Sketsa merupakan
kumpulan esai karya
Firman Venayaksa
(kemudian penulis panggil Venayaksa-red) yang dihimpun dalam rentang tahun
2004-2012. Buku kumpulan esai ini
menyatukan tulisan yang terserak, dipilih berdasarkan tulisan-tulisan lain yang
mungkin masih terberai di media. Dengan membaca Sketsa, kita dapat melihat perjalanan kepenulisan esai Venayaksa.
Kita akan menemukan gaya yang berubah-ubah antara esai awal dan akhir. Secara
leksikal, sketsa adalah pelukisan dengan kata-kata mengenai suatu hal secara
garis besar, tulisan singkat, ikhtisar singkat (KBBI). Berarti Sektsa yang merupakan tagline dari kumpulan esai ini adalah uraian secara garis besar dan
singkat tentang sastra. Setelah membaca kumpulan esai ini, saya berusaha
menguraikan garis besar yang ditulis Venayaksa menjadi tiga bagian lebih kecil,
sketsa dalam Sketsa. Bagian-bagian
tersebut antara lain: tentang sastra yang berkembang di Banten, geliat sastra Indonesia, dan
persinggungan dengan sastra dunia.
Berangkat dari Esai
Sebelum kita membedah esai Venayaksa, alangkah lebih baik
jika kita mengetahui apa itu esai. Wan Anwar dalam esainya tentang Esei dan Pelajaran Demokrasi menjelaskan
titik pijak esai adalah subjektivitas penulis dalam merespons realitas faktual.
Selain kata “subjektif”, meski tidak sekuat dalam karya sastra, dalam konteks
esai perlu ditambahkan kata “imajinatif” yang memang erat hubungannya dengan
“subjektivitas”. Esai adalah tulisan yang melihat realitas-faktual dengan
pandangan subjektif-imajinatif (bersifat pribadi) sebagaimana sastrawan menulis
puisi atau prosa. Akan tetapi, esai tidak melulu bersandar pada imajinasi dan
subjektivitas, sebab esai pun
kokoh mencengkeram fakta dan realitas. Itu sebabnya esai disebut sebagai
tulisan semi-ilmiah sekaligus semi-sastra. Itu sebabnya ilmu sastra memasukkan
esai sebagai suatu genre sastra (2011: 15). Dari pengertian tentang esai tersebut,
kita dapat membaca sudut pandang subjektif-imajinatif Venayaksa tentang tema
yang diangkatnya dalam Sketsa.
Membaca Banten dari Esai Venayaksa
Dari keseluruhan esai Venayaksa, sepuluh diantaranya
mengangkat tema tentang Banten. Venayaksa menulis sesuatu yang dekat dengan
dirinya, seperti kata Anwar bahwa esai adalah tulisan yang melihat
realitas-faktual dengan pandangan subjektif-imajinatif (bersifat pribadi).
Karena itu, dua diantara kumpulan esai ini bicara tentang Rumah Dunia. Dalam Rumah Dunia dan Pengembangan Kesusastraan serta
Rumah Dunia dan Kantung Kebudayaan. Rumah
Dunia sebagai learning centre yang
mencetak para penulis muda, berkembang dengan berbagai program dan visi
meningkatkan gairah literasi di Banten. Dalam Rumah Dunia dan Kantung Kebudayaan dijelaskan bahwa Rumah Dunia sebuah komunitas yang
didirikan Gol A Gong sebagai
kantung-kantung kebudayaan, di mana budaya membaca, menulis, dan berkesenian
hidup dalam komunitas ini.
Kita tahu bahwa Venayaksa merupakan
presiden kedua Rumah Dunia setelah Gol A Gong. Venayaksa menceritakan
pengalaman dan pandangan subjektifnya tentang Rumah Dunia pada Forum Temu
Sastrawan Indonesia ke-4 di Ternate. Untuk sebuah kedalaman, menulis sesuatu
yang dekat memang lebih ringan dibandingkan menulis sesuatu yang jauh dari
kehidupan. Seperti yang dikatakan Prabasmoro (2007: 1) bahwa sesuatu yang dekat
lebih mudah dituliskan dibandingkan dengan sesuatu yang berada di luar diri kita
atau liyan (the other).
