebut.
Madame Loisel
looked old now. She had become like all the other strong, hard, coarse women of
poor households. Her hair was badly done, her skirts were awry, her hands were
red. She spoke in a shrill voice, and the water slopped all over the floor when
she scrubbed it. But sometimes, when her husband was at the office, she sat
down by the window and thought of that evening long ago, of the ball at which
she had been so beautiful and so much admired.
Mathilde menjadi teramat menyesal
setelah kejadian itu. Tubuh yang ia banggakan telah membuat hidupnya menjadi
terpuruk. Tubuh yang dilamunkannya ternyata membuat hidupnya semakin menderita.
Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Beauvoir bahwa tubuh merupakan sketsa
hidup perempuan, jadi bagaimana memperlakukan tubuh itulah yang akan menentukan
masa depan perempuan.
Simpulan
Demikianlah tubuh digambarkan dalam
cerpen The Necklace. Narasi cerpen
ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni narasi sebelum Mathilde berangkat ke
pesta dan narasi setelah Mathilde datang ke pesta kemudian kehilangan kalung
pinjamannya. Pada narasi sebelum berangkat ke pesta, tubuh menempati
glorifikasi karena tubuh begitu dikagumi dan mendapat kemuliaan. Sementara
setelah pulang dari pesta, terjadi derogasi, yakni tubuh menjadi teropresi dan
terepresi demi membayar utang untuk mengganti kalung yang hilang tersebut.
Pada bagian yang menunjukkan
glorifikasi tubuh, digambarkan bahwa tubuh mendapat perhatian penuh sebagai
pusat pengisahan. Tubuh menjadi ukuran kebahagiaan. Tubuh digambarkan begitu
menawan, memesona, dan mengagumkan dengan materi (gaun dan kalung) yang melekat
padanya. Sedangkan pada bagian yang menunjukkan derogasi tubuh, digambarkan
bahwa tubuh tak lagi dipandang sebagai bentuk kemuliaan, tubuh menjadi
teropresi oleh desakan ekonomi. Tubuh Mathilde menjadi tak terurus, kasar, dan
terlihat tua. Mathilde melupakan dirinya yang terobsesi dengan kemewahan yang
menjadi harapan semu itu. Ia kembali menjalani hidupnya sebagai ibu rumah
tangga yang harus mengerjakan pekerjaan kasar dan merelakan tubuhnya tak lagi
tampil memesona seperti saat pesta waktu itu. Mathilde yang awalnya perempuan
rumahan berubah menjadi perempuan pekerja. Mathilde menjalani kehidupan yang
lebih buruk dari sebelumnya. Sementara perempuan lain, yaitu Nyonya Foreister
masih tampak muda, cantik, dan tetap memikat. Mathilde telah terjerat kemewahan
semu yang membuatnya menjalani kehidupan yang lebih buruk.
Inilah cara Mathilde untuk
menunjukkan eksistensi diri sebagai perempuan. Mathilde berusaha mendapatkan
kemuliaan dan kesenangan dengan menampilkan tubuhnya secara berlebihan.
Pandangannya terhadap materi terlampau dipaksakan sehingga membuat hidup
Mathilde dan suaminya menjadi sengsara. Hal ini mengingatkan kita pada pendapat
Beauvoir tentang tubuh yang merupakan situasi dan sketsa hidup perempuan.
Dengan demikian, tubuh menjadi hidup dan dihidupi oleh pemilik tubuh itu
sendiri. Tubuh menjadi bagian fundamental dalam hidup yang dapat menentukan
masa depan kehidupan.
Referensi
Adipurwawiwidjana,
Ari Jogaiswara. 2004. Menegosiasikan
Tubuh dalam Produksi Sastra dan Kesadaran Kelas Menengah. (esai dalam Seks, Teks, Konteks). Jatinangor: Unpad.
Beauvoir, Simone
de. 2003. The Second Sex, Kehidupan
Perempuan. Terjemahan Toni B. Febriantono dan Nuraini Juliastuti.
Yogyakarta: Pustaka Promethea.
Faruk, dkk. 2004. Seks, Teks, Konteks. Jatinangor: Unpad
Mauppasant, Guy de.
The Necklace. http://www.classicshorts.com/stories/necklace.html
Diunduh pada 15 Juni 2013 pukul
12.30 WIB.
Prabasmoro,
Aquarini Priyatna. 2007. Kajian Budaya
Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Bandung: Jalasutra.
Pramodhawardani,
Jaleswari. 2004. Merayakan Tubuh
Perempuan. (esai dalam Teks, Seks,
Konteks). Jatinangor: Unpad.
www.wikipedia. Sastra Realis. Diunggah pada 27 Juni 2013 pukul 20.00 WIB.
Komentar
Posting Komentar