Potret Perempuan Bali dalam Tarian Bumi karya Oka Rusmini




Potret Perempuan Bali dalam Tarian Bumi karya Oka Rusmini

           
Membaca Tarian Bumi karya Oka Rusmini seperti mendapatkan gambaran perempuan Bali dalam budaya Patriarki. Mulai dari pikiran, sikap, serta pandangan terhadap laki-laki dan tradisi yang berkembang di Bali. Ada banyak tokoh perempuan di dalam novel ini, seperti Telaga, Kenanga (Ibu Telaga), Nenek, Luh Sekar, dan tokoh perempuan lainnya. Semua tokoh perempuan dalam novel ini saling berdialog dan mengemukakan pandangannya terhadap peristiwa yang dialaminya. Pandangan tersebut tercermin dari deskripsi berikut.

Pandangan Perempuan terhadap Perempuan
            Dari narasi novel ini, pembaca dapat menemukan pandangan perempuan terhadap perempuan seperti nasihat Ibu Sekar.
            “Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhanm. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (2002: 23)
            Betapa kuat perempuan Bali digambarkan oleh seorang ibu. Perempuan Bali-lah yang menjadi tulang punggung keluarga.
             
Pandangan Perempuan terhadap Laki-laki
            Laki-laki dihadirkan dari sudut pandang perempuan. Dari narasi awal novel ini, pembaca akan mendapat gambaran sisi negatif laki-laki dari sudut pandang perempuan. Laki-laki digambarkan sebagai sosok yang tidak bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga, sering mabuk-mabukan atau meminum tuak, memiliki hobi sabung ayam, bermain perempuan, bahkan seorang laki-laki yang menjadi Ayah Telaga ditemukan mati secara tidak terhormat di tempat pelacuran.
            Pandangan perempuan lain terhadap laki-laki yang merupakan ayah kandungnya diungkapkan Luh Sekar. Pandangan ini pun cenderung sinis, karena sang anak harus menanggung dampak dari perbuatan bapaknya.
            “Aku capek jadi perempuan miskin, Luh. Tidak ada orang yang bisa menghargaiku. Ayahku terlibat kegiatan politik, sampai kini tak jelas hidupnya atau matikah dia. Orang-orang mengucilkan aku. Kata mereka, aku anak pengkhianat. Anak PKI! Yang berbuat ayahku, yang menanggung beban aku dan keluargaku. Kadang-kadang aku sering berpikir, kalau kutemukan laki-laki itu aku akan membunuhnya!” (2002: 20)
            Deskripsi lain tentang laki-laki juga diungkapkan oleh tokoh perempuan bernama Luh Kenten, seorang perempuan kuat yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Ia tidak ingin menikah dengan laki-laki. Pandangannya terhadap laki-laki membuatnya menjadi perempuan kuat dan mandiri.
            Alangkah mujurnya makhluk bernama laki-laki. Setiap pagi para perempuan berjualandi pasar, tubuh mereka dijilati matahari. Hitam dan berbau. Tubuh itu akan keriput. Dan lelaki dengan bebasnya memilih perempuan-perempuan baru untuk mengalirkan limbah laki-lakinya. (2002: 31)
           
