Mencari-cari Tuhan dalam Doa yang Mengancam: Sebuah Kajian Ekranisasi



         Doa yang Mengancam adalah film yang diadaptasi dari cerpen Jujur Prananto dengan judul yang sama. Setelah menikmati dua karya ini dalam waktu yang bersamaan, banyak ditemui persamaan dan perbedaan. Cerpen yang hanya tediri dari enam lembar ini kemudian dialihwahanakan menjadi tayangan yang berdurasi sekitar satu jam lebih. Jika melihat secara keseluruhan, cerpen dan film ini mengusung misi yang sama yaitu keyakinan akan doa yang dipanjatkan. Cerpen dan film ini mengisahkan tentang seseorang yang berdoa ingin terlepas dari kemiskinan dan menjadi orang kaya. Tokoh ini sudah terlalu banyak hutang dan harus ke luar dari kontrakan yang sekarang ditempatinya.
            Perbedaan yang terdapat dalam cerpen dan film ini, mulai dari nama tokoh yang berlainan, jika di dalam cerpen tokoh utamanya bernama Monsera, sedangkan dalam film tokohnya bernama Madrim. Penamaan Madrim ini ada dalam adegan ketika Madrim dapat melihat masa lalunya saat memandang foto ibunya yang masih muda. Nama Madrim diberikan oleh dukun beranak yang begitu mengagumi Batik Madrim sebagai Fatih Angling Darma. Perbedaan lain yang muncul yaitu latar atau setting cerita, jika dalam cerpen berlatar di negeri Kalyana, sedangkan dalam film mengambil latar yang lebih realistis yaitu di pinggiran kota Jakarta. Kemudian tokoh utama dalam cerpen ini digambarakan tersesat di sebuah negeri bernama Salaban, sementara di film tokoh utamanya tersesat di Banten Selatan tepatnya di desa Cigundul.
            Unsur fiksional dalam cerpen ini lebih terasa dibandingkan dalam filmnya. Mulai dari nama tokoh yang unik, yaitu Monsera, nama negeri seperti di Khayangan atau negeri khayalan, begitu pula pemerintah yang rajanya hanya khayalan semata. Cerpen yang notabene memiliki ruang terbatas ini menemukan keleluasaannya dalam film. Di film dihadirkan tokoh Kadir, sahabat setia Madrim yang membantunya ketika diusir dari kontrakan. Kadir juga selalu menemani Madrim dalam susah maupun senang. Dalam hal ini, Madrim selalu berusaha untuk menemani Kadir dan mereka kerap kali sering berada dalam tempat yang sama. Terutama ketika Madrim ditinggalkan isterinya, yang bernama Lena entah ke mana.
            Kehadiran isteri Madrim ini yang menjadi tokoh tambahan dalam penceritaan di film. Madrim diceritakan mengelana mencari isterinya yang pergi dari rumah tanpa izin. Ketika Madrim sudah menjadi kaya raya, ia merasa sangat kesepian, sehingga bosnya menyediakan Madrim seorang perempuan yang ternyata adalah Lena. Mendapati kejadian ini, Lena merasa sangat terpukul dan putus asa mendapati lelaki yang ditemuinya adalah suami yang selama ini mencarinya. Sebagai seorang suami yang begitu mencintai isterinya, Madrim bersikap bijaksana dan memberikan dua pilihan, yaitu Lena meninggalkan profesinya yang sekarang sebagai pelacur dan kembali hidup bersama Madrim atau tetap memilih kehidupannya yang sekarang yang sebenarnya mungkin Lena juga merasa tertekan. Jika Lena memilih yang kedua, maka silakan loncat dari lantai paling atas mereka berada, dan ternyata Lena memilih pilihan yang kedua dan Madrim sangat terkejut dan menangis histeris.
            Madrim sangat putus asa, ia menghambur-hamburkan uangnya dari lantai teratas apartemen kemudian mencari ibunya. Sebelumnya Madrim merasa kecewa karena ternayata ibunya adalah seorang pelacur, dan Madrim adalah seorang anak preman yang dihasilkan dari hubungan gelap di prostitusi. Kemudian penceritaan berlanjut pada keputusasaan Madrim, ia kembali berdoa sambil mengancam, jika Tuhan tidak menyabut kekuatannya maka ia akan berpaling dari-Nya. Madrim pergi ke desa di mana ia pernah disambar petir. Kadir mencari-cari Madrim, dan kelebat orang-orang berputar-putar dalam bayangan yang ada di kepala Madrim. Ia tampak sangat tak kuasa mengendalikan diri dan mengalami stress yang berlipat-lipat.
            Pada akhir penceritaan dalam film, Madrim membuka sebuah warung bersama ibunya dan Kadir. Kemudian muncullah tokoh Siti yang biasa ditemuinya dalam warung tempatnya ngutang dahulu. Siti tampak kebingungan sambil membawa tas besar untuk pulang kampung karena warung tempatnya bekerja sudah bangkrut. Madrim menawari pekerjaan untuk Siti, dan akhirnya melamar Siti. Ending film berakhir bahagia, dan pejabat yang menjadi buronan polisi itu akhirnya sudah tertangkap dan di hukum penjara. Berbeda dengan ending cerpen yang terbuka, Monsera seperti melihat masa depannya. Setelah ia disambar petir di negeri Kalaban, Monsera ternyata memiliki kekuatan supranatural yang lainnya yaitu dalap melihat masa lalu dan masa depan. Monsera melihat dirinya mati dibunuh oleh dua orang perampok yang menghadang jalannya. Ia sangat tertekan dan merasa sangat bingung kepada siapa lagi akan berboda dan memohon pertolongan.
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ekranisasi menyebabkan adanya persamaan dan perbedaan antara cerpen dan film, walaupun dengan judul yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh ruang dalam cerpen yang lebih terbatas dibandingkan dalam film. Adanya perubahan-perubahan ini tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda ketika membaca cerpen maupun menonton filmnya. Tim kreatif film bersetia pada cerpen yang diadaptasinya. Tokoh-tokoh dan latar atau setting serta suasana dalam film dirasa lebih rasional tinimbang dalam cerpen yang cenderung fiksional. Namun, sejauh ini saya bisa menikmati dua karya ini sebagai bagian dari perkembangan seni dan produk kebudayaan. Film Doa yang Mengancam telah berhasil menyerap esensi yang terdapat dalam cerpen yang ditulis oleh Jujur Prananto.

 
Referensi

Bramantyo, Hanung. 2009. Doa yang Mengancam. Jakarta: SinemArt Pictures.       
Prananto, Jujur. 2002. Doa yang Mengancam. Jejak Tanah – Cerpen Pilihan Kompas 2002. hlm. 48-58
  

           

Komentar