Pendidikan
Karakter dalam Novel dan Film Laskar
Pelangi
Oleh: Nita Nurhayati
Pendidikan
merupakan jalan bagi seseorang untuk menempa dirinya. Dalam proses mengenyam
pendidikan khususnya di sekolah dapat mengantarkan seseorang menemukan jati
dirinya. Setiap manusia yang tumbuh dari anak-anak, remaja dan beranjak dewasa
mengalami siklus kehidupan yang beragam. Peristiwa yang dialami seseorang pun
berbeda, bergantung pada dunia yang digeluti. Setiap orang hidup dalam
lingkungan tertentu, tak ada seorangpun yang mampu menyendiri selama hidupnya
apalagi tanpa bersosial sekalipun. Meskipun sastrawan semisal Pramoedya Ananta
Toer, pernah kesepian dalam penjara. Ia pun melewati sebuah fase hidup maha
dahsyat ketika berumur 17 tahun harus menguburkan ibunya sendiri tanpa bantuan
siapapun, tetapi inilah hidup yang kerasnya tak sekeras batu dan tak pula
secair air.
Hidup mengajari kita berpikir dan
bersikap. Dari sikap inilah akan menimbulkan respons dari orang lain ketika
berinteraksi sosial. Menurut Mulyana (Gong, 2010: 7) “Hati-hati dengan hatimu,
karena itu akan jadi pikiranmu. Hati-hati dengan pikiranmu, karena itu akan
jadi tindakanmu. Hati-hati dengan tindakanmu, karena akan jadi kebiasaanmu.
Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena akan jadi karaktermu. Hati-hati dengan
karaktermu, karena akan jadi masa depanmu”. Pernyataan Mulyana tersebut mengingatkan
kita betapa pentingnya karakter. Karakterlah yang akan menentukan nasib kita di
masa yang akan datang. Dengan demikian, teramat perlu kita menjadi diri yang
berkarakter agar menjadi manusia yang berkarakter dan bernasib beruntung.
Pentingnya
Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter merupakan permasalahan yang saat ini menjadi tanggung jawab bersama.
Persoalan moral, akhlak, dan sebagainya yang berkaitan dengan kepribadian
seseorang pada dasarnya adalah tanggung jawab masing-masing individu. Jalal
(Herdani, 2010) mengatakan bahwa pendidikan Indonesia memang selama ini lebih
menekankan pada pola pendidikan yang bertujuan meningkatkan nilai kognitif
saja, maka dari itu Jalal mengajak seluruh jajaran pendidikan menanamkan
pendidikan karakter guna menyentuh sisi-sisi afektif.
Pembelajaran
karakter dapat menjadi orientasi pengajaran di sekolah. Semisal pembelajaran
apresiasi novel, di dalamnya terdapat analisis unsur intrinsik novel yang salah
satunya membahas mengenai identifikasi karakter tokoh utama dalam novel. Adapun
pembahasan mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam novel sudah ada sejak
lama dalam pembelajaran sastra di SMP. Namun, jika diamati pembelajaran
apresiasi sastra yang ada di SMP terkesan kurang variatif sehingga menyebabkan
kejenuhan bagi siswa. Oleh karena itu, karya sastra yang diadaptasi ke dalam
film apabila dijadikan pembelajaran akan menarik.
Kemenarikan ini
akan timbul karena siswa tidak hanya diajak untuk menganalisis bentuk teks
saja, melainkan juga menganalisis bentuk film dari ide cerita yang sama. Karya
sastra yang diadaptasi disebut juga ekranisasi. Suseno (2009) menyatakan bahwa
ekranisasi mungkin menjadi istilah yang baru, khususnya di Indonesia. Akan
tetapi, kalau disebutkan dengan filmisasi atau pemfilman novel, barangkali
istilah ini lebih familiar di telinga masyarakat Indonesia. Budiman (1996: 31)
mengungkapkan bahwa pemilihan film ekranisasi juga merupakan sebuah alternatif
peningkatan kualitas siswa dalam mengapresiasi sastra yang selama ini
dikeluhkan menurun. Selain juga membentuk kesenangan baru yang bermanfaat dan
dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, pemilihan film ekranisasi juga
untuk memberikan bekal apresiasi sastra yang lebih baik kepada siswa.
Adaptasi
novel ke dalam film Laskar Pelangi
Adanya novel adaptasi diharapkan
dapat menjadi stimulus bagi siswa untuk membaca. Dengan adanya novel adaptasi
akan dapat memotivasi siswa untuk membaca novel, mengapresiasi, dan
menganalisis unsur yang terdapat di dalam novel. Seperti halnya dikatakan Teeuw
(2003: 120) bahwa tidak ada sebuah tekspun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam
arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya
teks-teks lain. Oleh karena itu, dalam menciptakan sebuah teks, proses saling
mempengaruhi menjadi sebuah kelaziman (Hadiansyah, 2010: 1).
Novel dan film
merupakan produk kebudayaan sehingga membandingkan kedua karya ini merupakan
hal yang sah untuk mempertajam pemahaman. Seperti pendapat Damono (2009: 128)
bahwa membanding-bandingkan benda budaya yang beralih-alih wahana itu merupakan
kegiatan yang sah dan bermanfaat bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai
hakikat sastra. Pembelajaran kajian perbandingan karakter tokoh utama dalam
novel dan film Laskar Pelangi
diharapkan dapat menjadi alternatif pembelajaran apresiasi atau kajian novel
dalam pembelajaran sastra di SMP. Siswa dapat menemukan persamaan dan perbedaan
yang terdapat di dalam novel dan film
Laskar Pelangi sehingga dapat mempertajam daya nalar siswa. Siswa tidak
hanya diajak untuk menganalisis karakter melainkan juga dapat meneladani
karakter tokoh utama yang terdapat dalam novel dan film Laskar Pelangi.
