ZIARAH
(Sekat
Dunia Nyata dan Ghoib)
Oleh: Nita Nurhayati
Sebenarnya aku tak
ingin menceritakan kisahku ini. Tapi, seperti ada yang mengganjal dan mesti
kusingkirkan batu dalam otakku itu. Batu yang hadir dalam mimpiku beberapa
waktu yang lalu. Batu sebagai tanda bertuliskan nama, orang tua, tanggal lahir,
dan tanggal wafat. Batu yang selalu membayangiku tentang sebuah rumah
peristirahatan terakhir.
Aku tak ingin terlarut
dalam imajinasi, mimpi, dan sebuah keinginan untuk selalu ditemani dalam sepi.
Air mata adalah hal biasa yang biasa mengalir setiap perih dalam perjalanan
mengarungi waktu. Seorang perempuan membatu terisak di sudut kamar dibayangi
kenangan masa silam.
Rasa kangen itu kian
membuncah di kala sepi. Kesepian adalah obat bagi semua kegelisahan hingga
klimaks kesedihan. Kejadian ini bermula dari kunjungan seorang teman ke
rumahku. Biasa saja, kami para perempuan sering berbagi cerita. Curhatlah
tentang hidup dan kehidupan.
Aku sebut saja namanya,
Santi ke rumahku Februari lalu. Perempuan yang memiliki basic agama cukup kuat ini, indah sekali melantunkan ayat suci
Al-Qur’an. Hal ini dilakukan pula seusai sholat maghrib di kamarku. Santi
memohon izin meminjam Al-Qur’anku dan mengaji Yasin. Tepat sekali malam itu
adalah malam jumat. Tidak hanya suara Santi yang terdengar mengumandangkan ayat
demi ayat Surah Yasin, melainkan terdengar ibu-ibu pengajian di Masjid sekitar
rumahku yang sedang menggelar majelis ta’lim.
Sejuk sekali terdengar
dilantunkan oleh Santi, tilawahnya begitu merdu dengan tajwid yang teratur.
Selesai mengaji, Santi menatapku dan bertanya:
“Kamu punya saudara
yang sudah meninggal?” Santi heran.
Aku tidak menjawab, tatapan
mata Santi seolah curiga dan menelisik sesuatu.
“Ya.” aku jawab ringan
tanpa menatap Santi tetapi sibuk membuka-buka buku.
Buku-buku di kamarku
menumpuk, deadline seminar proposal skripsi
membuatku membiarkan buku-buku yang aku butuhkan berjajaran di bawah meja
belajar.
“Umur berapa?” tanya
Santi lagi.
“Saudaraku yang
meninggal, ya. Adikku Santi, Aku punya adik lelaki selain yang di Pesantren
sekarang. Adikku meninggal setelah tiga hari sakit panas. Umur meninggalnya
saat itu kata ibu 1,5 tahun, emang kenapa Sant?” aku bercerita seadanya.
Santi hanya senyum. Ia
tahu kalau aku sensitif dan penakut. Sepertinya ingin sekali banyak berbicara
tetapi, ia tahan.
“Hmemmm.... ni cuma
perkiraan gue aja ya, lo jarang kirim hadiah ya?”
“Maksudnya?” aku
terheran. Biasanya hadiah kan hanya dikirimkan untuk orang yang hidup.
“Ya, lo kirim doa buat
adik lo”.
Aku hanya tersenyum,
aku sadar memang jarang mengingatnya. Hanya kadang-kadang aku kirimkan doa jika
sedang ingat.
“Gue ngerasa....” Santi
tidak meneruskan ucapannya.
“Ada apa sih Sant, lo
jangan aneh-aneh dweh”. Aku khawatir.
Kemudian Santi
membereskan mukena dan meletakkan Al-Qur’an di atas meja belajarku.
“Waktu gue ngaji, kan
nunduk ngebaca tulisan Al’Qur’an. Walaupun begitu, pasti kan kelihatan kalau
ada sesuatu. Gue ngelihat ada dua anak kecil yang main ‘ciluk ba’ di balik
gorden”.
Duh, aku langsung merinding.
“Sant, adikku hanya satu yang meninggal”.
Santi nyengir,
“temannya kali”
“Lo jangan mikir
macem-macem dweh, itu cuma ilusi lo ja kali." Aku berusaha tidak
menghiraukannya.
“Santi, lo jangan pulang
ya, malam ini nginep di rumahku, oke,” pintaku pada Santi yang sudah beres-beres
hendak pamitan pada orang tuaku.
“Gue udah ditungguin,
ma orang rumah. Hati-hati lu yupz”.
Wah!
Aku semakin ngeri, malam itu aku tidak bisa tidur dan selalu terbayang wajah
alm. Adikku. Beberapa waktu yang lalu memang aku bertemu dengannya dalam mimpi.
Kita berdua meluapkan rasa rindu dan saling bergandengan berjalan entah ke
mana. Seolah-olah berada di tempat yang belum pernah aku datangi, entah di
dunia yang mana. Dalam pandanganku yang jelas terang penuh cahaya gemerlapan, tempatnya
amat nyaman dan rindang.
Semenjak aktif di
organisasi dan mengenal dunia sastra, aku sering bergadang dan baru bisa
terlelap hingga larut malam. Pukul 24 selalu aku lewati, dan melewati tengah
malam itu berarti aku tak bisa tidur cepat lagi. Menurut teman-teman kebiasaan
itulah yang membuat tubuhku tak bisa gemuk selain dari faktor genetis.
Bulan februari pun
berlalu, mimpi-mimpiku terlewatkan sebagai bunga tidur. Tanggal 21 februari,
kami sekeluarga merayakan hari ulang tahun adikku yang di pesantren dengan
syukuran ala kadarnya. Jika ada salah satu anggota keluarga kami yang berulang
tahun, maka kami merayakan hari jadinya dengan saling memberi hadiah. Aku dan
ibu ke pesantren setelah belanja hadiah untuk adik.
Menginjak bulan Maret,
aku dengar pengurus Kubah Budaya dan Hima Diksatrasia akan ziarah ke makam alm.
Wan Anwar. Bapak sastra Untirta yang telah mendahului meninggalkan kehidupan
duniawi. Ini penziarahan yang kedua setelah awal tahun baru lalu kami
berziarah. Aku sudah begitu lelah berada di kampus. Hari ini aku tak bawa motor
hanya helm saja karena dijemput sahabatku.
Karena sahabatku
keberatan untuk ikut ziarah, akhirnya mengantarku pulang ke rumah. Di jalan aku
di telepon Pak Firman, mengajakku ziarah. Aku langsung meminta sahabatku untuk
putar balik karena dari hatiku yang paling dalam sebenarnya aku ingin sekali
berziarah. Setiap kali aku ziarah ke makam WA, aku selalu mendapat serapan
motivasi dan sengatan semangat untuk membaca, menulis, berkarya, dan tetap
peduli kepada kegiatan Himpunan. Aku sering sekali meminta bantuannya untuk
berbagi kegiatan himpunan, bahkan WA adalah penasihat utama himpunan yang super
peduli.
Sepulang dari
penziarahan WA. Aku terlentang di kasur. Lelah sekali menjalarai tubuh. Tanpa
mandi, aku terlelap. Hampir tengah malam aku terbangun ketika kembali bermimpi
tentang alm. Adikku yang seolah berkata:
“Mbak, ko’ aku gak
diziarahin”.
Aku terkesiap. Langsung
aku beristighfar, dan rasa rinduku semakin membuncah apabila sepi sudah
merenggut waktu.
***
Hari
berikutnya, aku merasa penat karena masalahku begitu bertumpuk dan aku tak bisa
fokus. Kejar deadline di sana-sini, seperti biasa aku tak bisa tidur, tetapi
aku selalu pungkiri jika mengidap imsomnia. Karena terjaga di larut malam adalah
sesuatu yang menyenangkan. Waktu yang menentramkan untuk berada dalam kekhusuan
dan melahirkan karya.
Berbeda
dengan hari-hari sebelumnya, aku merasa ditemani. Di lantai atas yang hanya
aku penghuninya, aku jadi tak sendiri. Seseorang seolah duduk atau berseliweran
menemaniku. Aku tak ngeri untuk malam ini. Tetapi malam-malam selanjutnya
adalah malam-malam menegangkan yang mencekam. Aku rasakan bergadang tak
senikmat hari-hari sebelumnya. Lewat tengah malam adalah pencampuran waktu
antara dunia nyata dengan dunia gaib. Tibalah pada tengah malam jumat yang
begitu mistis. Rasa sensitifku semakin mendesak kengerian. Aku langsung tarik
selimut memaksa untuk memejamkan mata walaupun tak bisa tidur.
Masa-masa
seperti ini aku alami sampai awal bulan mei. Sampai pada tanggal 12 mei pagi
hari, rabu itu aku menjalankan aktivitas harian. Setelah aku mandi, kuletakkan
baju kotor di keranjang ruangan belakang setelah tangga. Di sebelahnya terletak
rak sepatu. Pandanganku terpaku pada secarik kertas di atas rak itu. Aku
mengambilnya dengan terheran.
Membaca
tulisan itu membuatku bergetar hebat seluruh tubuh. Itu adalah sebuah amplop
lusuh yang di mukanya tertuliskan nama dengan huruf kapital Indonesia dan
tulisan nama dengan huruf Arab. Tertanggal dan ada waktu kelahiran alm. adikku.
Aku tersentak.
