Pelangi untuk Mama

Launching Kumcer KKDP,
RD, 20 Oktober 201
PELANGI UNTUK MAMA
(Cerpen Nita Nurhayati)

“Kapan Mama bisa hidup tenang?”
Kata-kata ini yang sering ia tanyakan padaku.
Aku hanya keponakan yang tinggal bersamanya. Aku memanggilnya Mama karena ibu kandungku telah meninggal ketika melahirkanku. Sementara Ayahku menikah lagi sehingga aku dititipkan pada Mama. Perempuan usia kepala empat ini adalah kakak tertua ibuku. Perempuan yang menghabiskan hidup untuk berjuang demi keutuhan keluarga.
Aku tahu Mama teramat lelah ketika aku pulang dari sekolah. Tampaknya Mama juga baru pulang dari mengajar, dalam lelah ia tetap berusaha menyambutku dengan wajah cerah.
“Nida, kok pulangnya sore amat sih?” Tanya Mama padaku.
“Nida habis bikin mading Ma di sekolah.” Jawabku santai.
“Kamu tuh sebentar lagi kelas 3 Nida, masih ngurusin Mading. Emang kalau lulus dari SMAN 1 Ciruas mau jadi apa?”
“Tapi Ma, kagol. Nida kan Pimrednya. Jadi, harus tanggung jawab Ma.” Jawabku kemudian.
“Tanggung jawab? Emangnya kamu ngerti soal tanggung jawab. Lelaki aja yang ngerasa paling bertanggung jawab masih lalai. Bapak kamu tuh jam segini masih tidur.” Mama menggerutu.
Aku berlalu mendengar ocehan Mama. Rasanya ketika mendengar kata tanggung jawab, emosi Mama langsung meledak-ledak. Dari pada aku mesti tersulut ledakannya lebih baik aku tak menghiraukannya.
Kujinjing sepatuku dari depan pintu menuju kamar. Tak mesti jauh berjalan, cukuplah beberapa langkah untuk sampai ke kamarku yang terletak paling ujung. Rumah Mamaku hanya tipe 21, RSSS di Taman Pipitan Indah. Lokasinya di daerah Walantaka, angkot hanya ada hingga pukul 18.00 WIB. Jadi, aku harus berada di rumah sebelum magrib tiba. Untungnya sekolahku tak jauh dari rumah, hanya berjalan ke gerbang komplek kemudian naik angkot sampai Prapatan Ciruas dan naik angkot sekali lagi ke arah Kragilan tepatnya berhenti di Kampung Kiara, di sebuah sekolah yang berlabelkan SMA Negeri 1 Ciruas.   
Pikiranku masih melingkar pada Mama. Aku tahu akhir-akhir ini Mama sedang didera masalah. Sertifikasi guru yang ia tunggu-tunggu tak juga cair. Gaji ke 13 minggu lalu sudah habis untuk melunasi utang keluarga. Semenjak Bapak di PHK dari Pabrik, Mamalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Hanya Mama yang bekerja, sementara Bapak setiap harinya tak jelas kerjaannya. Lebih sering seharian di rumah, menonton TV atau mengurusi burung perkutut kesayangannya. Aku yang masih tercatat sebagai Siswa SMAN 1 Ciruas ini, hanya mampu membantu Mama untuk sesekali les privat anak SD di rumah pada malam hari.  
***
   Aku melepas seragam putih abu-abu. Baru beberapa saat merebahkan tubuhku di kasur, aku terganggu oleh bau kapuk yang menusuk-nusuk hidung. Kasur ini memang bekas dipakai kakak sepupuku. Istirahatku jadi sangat terusik oleh kapuk-kapuk yang menjelma sayap-sayap putih beterbangan ketika aku menarik bantal. Kapuk-kapuk itu bermunculan dari kain kasur yang jahitannya sudah sobek di sana-sini. Aku coba menutupinya dengan seprey. Tapi, tetap saja tak mengurangi sesak nafasku. Aku menarik selimut yang juga pemberian kakak sepupuku yang kedua. Mama memiliki dua orang anak laki-laki. Kakak sepupuku yang pertama tinggal tak jauh dari rumah Mama, masih satu kompleks dan yang bungsu tinggal bersama mertuanya.
“Hupgh... orang mau rehat juga, ribet amat ya.” Gerutuku sambil mencari jarum jahit di lemari baju.
   Aku menunda istirahatku, rasanya sobekan kasur ini semakin hari semakin melebar. Aku membuka laci lemari yang tak berpintu. Yah, lemari ini memang satu-satunya peninggalan Ibu. Harta satu-satunya yang aku miliki selain pemberian dari Mama.
   Aku membuka-buka setiap laci. Dua di sisi kanan dan di bawahnya tumpukan buku sekolah. Tak mungkin ada di sana, pikirku ketika melihat tumpukan baju yang terlipat di lemari yang kacanya sudah terbelah. Aku biasa bercermin di sana, kaca pecah itu belum bisa kuganti karena belum ada uang. Aku memang hidup dari keringat Mama. Meskipun sejak lahir aku dirawat Mama tetapi dalam situasi tertentu aku tetap merasa jadi orang lain. Rahim Mama tak pernah mengandungku. Mama tak pernah melahirkanku. Aku tak berani meminta banyak pada Mama.
Karena tak kutemukan benda yang kucari, aku berniat ke luar kamarku. Namun, kurasa sepertinya ada orang bercakap di luar sana. Aku tetap melangkah ke ruang tengah, maksudku ruang serba guna yang biasa dipakai untuk ruang keluarga, ruang makan, dan ruang tamu. Sebelum langkahku bertambah, aku mendengar suara isak tangis dari seorang perempuan. Aku memerhatikan punggung perempuan itu, rasanya kukenal.
“Ah, ini urusan orang dewasa. Aku tak boleh ikut campur.” Pikirku begitu, karena Mama selalu mengingatkanku untuk rajin belajar. Urusan yang lain merupakan tanggung jawab Mama.
Aku menuju bufet yang dekat dengan tempat mereka duduk. Aku tersendat untuk melanjutkan langkahku, kali ini seperti ada orang sedang bertengkar. Aku mengintip dari kamarku. Tapi, rasa penasaran itu membuatku berani untuk melangkah. Kulihat perempuan itu terisak. Aku menghampiri mereka duduk di kursi yang sudah cabik-cabik. Aku beranjak ke bufet yang bisa dipastikan kalau ada barang yang kucari di sana. Aku masih membelakangi mereka, karena kupikir ini urusan orang dewasa. Aku terus disibukkan mencari sesuatu.
“Ma, jarum di mana?” tanyaku yang terus mencari-cari di dalam bufet tanpa berpaling menatap mama.
Tak ada jawaban, aku terus mencari.
“Auw...” ujung jarum yang terselip pada tumpukan alat tulis, kancing bekas, gunting, dan peralatan lainnya itu membuat jari telunjukku terluka.
Darahku memang tak mengalir hanya luka tusuk biasa. Oh, tapi luka yang lebih parah di hati mama. Perempuan muda yang terisak ini membuat mama mengurut dada.
   “Benar Ma. Bang Japran emang nggak mikirin keluarga lagi Ma.” Tutur perempuan muda itu.
Perempuan muda yang belum lama jadi bagian keluarga kami ini adalah menantu Mama, tepatnya istri anak bungsu mama.
“Nida, cari apa kamu?” tanya Mama yang melihatku sedang sibuk membuka-buka bufet. “Nida, tolong ambilin celengan Mama di bawah kasur ya!” perintah Mama selanjutnya.
Aku tak menyahut, tetapi langsung menuju kamar Mama yang berdekatan dengan kamarku.
“Yang warna merah Ma?” teriakku.
“Iya, bawa ke sini!”
Aku ke luar dengan membawa celengan plastik untuk kuserahkan pada Mama.
“Ambilin pisau juga ya!”
Perintah Mama lagi menunda kesibukanku mencari benda kecil yang melukai ujung jariku.
Aku berjalan menuju dapur. Dalam pikiranku bertanya-tanya. Firasatku berkata seperti ada yang nggak beres.
“Nih, Ma.”
Aku saksikan Mama berusaha membelah celengan plastik yang berbentuk tabung itu. Berkali-kali Mama mencoba membelahnya tapi, belum juga terbelah. Mama lagi-lagi berbicara.
