Memasuki Dunia “Tingbating” (Sebuah Respons terhadap Cerpen Firman Venayaksa)



Memasuki Dunia “Tingbating”
(Sebuah Respons terhadap Cerpen Firman Venayaksa)
Oleh: Nita Nurhayati
         
          “Kacau, parah!” Inilah kesan yang saya dapatkan setelah selesai membaca cerpen yang menjadi tagline, “Tingbating” karya Firman Venayaksa. Suguhan yang aneh, dunia yang carut-marut ini menjadi satu dalam cerpen berjudul Tingbating. Hal yang menggelikan adalah ketika penulis menghadirkan seorang tokoh yang muncul dan berdialog dengan penulisnya -- dialog antara Tingbating sebagai tokoh dan Om Cerpenis sebagai penulis. Lucu, tetapi seru untuk dimaknai karena beginilah yang sering dialami dalam proses kreatif menulis. Ada pergumulan kata-kata dan adapula pergulatan antara batin dan logika akan apa yang ditulisnya. 
          Cerpen sebagai karya sastra adalah respons penulisnya terhadap apa yang ia alami. Saya melihat hal ini tercermin dalam cerpen Tingbating, agak sulit memang ketika kita mengenal penulisnya dan membaca tulisannya, maka yang terbayang adalah karakter penulisnya. Tulisan sebagai cerminan pemikiran dan karakter penulisnya tercermin dalam tulisan ini. Seperti endormen yang ditulis Sihar Ramses Simatupang: Beragam pencarian teknik baru di dunia cerpen. Firman Venayaksa mengejar dan mengolah teknik baru itu, kendati berbahaya karena si Firman kadang masuk ke dalam kisah.

Penulis sebagai Tuhan
          Tokoh Ogut sebagai cerpenis berlaku sebagai Tuhan. Seolah-olah penulis ingin membuktikan kepada pembaca bahwa sastrawan adalah Tuhan, sastrawan yang notabene menulis berkuasa penuh atas apa yang dituliskannya. Ini terdapat dalam halaman 6-7, pada saat Tingbating tidak setuju karena dirinya ditakdirkan sebagai tokoh yang berwajah dan berkelakuan buruk bahkan memiliki banyak kekurangan.
          Pokoknya kamu harus tetap jadi Tingbating. Jangan dulu protes. Nanti tokohmu aku matikan, baru tahu rasa. Tetap ikuti alur ceritanya, jangan macam-macam.
          ….
          “Jangan protes monyet udiiik!!!”
          ….
          “Ting, Ogut kasih tahu tentang mereka ya.”
          “Ya… ya, Om kan Tuhan di sini.” Dia cemberut tak mau digurui.
          Kisah kanak-kanak Tingbating sungguh tragis, terasing dalam pergaulan. Tingbating kecil tak punya teman, kecuali musang berbulu domba dan Polymouse yang di negerinya terkenal sebagai Polytikus. Kemudian beralih pada pengisahan ketika Tingbating beranjak remaja. Ia mulai jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Wati. Jika kita melihat tahun penulisan cerpen ini yaitu 2003, maka akan membawa karakter Wati ini pada tokoh pemimpin perempuan yang berkuasa pada tahun itu. Pasti kita langsung teringat dengan nama belakang satu-satunya perempuan yang pernah menjadi Presiden Indonesia, Megawati. Dipertegas dalam halaman 8: Wati adalah perempuan merah yang paling ia kagumi. Seperti kita ketahui, warna merah ini adalah warna partai yang diusung pemimpin perempuan ini.  
          Wati digambarkan sebagai seorang perempuan yang sudah kebingungan mengurusi negerinya, pemimpin yang bingung mengambil kebijakan atas apa yang dipimpinnya.Wati bahkan memohon kepada Tingbating dan menaati semua sarannya. Tingbating menjadi trendsetter saat itu, semua orang menjadi Tingbating. Akhirnya Tingbating mencapai harapannya untuk dihargai dan dielu-elukan. Ia telah bahagia dan membanggakan ibunya. Namun diakhir cerita, Tingbating merasa kecewa kepada Om Cerpenis, begini katanya:
          Tingbating asli ngambek , “Ini semua gara-gara Om Cerpenis, sih. Tanggung jawab Om. Masa semua orang jadi Tingbating sih, kan jadi nggak lucu lagi.”
          Saya agak ngeri jika nyatanya semua orang seperti Tingbating yang ketika kecilnya tak diterima masyarakat, tak meminum susu bahkan ia lebih suka meminum air tuba, tak memakan cerelac karena ia lebih suka memakan hati. Jika ia telat makan hati, ia bisa mati. Memakan hati di sini sebagai simbol jika tokoh Tingbating ini benar-benar ada di dunia nyata, maka ia akan memakan hati siapapun yang dikehendakinya. Sebuah kengerian yang dihadirkan penulis, seolah ingin berkata: inilah realita hidup kawan!