Sesegera
mungkin aku keluar rumah, kuletakkan kertas yang ternyata amplop kosong itu di
bawah toples ATK. Aku bergegas pergi karena sudah dijemput temanku.
Hari
sudah siang. Perutku sudah menagih untuk diisi. Aku pergi ke warteg bersama
teman. Selesai makan, kami duduk di beranda kayu. Sebelum aku duduk, aku
meminta temanku untuk bergeser. Mataku tertancap pada sekuntum bunga sedap
malam yang hampir saja aku duduki. Aku cium aroma bunga itu harum sekali.
Tetapi, melihat itu mata temanku menatap ke arahku tajam sekali. Aku
mengarahkan bunga itu ke hidungnya.
“Wangi
ya?”
Dia
menghindar dan berisyarat untuk meletakkan bunga itu. Aku berkali-kali mencium
aromanya karena begitu sedap memenuhi hidung. Aku dan dia duduk sambil makan
kswaci.
“Bunga
apa ya ini?” tanyaku pada teman.
Pikiranku
langsung terarah pada pedagang bunga tabur ziarah yang biasa berjualan di gerbang
menuju pintu masuk makam kesultanan di Banten lama. Aku langsung meletakkan
bunga itu cepat-cepat sehingga tertumpuk dengan kulit kwaci.
“Tanda”.
Kata temanku.
Jekas
sekali, tanda-tanda penziarahan yang aku alami. Lalu aku seperti tak tega untuk
membuang bunga itu. Aku tanya pada pemilik warteg ternyata bunga itu adalah
bunga sedap malam yang pohonnya ada di belakang kami duduk. Aku amati pohon sedap
malam yang berdiri menyelinap di antara pohon-pohon yang lain. Aku perhatikan
bunga yang ada di pohon itu, semuanya kuncup kecuali bunga yang terletak di
tempat kami duduk, aneh.
Selesai
makan, temanku mengantar pulang. Tetapi, sebelum ke arah rumah, semenjak jalan
utama rusak selalu lewat jalan kampung. Di antara gang kecil yang sering kami
lewati itulah terdapat makam alm. Adikku.
Bukannya
lurus, tetapi temanku memarkir motor di depan gerbang makam. Aku diam.
“Ayo
turun, kita ziarah” ajak temanku.
“Nanti
saja, aku belum siap. Kan ngajak Santi juga”. Aku menolak.
“Sekarang
saja kita lihat, anggap saja berkunjung, silaturahim dengan adikmu yuk!” bujuk
temanku.
“Harus
beli air dulu gak ni?” aku pikir biasanya orang ziarah membawa air untuk disirami ke tanah pemakaman.
“Gak
usah, nanti aja!”.
Tipikal
temanku yang introvert langsung melangkah dan menyuruhku mengikutinya.
“Di
mana?”
Aku
bingung, setelah puluhan tahun, aku tak memasuki komplek pemakaman itu, aku
lupa lokasinya. Aku berjalan ke arah barat. Kukira di sana makamnya, ternyata
bukan. Kami berputar-putar beberapa menit. Aku putuskan untuk lewat jalan
berpetak dari pada terinjak kuburan-kuburan yang telah rata dengan tanah. Tepat
beberapa langkah tak jauh dari jalan. Aku melihat sebuah nama, itulah makam
adikku.
Binar
bahagia seolah tak bisa terelakkan dari hatiku. Rasa kangen yang tertahan
hingga puluhan tahun itu luruh di pemakaman. Lelaki ini adalah teman kecilku.
Lelkai kecil yang berbadan agak gemuk dibandingkan aku, menutup usia di wajtu
yang sangat muda. Meski hanya 1.5 tahun kita bersama. Tetapi kenangan bersamamu
adalah masa kecilku yang bahgaia. Kita sedarah dan itulah yang membuat ikatan
batin kita terasa erat.
Setelah
membaca doa dan membersihkan makam, aku belum ingin beranjak. Aku tatap nisan
itu, tertulis namanya, bapakku, tanggal kelahiran dan wafatnya. Allahu Akbar,
astagfirullahal adziem.. dua hari lagi adalah tanggal kematian adikku. 14 mei
1993. Aku tersedak. Lama sekali aku memegang erat-erta batu nisan. Aku kangen,
seolah bisa kuusap keningnya yang bersih.
Dengan
langkah gontai aku ke laur dari komplek pemakaman. Astagfirullahal Adziem, aku
baru tahu kalu adikku meninggal pada bulan mei tepat nya tanggal 14. Aku pulang
ke rumah dengan perasaan tak keruan.
“Sudah
agak lega kan?” tanya temanku.
Memang
terasa lega setelah meluahkan rasa kangen yang terendap semenjak 17 tahun yang
lalu.
Aku
sampai di rumah. Kutemukan rumah begitu sepi. Aku langsung mandi, sholat dhuhur
dan yasinan. Hampir selesai yasinan dan tahlilan ibuku datang. Aku menyudahi
mengiriman doa itu. Meluaplah semua tangisan dan air mata yang bercampur antara
kerinduan dan kebahagiaan.
Ibuku
terheran melihat aku yang membuka mukena dan menutup buku kecil pedoman yasin
dan tahlil.
“ada
apa?” tanya ibuku.
Aku
diam menahan sesak.
“ko’
baju adiknya dipakai?” tanya ibu lagi. Saat itu memang aku mengenakan pakaian
adikku yang di pesantren yang ukurannya sama dengan bajuku. Aku tak berani ke
lantai atas atau ke kamarku karena rumah masih sepi. Apalagi setelah apa yang
terjadi.
Aku
mulai bercerita, kalau aku tadi dari makam, mandi kemudian yasinan. Ibu
bertanya tentang keadaan makam adikku yang masih terwat atau tidak. Agar ibu
percaya aku ambil amplop yang aku temukan di rak sepatu itu, tangan ibu
bergetar sampbil berkata kalau itu adalah tulisan bapak 19 tahun yang lalu
ketika ia alm. Adikku lahir. Duh, gusti, Engkaulah Maha dari segala Maha yang
menguasai segenap kehidupan. Segala milik Allah akan tiba waktunya untuk
kembali padaNya.
Aku
masih bercakap dengan ibu, malah menertawaiku mengenakan baju adik. Padahal itu
baju kaos biasa, ibuku mengira pakaiannya sudah habis karena esoknya aku
mencuci baju. Malam dari dari pemakaman itu aku tak bisa tidur, setiap tengah
malam aku terbangun. Karena sudah tak tahan dengan keadaan yang mencekam. Aku
sms empat teman terdekatku tengah malam. Hanya Gita yang menjawab, akhirnya aku
ceritakan hal yang mengganjal pikiranku. Tetapi bukan soal magis, masalah
kuliahku yang banyak kuceritakan.
Tibalah
hari jum’at. Sebutlah ini adalah hari kemaian adikku. Aku menyiapkan beberapa
hal. Keinginanku saat ini adalah membeli kembang dan kendi air khusus
penziarahan. Santi yang rumahhnya di dekat Banten lama membawakan aku kembang,
dan aku beli kendi air di Pasar khusus menjual peralataan kematian. Betapa
bahagianya membeli sebuah kendi air. Hal yang aneh terjadi, yang melayani aku
adalah seorang nenek tua yang tak jelas bicaranya, ia bertanya macam-macam
alasanku membeli kendi itu.
Sebelum
ashar kutunaikan niatku untuk merayakan ulang tahun kematian adik. Aku datang
ke pemakamannya bersama temanku. Sebab orang tuaku tak pernah mau berziarah.
Entah ada kisah apa di balik kematian adikku. Belum relakah orang tua
kehilangan darah dagingnya? Aku tak ingin memaksa, ingin kutuntaskan kerinduan
ini. Kulantunkan ayat-ayat suci Al Quran bersama temanku. Di antara kami
memang tak ada yag bisa ziarah kubur, maka perlu buku panduan dan kami
membacakannya berdua.
Aku
seolah memangku adikku, ketika kusirami air yang kubawa. Ingin sekali aku
mengurai air mata, tapi tertahan pada sesak di dada. Malam sebelum aku ke
pemakaman, aku terbangun seolah ada yang berucap:
“Mbak,
makasih ya. Tenang saja, aku baik”.
Semenjak
kata itu terlontarkan entah dari mana, siapa, dan hanya bisa kurasakan. Seolah
ikhlas adalah seluruh tubuh yang kurasan. Plong, lega sekali dan aku memulai
aktivitas seperti biasa.
Aku
sadar, kali ini aku bukan sedang membaca novel fenomenal berjudul Ziarah karya
Iwan Simatupang. Atau salah satu seri BSR berjudul Ziarah karya Gol A Gong
seperti cuplikannya: “Orang yang sudah mati berarti sudah putus hubungan dengan
keduniawian”. Aku bersyukur bisa
merasakan sendiri tanpa sekat alam ghoib dengan alam nyata. Begitu banyak
hikmah yang dapat aku ambil pelajarannya. Mudah-mudahan, kejadian ini dapat
menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Meyakini rukun iman kepada yang
ghoab.
Ya Allah,
aku tahu Engkau maha memiliki. Engkau Maha Kuasa, pemilik kehidupan dan
kematian. Bagi yang memilki saudara atau orang-orang yang dicintai tetapi sudah
meninggal maka, jangan lupakan ia. Ingatlah dalam doa-doa setelah sholat dan
bila perlu menziarahinya. Hakikat hidup adalah mengingat kematian yang pasti
akan datang.
Manusia Hidup pada Ahad, 16 Mei 2010
Komentar
Posting Komentar