“Kapan Mama bisa hidup tenang?”
Pertanyaan itu yang kembali terlontar dari mulut perempuan setengah baya ini.
Ketika itu aku merasa sesak mendengar kata-katanya.
“Emangnya utangnya berapa, Ti?” tanya Mama pada perempuan muda yang duduk di hadapannya.
Perempuan yang sudah menjadi bagian dari keluarga ini memang sikapnya berani. Anak bungsu Mama menikah dengannya 5 tahun yang lalu. Namun, waktu lima tahun tidak membuatku akrab dengannya. Ia tinggal bersama ibunya di Ciruas Pasar.
“Cuma satu juta Ma.” Jawab perempuan yang biasa aku panggil Teh Ati ini.
“Kok bisa sampai satu juta Ti? Emang buat ngutang apa?”
“Buat belanja harian, Ma. Buat susu Apri juga habis. Seminggu saja susunya satu kotak Ma. Belum lagi rokoknya Bang Japran. Jadi ditotal satu juta, Ati nggak enak Ma, orangnya nagih ke rumah.” beber Teh Ati.
“Kalian berdua kan kerja. Japran masih kerja di Nikomas kan?” telisik Mama kemudian.
“Masih Ma tapi, yah gitu deh. Gaji Bang Japran tuh nggak jelas habisnya buat apa. Ati mah bingung Ma.” Teh Ati mengadu.
“Emang Japran gak nyerahin slip gaji?” Tanya Mama penasaran.
Teh Ati menggeleng.
Aku menunda pencarianku. Aku duduk di samping Mama. Aku benar-benar aneh dengan perempuan muda ini.
“Mengapa dia berani mengadu pada Mama. Padahal kan suaminya adalah anak Mama.” Aku jadi geregetan dibuatnya.
Aku tak bisa bayangkan bentukan hati Mama saat ini. Mamaku yang hampir menua ini merasakan beban yang teramat berat. Ia telah banyak berkorban untuk anak, keluarga, dan aku. Melihat kejadian ini memang aku diam saja. Aku tahu tak berhak untuk mencampuri urusan keluarga Mama. Hanya saja, aku tak rela mendengar Kakak sepupuku dijelek-jelekin.
   Bukan sepenuhnya karena Bang Japran adalah kakak sepupuku. Tapi, aku tak suka tabiat perempuan yang jadi isterinya kini. Sebentar-sebentar ia mengadu pada Mama jika tak ada uang. Tidak hanya sikap Bang Japran dan isterinya membuatku miris. Tapi, Mama mengungkit kembali kelakuan anak sulungnya.
“Gak Japran, gak Parman. Dua-duanya ngerongrong terus ke Mama. Kalian kan sudah berkeluarga. Kemarin pagi Parman datang ke sini, katanya anaknya sakit. Dia minta uang sama Mama buat bawa Hani ke dokter. Duh... punya anak dua laki-laki kok kayak gini semua. Kapan Mama bisa hidup tenang?” Mama membatin perih.
Ia memuntahkan segala kegelisahannya. Aku hanya duduk diam dan berusaha menjadi pendengar yang baik. Walaupun sebenarnya, pikiran dan hatiku berkeliaran untuk menentramkan batin Mama.
Setelah Mama mengeluarkan uneg-uneg di hatinya. Celengan yang berada di tangannya itu dibelahnya juga. Aku ikut penasaran ingin tahu isinya. Apri mendekati Mama, Bocah berusia empat tahun ini sepertinya sudah kenal duit. Ketika uang recehan berhamburan di atas meja, Apri memungutinya sambil ngekek-ngekek.
“Nek, mau ya! He.he.he....” Pinta Apri pada Mama.
Aku tersenyum saja melihat kelakuan cucu Mama.
“Nida, bantuin hitung recehan ya!” Mama menyuruhku memunguti receh yang berserakan.
Receh-receh itu bertebaran di atas meja. Ternyata tidak hanya uang receh itu yang menghuni celengan Mama, tetapi ada uang ratusan, ribuan, dan puluhribuan. Sebenarnya celengan Mama ini untuk berangkat haji. Tapi, selalu ia ambil ketika kebutuhan keluarga memaksa untuk segera dipenuhi.