Selain bicara tentang Rumah Dunia,
Venayaksa juga bicara tentang penulis Banten. Beberapa esainya mengulas tentang
Cerita Fantastis: Novel Silat Jawara dan
Pertarungan Sejarah. Esai ini terkesan menceritakan kembali isi novel, dan
memandang bahwa novel silat melekat pada stigma sebagai novel yang dipandang
sebelah mata oleh pembaca. Namun, novel silat yang ditulis Fatih Zam ini
melekatkan diri pada latar sejarah yang terjadi di Banten, saat meletusnya
gunung Krakatau.
Esai lain yang juga mengulas isi
buku yang ditulis orang Banten, yaitu Membaca
Penulis Buruh Jenny Ervina. Jenny Ervina, buruh migran yang berhasil
menulis cerpen dengan apik. Cerpen-cerpen Jenny dengan tema buruh migran-nya
dianggap menarik oleh Venayaksa karena Jenny seolah berangkat dari realitas.
Sehingga tokoh-tokoh dalam cerpennya seolah hidup. Dalam cerpennya, Jenny
mengangkat kehidupan pembantu dari sudut pandang tokoh pembantu maupun tokoh
majikan. Narator tahu banyak tentang buruh migran, sehingga pembaca diajak
sepenuhnya untuk hanyut dalam cerita. Narasi tentang buruh migran dianggap
menarik oleh Venayaksa, dibandingkan narasi-narasi lain. Dengan demikian, Jenny
akan menemukan kekhasannya apabila berusaha konsisten mengusung tema tentang
buruh migran yang juga merupakan bagian dari hidupnya.
Masih tentang Banten, Venayaksa menulis esei tentang
Baduy yaitu, Pendekatan Ecocrititicism
atas Pikukuh Adat Baduy dalam Menjaga Keselarasan Alam dan Manusia serta Relasi Cerita Rakyat dan Kehidupan Sosial
Pada Masyarakat Baduy. Dua esai ini seperti esai kembar yang saling
berjalinan, dua esai ini memiliki satu muara pembahasan, bisa saja disatukan
menjadi seperti sekeping uang logam. Dua esai ini mengungkap kebudayaan Baduy
dengan sederhana, lebih menitikberatkan pada kajian struktural, nilai-nilai
yang terdapat dalam cerita rakyat. Meskipun kajian terhadap nilai-nilai cerita
rakyat ini menurut Damono merupakan hal yang perlu digali di dalam sebuah
sastra lisan. Kepentingan sastra lisan adalah untuk menggali nilai-nilai pada
suatu zaman dan merevitalisasi untuk masa di kemudian hari (Venayaksa, 2012:
48)
Masyarakat Baduy masih mempertahankan tradisi yang mereka
yakini, seperti membuat jarak dari dunia luar. Mereka tetap konsisten dan tak
terpengaruh modernisme yang terus menggerogoti kehidupan manusia. Masyarakat
Baduy memegang teguh empat konsep larangan.
gunung teu
meunang dilebur
(gunung tidak boleh dihancurkan)
(gunung tidak boleh dihancurkan)
lebak teu
meunang diruksak,
(lembah tidak boleh dirusak)
(lembah tidak boleh dirusak)
lojor teu
meunang dipotong,
(panjang tidak boleh dipotong)
(panjang tidak boleh dipotong)
pendek teu
meunang disambung
(pendek tidak boleh disambung)
(pendek tidak boleh disambung)
Baduy tetap menjaga keutuhan tatanannya tanpa harus
bertubrukan dengan khaos yang
dirasakan manusia modern. Sebenarnya saat ini kita bukan berada dalam dunia
modern, namun sudah mengarah pada postmodern di mana banyak orang sudah jenuh
dengan modernitas dan kembali pada tradisi. Seperti banyak tempat makan hadir
dengan gaya modern, namun dengan dekorasi tradisional (bersaung dan lesehan).
Inilah ciri postmodern.
Selain tentang sastra dan kebudayan
yang ada di Banten, Venayaksa juga mengangkat tokoh yang berperan dalam
perkembangan kesusastraan yang ada di Banten, dalam Toto ST Radik: Masalah Keberpihakan dan Pertentangan. Esai ini
ditulis dalam rangka ulang tahun Toto ST Radik yang ke-40, membahas tentang
Toto ST Radik dan karyanya. Esai ini mengulas secara singkat perjalanan Toto ST
Radik dalam berkarya, menyebut Toto ST Radik sebagai penyair yang latar belakang
kehidupannya tidak diketahui banyak orang. Puisi-puisi Toto ST Radik yang
sarkastik, seperti salah satu puisinya yang berjudul Rakyat, yang menyindir, menyentil, dan mengangkat isue sosial yang sedang berkembang.