Pandangan Perempuan terhadap Perempuan dan Laki-laki dalam Perbedaan Kelas
            Pembaca juga mendapatkan gambaran perempuan dari perempuan lain yang berbeda kelas. Dikisahkan ada seorang perempuan yang begitu iri pada Telaga, namanya Luh Sadri. Telaga adalh seorang perempuan dari kasta Brahmana, sementara Luh Sadri adalah perempuan dari kasta Sudra. Perbedaan kelas ini menyebabkan perempuan yang berada di kelas bawah merasa terpinggirkan. Kasta atau kelas dalam budaya Bali merupakan tatanan adat yang menentukan nasib pernikahan dan pandangan masyarakat terhadapnya. Dalam pernikahan masyarakat Bali yang masih memegag teguh tradisi, sangat dianjurkan untuk menikah dengan kasta yang sama. Sementara apabila pernikahan terjadi dengan kasta yang berbeda, maka masyarakat akan berpandangan negatif terhadapnya.
            Ya. Sadri memang sering iri pada Telaga, karena perempuan itu memiliki seluruh kecantikan para perempuan desa. (2002: 5)
            Rasa iri Luh Sadri semakin bertambah ketika lelaki yang diam-diam dikaguminya justru mendambakan kecantikan Telaga.
            “Sayang, dia seorang brahmana. Andaikata perempuan itu seorang sudra, perempuan kebanyakan, aku akan memburunya sampai napasku habis. Kalau dia minta napasku, aku akan memberikan hari ini juga.”
            Laki-laki itu adalah Putu Sarma, laki-laki paling gagah dan sering jadi pembicaraan perempuan-perempuan sudra di desa. (2002: 7)
            Perbedaan kelas antara Telaga dan Sadri membuat kesenjangan di antara dua perempuan ini. Kelas Telaga yang lebih tinggi membuat dirinya banyak diidam-idamkan laki-laki. Namun, perbedaan kelas ini juga membuat laki-laki yang mendambakan Telaga tidak berani untuk memiliki bahkan menggodanya. Karena lelaki dari kelas bawah tidak layak menikah dengan perempuan yang kelasnya lebih tinggi kecuali nyentanain.
Nyentanain adalah kawin dengan seorang perempuan yang telah dijadikan sentana (ahli waris). Yang perempuan berkuasa di rumah. Dalam hal yang demikian pihak perempuan yang meminta laki-laki. Karena peraturan adat dibalikkan, maka pihak perempuan dipandang sebagai laki-laki, yang lelaki sebagai perempuan. (2002: 13)
Hal ini terjadi pada pernikahan Nenek dan Kakek Telaga. Nenek dijodohkan dengan laki-laki miskin. Laki-laki ini bernama Ida Bagus Tugur, laki-laki yang terpelajat dan akhirnya menjadi Lurah. Namun, jabatan membuat laki-laki ini lupa. Padahal, Nenek telah berusaha menempatkan laki-lakinya sederajat dengan laki-laki di griya. (2002: 14) Bahkan, ternyata laki-laki ini memiliki simpanan seorang penari yang sangat cantik dari golongan sudra dan merupakan janda dari dua anak.
Betapa perempuan, meskipun dari golongan kelas atas, namun hiduonya tetap menderita. Terlebih ketika anak semata wayangnya -- yang laki-laki itu juga menikah dengan Luh Sekar, perempuan sudra.
***
Keagungan kasta brahmana ini didambakan oleh seorang tokoh perempuan bernama Luh Sekar. Ia sangat mendambakan menjadi rabi, seorang istri bangsawan. Kalau aku tak menemukan laki-laki itu, aku tak akan pernah menikah. (2002: 19) Dari narasi ini, tampak bahwa perempuan memiliki kebebasan untuk memilih, perempuan memiliki hak untuk menentukan laki-laki yang kelak akan menjadi suaminya. Meskipun hanya sebatas memimpikan, namun jalan pikiran yang terbuka ini membuat perempuan punya harga diri dan pendirian yang teguh terhadap masa depan hidupnya.

Kebebasan Perempuan dalam Tarian Bumi
            Meski perempuan berada dalam kungkungan budaya patriarki, namun dalam novel ini perempuan mendapatkan ruang kebebasan untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan sudut pandang penceritaan perempuan, segala perasaan, pikiran, dan pandangan perempuan terhadap laki-laki dan peristiwa yang dialaminya tergambar secara bebas. Perempuan, dalam posisinya yang marginal, mendapatkan ruang untuk mengungkapkan hal yang ingin diungkapkannya. Inilah ciri dasar feminisme, yaitu berusaha menyingkap ketimpangan yang terjadi.    
            Demikianlah gambaran singkat mengenai potret perempuan pada bagian awal cerita dalam novel Tarian Bumi. Tulisan ini hanya menyetuh bagian permukaan, tentang bagaimana perempuan Bali digambarkan dalam novel, tentang pandangan perempuan terhadap perempuan, pandangan perempuan terhadap laki-laki, pandangan perempuan  terhadap perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas, serta kebebasan perempuan dalam Tarian Bumi. Masih banyak yang dapat diekplorasi dari nobel ini, namun karena keterbatasan pengetahuan saya, sehingga tulisan ini hanya dihadirkan sebatas ini.
            Menurut IndonesiaTera yang menjadi penerbit novel ini, Tarian Bumi sangat menarik karena pertama, novel ini ditulis oleh generasi baru yang notabene penulis perempuan. Kedua, tema yang diangkat adalah posisi perempuan dalam kebudayaan Bali. Ketiga, novel yang berbicara mengenai tema tersebut (kultur Bali) sangat sedikit jumlahnya, apalagi yang ditulis oleh penulis perempuan. Dalam novel ini kita dapat menemukan problem fundamental perempuan Bali serta merasakan atmosfer “pemberontakan’ sekaligus situasi ambivalen kaum perempuan dalam menghadapi realitas sosialnya. Tata sosial yang hierarkis lewat pembagian kasta, budaya patriarki yang lebih memungkinkan kaum laki-laki mendapat lebih banyak privelese sosial merupakan fakta yang tidak terbantah sampai saat ini.


*** Tulisan ini merupakan respons terhadap pembacaan novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini yang diterbitkan pada tahun 2002 (cetakan ketiga) oleh penerbit IndonesiaTera.    

Komentar