“Uang Mama banyak juga ya?” kata Mama sambil menghitung lembaran uang kertas.
Kusaksikan wajah Teh Ati yang berubah cerah. Tampak sekali perubahan wajahnya, yang tadinya sendu menjadi berbinar ketika melihat harapan akan utangnya pasti bisa terbayar.
“Ada Rp 75.200 Ma”. Kataku pada Mama sambil menumpuk uang logam.
Apri berusaha meraup semua recehan yang ada di meja.
“Nek...” pinta Apri lugu.
“Itu juga buat kamu Pri, sudah jangan ganggu Teh Nida, main sana di luar!” Bentak Mama.
Aku menyerahkan dua buah uang logam lima ratusan. Apri langsung menghambur ke luar menuju warung untuk jajan.
“Dasar bocah,” ujar Mama kemudian.
Hujan di luar tak jua mampu menyelinap ke dalam hati Mama yang terbakar. Air berjatuhan begitu deras dari langit. Keras menancap, melubangi jalan-jalan rumah kami. Aku menyusul Apri yang masih berada di warung sebelah. Mendungnya awan mungkin akan tepat menggambarkan jalan pikiran Mama yang buntu.
Aku mengawasi Apri yang bermain-main air hujan. Ia mengajakku main masak-masakan. Aku menurutinya sambil berharap bisa melihat pelangi dari teras rumah. Aku benar-benar menaruh harapan akan muncul pelangi usai hujan reda.
***
Aku memang tak melihat Mama menyerahkan semua isi tabungan hajinya. Hanya kudengar dari luar, kalau Mama menyerahkan uang sejumlah Rp 500.000 pada Teh Ati.
Teh Ati masih saja mengeluh karena uang dari Mama hanya dapat menutupi setengah utangnya.
“Sisanya cari sendiri ya Ti!” Kata Mama pada menantunya itu.
Tak lama ketika hujan reda, Teh Ati berpamitan pada Mama. Gelagatnya sungguh membuatku muak, andai dia bukan kakak iparku sudah kubunuh dia. Tetapi, Apri tak mau pulang. Bocah cilik yang sudah akrab denganku ini masih senang bermain-main.
Teh Ati melepas genggaman tanganku dari Apri. Ia sepertinya terburu-buru ingin pulang setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Apri malah menangis, ketika tangan Teh Ati mencengkeram keras tangan anaknya itu.
“Ayo pulang, baju kamu udah kotor, basah semua nanti masuk angin. Kalau kamu sakit Mama yang repot.” Teh Ati meneret-nyeret langkah anaknya.
“Apri mau tinggal sama Nenek?” Tanya Mama sambil menenangkan cucunya itu.
Apri mengangguk dengan gaya kanak-kanak.
“Tapi, Apri besok mesti masuk TK Ma.” Kata Teh Ati berusaha menolak.
Apri terus menangis. Aku bereskan semua mainan Apri. Tangisan bocah cilik ini tak bisa terbendung. Tak sengaja ketika aku mendongak, kulihat lengkung pelangi.
“Pri, lihat dweh!” Aku menunjuk lengkung semangka terbalik berwarna-warni di langit yang lamat-lamat merona indah.
“Bagus kan Pri?” Bujuk aku lagi.
“Kalau Apri mau lihat lebih dekat, ke sana aja!” Anak ini menuruti kata-kataku. Kebetulan jalan menuju rumahnya searah dengan penampakan fenomena alam nan memesona ini. Kemudian Apri ke luar pagar bambu, berlari menuju pelangi.
Aku menyaksikan Mama tersenyum menatap pelangi.
“Nida, rejeki itu bisa dicari kan? Pasti setelah kesulitan, ada kemudahan”. Mama mendekatiku dan membisikkan kata bijak itu. Aku hanya tersenyum membalas kata-kata yang dilontarkan Mama.
“Pelangi itu untuk Mama,” bisik hatiku.
Kemudian kami berdua masuk ke dalam rumah.

Nita Nurhayati, Di ujung harapan, 26 Juli 2010.
Cerpen ini diterbitkan bersama teman-teman Rumah Dunia 
dalam Kumcer Kunang-kunang dalam Pelukan

Komentar