Dalam karya selanjutnya puisi Toto ST Radik seperti puisi kamar, yang sublim, kontemplatif
yang merenungi kehidupan penyair yang dihidupinya.
Geliat Sastra Indonesia
Sastra Indonesia
yang diamati Venayaksa dalam esainya antara lain, tentang puisi multimedia
Asrizal Nur, perdebatan antara Jurnal Boemiputra dan TUK yang kaitannya dengan
kegiatan Ode Kampung 2 di Rumah Dunia, Gladiator sastra yang merespons tentang
Donny Anggoro yang mem-plagiasi cerpen Putu Setia, ekranisasi novel Brownis, novel Chafcay Saefullah
berjudul Payudara, dan novel Imperia karya Akmal Nashery Basral.
Ada peristiwa yang menarik dalam
esai Venayaksa, yakni perdebatan yang terjadi antara Jurnal Bumipotera dan TUK,
dalam esainya Boemipeotra, Anti
Imperialis dan Ode Kampung#2 Venayaksa merekam peristiwa yang terjadi pada
tahun 2007 dalam ranah kesusastraan Indonesia. Pada tahun ini, terdapat
persoalan-persoalan ideologi sastra (komunitas dan media). Esainya ini
merupakan respons terhadap tulisan Viddy AD Daery berjudul Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme di Republika. Terjadi pertentangan,
perdebatan antara Jurnal Boemiputera dan TUK, dan deklarasi yang dihasilkan
dari Ode Kampung.
Esai lainnya berjudul Are:
Pertarungan Antara Ideologi dan Psikologi, bagian pembuka esai ini
menggunakan bahasa yang kurang efektif, terlampau menjelaskan gagasan yang
ingin disampaikan penulis. Dari esai ini kita dapat melihat perkembangan
kreativitas menulis Venayaksa pada tahun 2005 -- ketika esai ini ditulis dengan
gaya penulisan esai Venayaksa terkini. Gaya bertuturnya berbeda. Esai ini
seperti terseok-seok dan terbebani oleh dua teori besar mengenai ideologi dan
psikoanalisis. Pada halaman 119, kita dapat menemukan catatan kaki yang begitu
panjang (seperti tulisan dalam jurnal) padahal esai ini disajikan untuk acara
bedah buku novel Brownies di Rumah
Dunia tahun 2005.
Venayaksa menyebut bahwa Are yang menjadi salah satu
tokoh dalam novel Brownies tidak
terkesan powerfull dan tegas layaknya
anak seorang Jenderal. Are terkesan
plintat-plintut, hanya mengeluarkan referensi, centil literatur dari bahan
bacaannya, tetapi tidak bisa mengaplikasikan secara riil. Benarkah Are yang
centil literatur, sedangkan ketika saya membaca esai ini juga saya merasakan
berat sebelah dengan ideologi yang lebih banyak dibahas tinimbang psikoanalisis
Freud yang hanya diulas pada bagian akhir. Esais seperti terburu-buru ingin
mengakhiri tulisannya dengan menuliskan Tapi,
ah… biarkan rasa yang memilih.
Esai terakhir dalam kumpulan esai ini sangat menarik,
tentang plagiator dan gladiator sastra kota. Membahas tindak plagiasi yang
dilakukan Donny Anggoro dengan cerpen Olan
terhadap cerpen Sialan karya Putu
Setia. Donny mengambil beberapa paragraf dari cerpen Putu Setia. Padahal cerpen
Donny ini telah memenangkan sayembara DKJ. Sehingga dewan juri memutuskan untuk
menarik cerpen tersebut dari peredaran. Karena pada akhirnya kejujuran adalah
modal untuk hidup agar lebih bermartabat.
Persinggungan dengan Sastra Dunia
Venayaksa juga
membuat esai yang membahas sastra dunia. Salah satunya membahas novel korupsi
yang ditulis oleh Tahar Ben Jelloun yang diterjemahkan oleh Okke K.S Zaimar
serta relevansinya dengan praktik korupsi yang membudaya di Indonesia. Novel
ini berkaitan dengan novel Pram yang berjudul sama.