Pemilihan novel
dan film Laskar Pelangi ini
diharapkan dapat memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan karakter
terutama pendidikan karakter bagi siswa. Artinya, setelah siswa membaca dan
menonton film Laskar Pelangi, siswa
terpengaruh dan akhirnya meniru sikap dan perilaku tokoh tersebut. Setelah
peneliti membaca beberapa novel dan menonton film maka Laskar Pelangi-lah yang tepat dijadikan sebagai bahan pembelajaran.
Hal ini, karena usia tokoh dalam novel dan film Laskar Pelangi sesuai dengan usia siswa SMP sehingga memudahkan
siswa untuk memahami karakter-karakter tokohnya. Selain usia tokoh yang
diceritakan dalam novel dan film Laskar
Pelangi sebaya dengan siswa SMP, tema Laskar
Pelangi juga sangat menarik. Tema yang terkandung dalam Laskar Pelangi yakni tentang perjuangan
untuk meraih pendidikan dan eratnya sebuah persahabatan. Tema ini sangat
berkaitan dengan kehidupan yang ada di sekitar kita. Daya juang yang dimiliki
tokoh-tokoh dalam novel dan film Laskar
Pelangi akan memotivasi siswa untuk rajin belajar dan berjuang keras meraih
cita-cita.
Di dalam novel
dan film Laskar Pelangi terdapat tiga tokoh utama, yakni: Ikal, Lintang, dan Mahar.
Karakter tokoh Ikal, Lintang, dan Mahar antara lain sederhana, disiplin rajin,
optimis, idealis, cerdas, bersahabat, berjiwa kepemimpinan, setia, motivator,
mandiri, berjiwa seni, iamjinatif dan pantang menyerah meraih cita-cita. Setiap
tokoh utama dalam novel dan film Laskar
Pelangi memiliki ciri khas
kepribadian, antara lain Ikal yang pengagum dan dapat menyerap inspirasi dari
orang-orang yang dikaguminya, kemudian Ikal juga merupakan seorang yang setia
pada cintanya terhadap gadis Tionghoa bernama A Ling. Lalu Lintang memiliki
karakter yang cerdas dan dapat menjadi motivator bagi teman-temannya untuk
berjuang dalam keterbatasan. Tokoh utama lainnya yang tampil eksentrik dan
berjiwa seni yaitu Mahar. Mahar dapat meningkatkan martabat SD Muhammadiyah
dalam lomba karnaval, begitu pula dengan Lintang yang telah membuktikan
kecerdasannya dalam Lomba Cerdas Cermat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bu
Mus dan Pak Harfan: “Orang miskin juga
berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Mereka juga harus berani
mempunyai cita-cita”. Tokoh-tokoh ini bergerak sesuai dengan alur cerita
dalam novel dan film Laskar Pelangi.
Oleh karena itu,
kinilah saatnya para guru dapat menerapkan inovasi pembelajaran yang variatif
berbasis karakter. Guru dapat menjadikan novel dan film Laskar Pelangi sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang
variatif. Siswa tidak hanya diajak untuk membaca novelnya saja, melainkan juga
menonton film dari ide cerita yang sama. Dengan demikian, perombakan dalam
pembelajaran memang diperlukan guna terealisisanya pembelajaran yang Paikem (Pembelajaran
Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan) serta berorientasi pada pendidikan
karakter.
Tulisan ini
merupakan inti sari skripsi penulis, Nita
Nurhayati, 08 Maret 2011
Terbit di Banten Raya Post pada Jumat, 11 Maret 2011
DAFTAR
PUSTAKA
Budiman,
Eriyandi. 1996. Pembahasan Novel dan Film
Ekranisasi. Bandung: Wahana Iptek.
Damono,
Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan.
Ciputat: Editum.
Hadiansyah, Firman. 2006. Adaptasi Film Biola Tak Berdawai ke dalam Novel:
Kajian Perbandingan. TESIS. Jakarta: Universitas Indonesia.
Heldy HS, Rahmat. 2010. “Bermimpi Mengubah
Kampungnya”. Guruku Sayang dibuang Jangan.
Serang: GONG Publishing.
Herdani, Yogi.
2010. Pendidikan Karakter Tugas Penting
Para Pendidik. Website Resmi Ditjen DIKTI. Diunduh pada 10 Juli 2010, pukul
08 : 04 WIB.
Suseno. 2009. Ekranisasi,
Filmisasi Karya Sastra. Diunduh pada tanggal 03 Januari 2011, pukul: 15.45
Teeuw. A.
2003. Sastera dan Ilmu Sastera.
Bandung: Pustaka Jaya.
Assalaamualaikum..
BalasHapusBoleh lihat file, skripsinya mbak?
Terima Kasih
Boleh, alamat emailnya apa mas Andhika Patria?
HapusWaalaikumsalam.. sami2 mas andhika. Terima kasih pula sudah membaca artikel sederhana ini. Sukses untuk penulisan skripsinya ya.. Tabik!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus