Pelangi Tanpa Hujan


PELANGI TANPA HUJAN
(Sebuah Catatan Kehidupan)

      Seperti menanti pelangi tanpa hujan sore hari. Inilah hidupku selama setahun terakhir. Aku terkatung-katung oleh mimpi yang tak bisa kugenggam. Mimpi yang selalu menghantuiku setiap waktu, setiap malam datang hanya satu harapanku: bisa kuliah lagi. Aku tahu, keadaan keluarga yang seperti ini tak bisa mewujudkan cita-citaku untuk menjadi dosen. Gelar Sarjana memang sudah di tangan. Kata Ibu, bagi anak perempuan menjadi sarjana saja sudah cukup. Aku jalani, nasihat ibu dengan setengah hati karena hatiku yang separuh ingin kuliah lagi. Aku merasa tak cukup hanya berbekal S-1.
            Ini gara-gara Ayahku, seorang Guru yang banting tulang untuk menafkasi isteri dan kedua anaknya. Ayahku dulu adalah asdos di sebuah Universitas negeri di Serang, ketika Universitas itu akan berubah status menjadi negeri maka setiap dosennya harus memilih tetap di kampus. Sementara saat itu ayahku sudah berstatus sebagai PNS di SD. Ayah memilih melepas status dosen dan memilih profesi sebagai Guru SD yang sudah dijalanai selama 10 tahun. Pengalaman ini selalu diceritakan Ayah padaku, dan ini yang membuat tekadku berkobar untuk merealisasikan harapan ayah.
            Namun, ternyata menjadi anak yang dibanggakan orang tua itu tidak mudah. Sama halnya mengejar cita-cita menjadi dosen. Bagiku yang hanya seorang anak guru SD tentu biaya S-2 bukanlah perkara mudah, belum lagi lingkungan sosial yang tak mendukung. Teman-teman sebayaku sudah menikah, dan aku bersyukur karena Ayahku guru SD. Dahulu aku disekolahkan ketika usiaku masih 5 tahun. Sehingga saat ini usiaku baru menginjak 23 tahun. Pikirku masih ada waktu 2 tahun untuk sampai pada usia 25 dan menikah. Untungnya ibuku mendukung.
            Aku berjibaku dengan kehidupan kampus selama empat tahun. Aku kuliah pada fakultas pendidikan jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Bidang studi ini membuatku menjadi lebih mudah untuk mengikuti lomba kepenulisan dan saat pertama aku begitu tertarik pada pada Ketua Hima yang mengospek. Dia adalah satu-satunya alumni yang menjadi dosen di Universitas tersebut. Aku ikuti jejaknya menjadi Ketua Hima Diksatrasia (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia). Menjadi mahasiswa biasa-biasa saja berarti membenamkan diri pada ribuan mahasiswa yang berebut beasiswa. Aku harus dapat beasiswa. Aku belajar dengan keras, tetap menulis, dan aktif di Hima. Alhamdulillah… Perjuanganku ini berbuah manis, mulai tahun kedua sampai lulus aku mendapat beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik). Besaran beasiswa ini pun cukup jika dikumpulkan untuk membayar SPP kuliah lanjutan. Aku terus menulis dan mendapat bimbingan dari beberapa dosen sehingga aku bersama seorang teman memenangkan sebuah lomba Karya Ilmiah Tingkat Mahasiswa Provinsi Banten. Walaupun hanya juara 2 namun, diluar dugaan aku mendapatkan beasiswa S-1 dari Dindik Provinsi dengan bukti voucher Gubernur yang bernilai Rp 5.000.000,00. Subhanallah… nilai ini cukup untk membeli sebuah laptop sebagai penunjang produktivitas menulisku.
            Dengan keteguhan niat aku tetap menyimpan dana beasiswa dari kampus. Alhamdulillah, aku mendapat tiga kali berturut-turut jadi totalnya Rp 9.000.000,00. Hatiku tenang, tabunganku ini cukup untuk setidaknya tahap awal. Aku memang tak bisa memegang dana sebaganyak itu sendiri. Kata Ayah, sebaiknya uang ini ditabung atau diinvest. Aku turuti nasihat Ayah sehingga uang ini diinvestsaikan untuk parohan sawah. Empat tahun memang bukan waktu yang singkat. Aku kuliah dengan sederhana. Pakaian seadanya dan segala fasilitas pun dibatasi. Terkadang aku iri dengan teman-teman yang sudah HP bagus, naik motor bahkan membawa mobil sendiri ke kampus. Belum lagi teman-teman yang sering ngemall. Aku menahan diri dengan godaan yang membuat tabunganku terkuras. Dan jabatan Ketua Hima cukup menjadi prestise untukku walau tampilan sederhana. Aku aktif di kampus sampai lulus.
            Hari yang dinanti pun tiba, wisuda. Inginnya aku memenuhi harapan orang tua sebagai mahasiswa berprestasi. Aku sudah cukup yakin dengan IPK Cumlaud dan aktif di kampus. Cukup bagiku menjadi mahasiswa berprestasi. Namun, ternyata pihak kampus hanya menilai pada sisi akkademisnya saja. IPK ku saat itu 3,60 dan IPK yang menjadi mahasiswa terbaik adalah 3,66. Aku tumbang, kami hanya selisih 0,06. Aku hanya mampu mengulum senyum dan pasrah karena tak bisa membuat orang tuaku bangga. Aku pancangkan niat dalam hati. Menjadi Ketua Hima Terbaik mungkin cukup bagiku, sedangkan menjadi lulusan terbaik ini bukan rezekiku.
            Aku percaya, Allah punya rencan alain untukku. Inginnya saat itu langsung melanjutkan S-2. Namun, ekonomi keluarga sedang morat-marit. Adikku harus melanjutkan SMA. Sementara biaya SMA tidak murah. Aku harus mengalah untuk sekolah adikku. Ia dapat sekolah MAN unggulan yang memerlukan biaya besar. Aku tahu aku perempuan, sedangkan adikku laki-laki. Sayangnya, ibu selalu membandingkan kami berdua. Ibu menganggap sekolahku cukup sampai sarjana sedangkan adikku karena ia laki-laki jadi harus sekolah tinggi. Aku tak bisa membantah ibu.
            Ayahku pun tak bisa membela, karena keadaan keluarga memang beginilah adanya. Aku pasrah. Mengingat tabunganku juga belum cukup karena orang kepercayaanj Ayah yang memegang tabunganku ternyata tak berbuat jujur sehingga bukannya uangku bertambah malah berkurang dengan alasan panen gagal dan harga pupuk melonjak. Aku harus menahan tangis. Bukan hal yang mudah bagiku menunda kuliah. Ibarat nasi mungkin sudah berkerak jika aku menundanya. Aku pancangkan niatku tajam-tajam pada hatiku.
            Dengan sekuat tenaga aku mencari lowongan mengajar. Mudah-mudahan dari honor mengajar, aku bisa mengumpulkan uang untuk kuliah. Tanpa memikirkan fisik, aku ambil semua kesempatan. Alhamdulillah, bekal kuliah dan aktif organisasi membuat guruku di MTs (setara SMP) mengajakku mengajar di sekolahku dulu. Aku mengajar bersama guru-guru yang dulu mengajariku. Alhamdulillah, jalur alumni membuka jalan untukku mengabdi dan menimba pengalaman. Dua tahun aku mengajar di almamater. Setelah mengajar di sekolah formal, aku merasa belum cukup. Honorku di MTs selalu habis untuk transportasi. Aku cari lowongan pekerjaan lagi dan melamar di tempat bimbel. Aku mengikuti tes, wawancara dan menunggu cukup lama sampai akhirnya diterima di GO Serang. Lagi-lagi, hidup memang tak mudah. Aku harus siap untuk mobile Serang-Cilegon-Pandeglang selama seminggu dan ini menjadi rutinitas yang aku jalani setiap hari. Semangatku masih membara, aku tak dengarkan apa kata orang yang meremahkanku karena terlalu memaksakan diri.
            Aku jalani rutinitas ini selama tiga bulan, sampai akhirnya ada Kakak tingkat yang menawariku untuk mengajar menggantikannya karena ia dipromosikan di sekolah pusat. Aku terima tawaran menjadi guru pengganti di SMA I Al-Azhar 6 Serang. Beberapa waktu aku jalani semuanya dengan lancar. Suatu ketika aku tak sengaja ketika mengantar ibu wisuda, aku membvuka Koran yang isinya lowongan pekerjaan sebagai dosen di STKIP Banten. Sebelumnya aku sudah menghadap dosen pembimbingku yang Profesor dan Mantan Rektor.
            Aku coba ikuti nasihatnya untuk melamar di berbagai perguruan tinggi swasta di serang, sebagai homebas. Namun, apa daya. Saat ini, lulusan S1 sudah menjamur di mana-mana. Aku sudah melamar ke Unsera tak ada jawaban, lalu akan mendaftar juga sebagai dosen di Akbid pun tak mendapat jawaban karena pipinannya tak ada di tempat. Ada STKIP Rnagkasbitung, namun kampusnya tak terjangkau olehku. Koran yang dibagikan ketika acara wisuda ibu merupakan jawaban. Aku kumpulkan lagi berkas pendaftaran, beserta CV lengkap dengan karya dan berbagai penghargaan. Kampusnya memang tak jauh dari rumah, hanya akreditasinya masih meragukan. Kupikir, menjadi dosen adalah mencari pengalaman jadi kuputuskan untuk mendafar. Aku jalnai prosedurnya, ikut tes dan wawancara. Alhamdulillah diterima, hatiku bersorak bahagia ketika mengajar pertama dan melihat di daftar hadir mahasiswa yang diatasnya tertera nama dosen. Aku baca ulang nama itu, dan benar itulah namaku. Aku bahagia.
                Semangatku masih penuh untuk memegang 4 cangkir sekaligus. Kalau dihitung-hitung, honor sebulanku pun melebihi PNS. Aku bahagia, dan di tengah-tengah kebahagiaan itu tubuhku menagih istirahat. Sampai akhirnya aku kecelakaan dan terpaksa istirahat. Aku berpikir keras. Berdoa dan menyadari bahwa hidup tak sepenuhnya untuk mekerja dengan memporsil diri. Aku lepas mengajar di bimbel Karena banyak menyita waktu dan tenaga. Setidaknya aku masih punya tiga cangkir berisi rezeki.
            Perlahan-lahan aku mulai mengumpulkan uang untuk biaya kuliah. Akhirnya terkumpul untuk biaya pendaftaran. Saat itu sedang marak trading forex dan sahabatku yang paling karib menarkan aku bergabung. Aku bicara pada Ayah yang sudah lebih dulu bergabung dengan koperasi yang juga dengan sistem yang sama. Dengan jaminan Ayahku akan menyiapkan uang apabila dana di koperasi belum cair, aku menurut saja. Iming-iming mendaoat hasil berkali lipat dan aku mengikuti program beasiswa pendidikan dengan harapan setiap semester akan ada uang untuk SPP. Kenyataannya jauh api dari panggang.
            Semua tabunganku beserta tabungan keluarga amblas karena penipuan. Janji tinggal janji, tak ada kabar pula dari sahabatku yang ketika itu menjajikan manisnya ikut koperasi. Aku benar-benar terkapar, uang yang sedikit demi sedikit kukumpulkan dari keringat dan darahku lenyap dibawa kabur orang. Seminggu aku tak bicara dengan Ayah, tak pula menyapa ibu, dengan adikku hanya bicara seadanya. Aku menagis sejadi-jadinya. Tak bisa tidur dan hanya air mata yang diam-diam membanjiri kamarku. Sekarang aku tak punya apa-apa. Harapan kuliah yang sudah di hadapan mata kandas seketika. Aku mati rasa, tak enak makan dan puasa bicara.
            Aku jalani aktivitas seadanya, kutatap mataku dikaca yang semakin cekung seperti mengembara yang kehabisan air di gurun pasir sahara. Aku lelah menatap tubuhku yang kuyu. Aku simpan dalam-dalam segala kehancuranku. Aku tak bisa apa-apa, hanya berdoa dan pasrah pada Allah SWT. Aku tak menghiraukan panggilan dari kekasihku. Aku tak pula peduli dengan segala yang dikatakannya. Hidupku habis sudah dipenggal waktu. Terseok-seok menunggu ajal. Aku menyerah. Mungkin benar, perempuan hanya cukup di dapur dan tak perlu sekolah yang tinggi. Aku akan merelakan diriku dilamar seorang pemuda, menikah, punya anak dan merawatnya sampai meninggal dunia.
            Aku akan kembali pada kodratku sebagai perempuan, tak ada pemberontakan, tak ada pengembangan kreativitas. Cukup menjadi guru biasa-biasa saja dan mengurus suami. Namun, ternyata kekasihku tak seperti apa yang kupikirkan. Dia tak bosan-bosannya menyemangatiku dan sesekali mengak jalan menghirup udara segar. Aku jalani hidup yang stagnan berbulan-bulan sampaai waktunya pendaftaran tiba, aku hanya mampu mengecap ludah.
            Mungkin orangtuaku tak sampai hati melihat anaknya patah arang. Akhirnya Ayah menasihatiku untuk mendaftar ke perguruan tinggi yang kuinginkan. Ibuku pun member restu untukku kuliah lagi. Pelan-pelan semangatku mulai muncul, aku mulai belajar untuk tes dan mendaftar ke UPI Bandung. Setelah mendaftar ternyata ada peluang beasiswa bai calon dosen. Tetapi UPI bukanlah kampus yang ditunjuk untuk merekomendasikan calon mahasiswanya untuk menerima beasiswa. Mengetahui bahwa beasiswa itu diperuntukkan bagi calon dosen, semangatkuj menggelegak tak terbendung. Segala persayaratannya kuurus dengan proses yang sangat cepat.
            Aku dapat tanda tangan rector untuk rekomendasi beasiswa unggulan dikti. Walaupun bukan UPI, aku datangi DIkti langsung untuk mendapatkan pengarahan. Aku ke UNJ, konsultasi dengan Prodi sampai akhirnya takdir menunjukkanku pada Unpad. Ya, Unpad yang memberikan kesempatan pada calon mahasiswa Ilmu Sastra untuk mengikuti program beasiswa dikti. Aku berusaha mencari info sebanyak mungkin tentang Unpad. Kebetulan, dosen pembimbingku sedang S-3 di Unpad. Aku bertanya banyak hal padanya.
            Setelah mendaftar, aku ikuti tes khusus beasiswa di Unpad. Saat ini sedang menanti pengumuman beasiswa. Alhamdulillah, beberapa hari lalu aku sudah mendapat surat pengumuman kelulusan yang menyatakan bahwa aku diterima di UPI. Sekarang, saatnya menanti. Semoga Allah menentukan yang terbaik. AKu berharap bisa mendapatkan beasiswa unggulan dan kuliah dengan dosen yang merupakan sastrawan favoritku seperti Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, dan sastrawan lainnya yang hanya kujumapi lewat karya. Semoga…. Bismillahi Tawakkaltu Allallah…
            Aku sudah jalani Going the Ekstra Miles, aku juga juga menggunakan mantra Man Jadda Wajadda dan walaupun aku belum pernah merantau, namun aku yakin kata Imam Syafi’i bahwa seorang yang merantau untuk menuntut ilmu akan mendapatkan pengganti kawan dan kerabat, Berlelah-lelahlah karena manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
  
Salam
Nita Nurhayati, 18 Juni 2012

Komentar