Esai ini sekadar ulasan atau bisa saja yang ingin diangkat Venayaksa sebenarnya bukan hanya perihal korupsi yang terdapat dalam teks novel, melainkan korupsi yang menjadi teks tersendiri dalam narasi besar kebudayaan di Indonesia. Esai ini tidak menghadirkan kritik yang berarti, kata-kata dibiarkan berlarian sesuai dengan konteks yang dibahas. Esais hanya berusaha fokus pada sebuah pertanyaan politis tentang korupsi yang menjadi samar-samar antara kebenaran dan pembenaran.
Esai berikutnya yang juga bersinggungan dengan sastra dunia, yaitu Membaca Leo Tolstoy dalam Tuan dan Hamba. Uraian dalam esai ini mempertemukan antara gagasan Lukacs dengan Bhartes. Lukacs menyatakan bahwa karya sastra adalah “cermin” atas kehidupan. Dalam konteks ini, sastrawan tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan hasil karyanya. Sementara Bhartes mengemukakan bahwa pengarang telah mati. The Death of the Author (segera setelah sesuatu ditulis, pengarang tak lagi berhubungan secara langsung pada realitas, kita harus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harus dibayar dengan matinya sang pengarang.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Laureason dan Swingewood yang mengemukakan bahwa sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya. Sosiologi sastra menghidupkan kembali kematian pengarang dalam konsep strukturalisme semiotik. Pertemuan berbagai teori ini sangat menarik, hanya saja lagi-lagi Venayaksa terjebak pada kajian struktural, sehingga cenderung menceritakan kembali sebuah narasi. Pembahasan dalam esai ini pun tidak fokus pada wacana yang ingin disampaikan. Tak melulu mengacu pada judul, pembaca hanya dibawa pada sajian cerita Tolstoy yang sangat menggoda. Baru pada simpulan, cukup jelas bahwa Tolstoy dalam karyanya tidak hanya menulis dalam konteks untuk menciptakan karya, melainkan makna paling hakiki adalah dengan melakukan relasi yang seimbang antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia itu sendiri untuk menemukan kebahagiaan.
Pada Akhirnya
Demikian
keterbacaan saya tentang esai Venayaksa. Dengan membaca esai ini kita seperti
dipertemukan dengan tiga dunia dalam Sketsa,
dunia sastra yang berkembang di Banten, dunia sastra Indonesia, dan sastra
dunia. Setelah membaca esai Venayaksa, sepertinya menulis esai tak sesulit dan
serumit yang dipikirkan. Saya jadi ingat Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I-IV yang ditulis HB. Jassin. Esai dan
kritik dalam buku kumpulan esai tersebut singkat-singkat, beberapa esai
berakhir tanpa simpulan. Seperti ingin mengukuhkan bahwa esai merupakan bacaan
yang ringan (karena ruang media untuk esai pun terbatas). Seperti membaca esai
Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 1-7, yang bisa kita baca sekali
duduk. Esai-esainya padat, singkat, namun berisi informasi yang kaya untuk
pembacanya. Walaupun adapula esai yang berat dicerna, seperti esai Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiusitas.
Esai-esai Venayaksa secara umum lebih banyak merevieuw
narasi yang dihadirkan dalam teks yang dibahas, kemudian mengaitkan pandangan
subyektif penulisnya terhadap wacana dominan yang hadir dan menelingkupi teks
tersebut. Terlepas dari pengetikan yang kurang cermat, serta pembahasan yang
hanya menyentuh permukaan sastra. Esai Venayaksa ini memberikan sumbangan yang
berarti bagi dunia sastra, membuat kita dapat melihat kembali kesusastraan yang
berkembang saat ini. Kita dapat membaca sastra dalam Sketsa, sastra dalam
perspektif Venayaksa.
Nita Nurhayati, disampaikan pada bedah buku Sketsa
(20 Esai Sastra 2004-2012)
(20 Esai Sastra 2004-2012)
di Auditorium Untirta pada 13 Mei 2013
Sumber Bacaan
Anwar, Wan.
2011. Perjumpaan dengan Banten. Serang:
Kubah Budaya.
Prabasmoro,
Aquarini Priyatna. 2007. Kajian Budaya
Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Bandung: Jalasutra.
Venayaksa,
Firman. 2013. Sketsa Sastra. Serang:
Gong Publishing.
KBBI edisi IV.
Komentar
Posting Komentar