Perempuan yang Menguatkan
        Kehadiran seorang perempuan seakan menggenapkan kesejatian laki-laki. Dalam cerpen Tingbating ini dihadirkan tokoh perempuan yang berperan sebagai seorang ibu. Tokoh tak bernama namun disebut penulisnya sebagai wanita lajang. Penulis mendeskripsikan tokoh ini sebagai seorang wanita yang masih muda. Wanita yang tak mau menikahi lelaki, entah mengapa. Ya, ia hanya ingin memiliki seorang putra saja… Perempuan inilah yang membesarkan Tingbating, merawatnya dan memenuhi segala kebutuhannya meski dalam keterbatasan. Tingbating mengeluhkan keadaannya pada perempuan lajang ini, layaknya seorang ibu, ia selalu menyampaikan petuah pada anaknya.
          “Justru kekurangan fisikmu bisa menjadi kelebihanmu. Kamu tahu, mengapa ibu menyayangimu? Karena ibu yakin suatu saat nanti kamu akan menjadi orang terkenal dan menjadi kebanggan semua orang. Kamu akan dicintai oleh setiap orang yang melihat kamu, bahkan Ibu yakin mereka akan merindu ketika tak berjumpa denganmu sehari saja. Ibu yakin, jika kamu percaya diri, kamu bisa menjadi orang hebat.”
           Berkat saran wanita lajang ini, Tingbating pergi ke salon kapitalis. Sebagai seorang ibu, ia juga menyarankan Tingbating agar tertawa untuk melengkapi perubahan penampilannya yang dianggap mengagumkan. Tingbating mengikuti semua saran ibunya. Benarlah perkataan wanita lajang itu, Tingbating bisa menjadi dirinya sendiri dan orang-orang pun mengikuti apa yang dikatakan dan dilakukannya.

Bahasa Tingbating
Ditilik dari segi bahasa, kata-kata dan kalimat yang terdapat dalam cerpen ini terlampau biasa. Tak ditemukan kata-kata yang sukar dimengerti. Bahasanya juga mengalir. Awalnya saya agak enggan membaca prolog cerpen ini karena tanpa basa-basi pembaca diajak langsung mengenal Tingbating. Pembaca diajak membayangkan apa itu Tingbating sampai akhirnya penulis memutuskan untuk menjadikan Tingbating sebagai tokoh utama. Dalam hal ini, kentara bahwa penulis sedang mencari-cari dan menyusun takdir tokoh yang ditulisnya.
Gaya penceritaan awalnya seperti sebuah reportase, seolah saya membaca sebuah berita yang berisi rentetan peritiwa. Penulis mengambil posisi sebagai pemberi kabar, namun ini tak dijumpai ketika penulis jelas-jelas masuk sebagai tokoh Om Cerpenis. Beginilah sebuah kisah yang tak kunjung usai. Meski bahasaya ringan, penulis mengangkat tema yang berat, kompleksitas kehidupan dengan berbagai permasalahannya. Tentang dunia apa adanya, mulai dari aktivitas harian sampai rutinitas di  pemerintahan. Sehingga terang akhirnya cerita ini terbuka. Seperti dunia kita yang masih terbuka dan Tingbating masih merajalela di dalamnya.

29 April 2012
Seusai menghadiri Launching Tingbating di STKIP Rangkasbitung 

Komentar