Artikel


Semangat Berbahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda


Setiap tanggal 28 Oktober selalu diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Ikrar pemuda ini dipancangkan puluhan tahun yang lalu, akankah masih sama semangatnya seperti yang dulu. Delapan puluh tujuh tahun yang lalu, para pemuda Indonesia membuat janji pada tanah airnya, pada bangsanya, dan pada bahasa persatuannya. Seperti yang diungkapkan Arifin dan Tasai (2008: 7) bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah pemuda. Naskah putusan Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928 ini berisi tiga butir kebulatan tekad sebagai berikut.
Pertama           : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua             : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga             : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Butir yang ketiga inilah yang akan dibahas lebih dalam dalam tulisan sederhana ini. Seperti telah dikemukakan di awal, saat ini patut dipertanyakan, apakah putra dan putri Indonesia masih menjunjung tinggai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Masih samakah semangat para pemuda dari dahulu hingga sekarang dalam menjunjung tinggi bahasa persatuannya. Hal inilah yang perlu diteliti lebih dalam, mengingat adanya keterbukaan besar-besaran yang akan menanti di hadapan.
Pada akhir tahun 2015, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Dapatkah bahasa Indonesia bertahan di antara bahasa-bahasa Asean, atau minimal di mata bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional dalam komunikasi antarbangsa. Penutur bahasa Indonesia secara sadar akan dipaksa untuk menguasai bahasa asing untuk berkomunikasi. Sementara itu, kita sadari bahwa penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar masih sukar diaplikasikan.
Dengan adanya ekonomi global, campur kode dan alih kode (bercampur dan beralihnya penggunaan suatu bahasa) ini tidak dapat terelakkan. Globalisasi sebagai corong besar yang berlapis-lapis mendesak para pengguna bahasa Indonesia untuk menguasai bahasa asing. Appadurai sebagaimana dikutip Priyatna (2012: 3) menyebutkan bahwa globalisasi mengacu kepada suatu dinamika yang kompleks dan berlapis-lapis yang menyebabkan pelbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, termasuk yang sifatnya personal dan publik, menjadi semakin saling terhubung (interconnected).
 Keterhubungan inilah yang terkait erat dengan berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian halnya dengan bahasa sebagai salah satu bentuk kebudayaan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam hal ini tidaklah menjadi bahasa yang utama ketika keterhubungan ini terbuka luas tanpa batas. Bahasa Indonesia mungkin saja menjadi bahasa kedua setelah bahasa Internasional yang menguhubungkan komunikasi antarnegara. Orang-orang akan lebih banyak bercakap menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasanya sendiri.
Globalisasi juga membuka banyak ruang selain ekonomi global, yaitu adanya pencampuran budaya dan bahasa yang saling memengaruhi. Di sinilah akan terlihat, bahasa dan budaya yang kuat, maka yang akan bertahan. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai kompetisi bahasa dan budaya. Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah Indonesia sudah benar-benar siap menghadapi tantangan dari luar yang pengaruhnya besar ini. Apakah bahasa Indonesia dapat memertahankan identitasnya sebagai bahasa yang menunjukkan bangsa yang arif dan bijaksana. Hal inilah yang berkaitan dengan jati diri bangsa. Bahasa yang menunjukkan bangsa.
Hal ini pula yang cukup menggoyahkan bahasa Indonesia. Permasalahan jati diri kerap kali menimbulkan pertanyaan, siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap pemertahanan jati diri bangsa yang menunjukkan identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Apakah pemerintah. Baru-baru ini, bahkan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontroversional melalui Kemenaker No. 16/2015 tentang Penggunaan Bahasa bagi Tenaga Kerja Asing. Tenaga kerja asing tidak diwajibkan menguasai bahasa Indonesia. Kebijakan ini dinilai telah menurunkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
Bisa jadi faktor utamanya adalah kapitalisme. Kapitalisme memang bisa menguasai segalanya, termasuk bahasa dan budaya. Namun demikian, akankah bangsa Indonesia terus-menerus tunduk pada kapitalisme. Setelah gunung emas di Papua dikeruk habis-habisan dan dibawa kekayaannya ke luar negeri. Selain itu, tragedi kebakaran hutan yang asapnya menyisakan penyakit dan kesedihan bagi warga Riau, Sumatera, dan sekitarnya adalah ulah tangan-tangan kapitalis yang tidak bertanggung jawab. Akankah sumber daya alam di Indonesia terus-menerus dikeruk dan dinikmati bangsa asing. Sementara, pemuda Indonesia hanya sebagai pekerja yang keringatnya diperas di negeri sendiri.
Di mana pemuda Indonesia yang tekadnya bulat itu, bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Apakah hanya sekadar pengakuan, atau ikrar itu sudah terkikis dimakan zaman. Dengan momentum sumpah pemuda ini, diharapkan semangat pemuda dapat kembali bergelora. Sumpah pemuda tidak hanya dijadikan sebagai ajang seremonial belaka yang diadakan meriah di kampus-kampus, maupun di sekolah-sekolah sebagai perayaan bulan bahasa. Melainkan sumpah pemuda juga sebagai janji putra-putri Indonesia akan selalu menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kalau bukan para pemuda, siapa lagi yang akan melestarikan dan menjaga bahasa Indonesia.

Nita Nurhayati
Serang, 21 Oktober 2015
dimuat di radarbanten.co.id

Komentar