Lelaki Matahari


LELAKI MATAHARI
(Cerpen Nita Nurhayati)
Senja di terminal Pakupatan Serang merupakan senja terindah yang pernah kutemui. Di atap-atap bus, aku melihat matahari bertengger. Gumpalan awan-awan putih menyebar ke sudut cakrawala. Bulan beringsut-ingsut muncul bersama kegelapan. Aku duduk termangu di halte bus sendirian. Beberapa kondektur menawariku tentang pemberangkatan bus mulai dari Cilegon - Merak, Pandeglang, Rambutan - Kebon Nanas, Kalideres, Jakarta, Bandung, dan sebagainya. Aku hanya menggeleng. Kulihat lamat-lamat lelakiku sudah berlalu menjauh dari tempat kududuk.
Kesepakatan ini sudah kuambil dengan sangat bulat. Kesepakatan antara aku dan dia, maksudku bukan lelakiku yang pergi, tetapi tepatnya sahabat atau hanya teman dekat, teman yang sudah menggenapkan hidupku akhir-akhir ini. Aku tak bisa meneruskan hubungan ini, keputusan ini sudah matang dengan berbagai pertimbangan. Aku menunduk, tapi punggung lelaki itu masih tampak pekat di pandanganku. Aku semakin menunduk. Haruskah aku berbohong pada hatiku? Hatiku yang mana yang harus aku bohongi. Keputusanku sudah final tak bisa diganggu gugat. Ini sudah teramat fatal, aku tidak bisa terus tinggal dalam tempurung hatinya.
Kita bukan siapa-siapa sekarang, walaupun beberapa waktu lalu aku sudah menjadi penghuni tetap kostannya sepulang kuliah. Kostan yang berukuran 2x4 m sudah biasa aku tempati untuk sekadar melepas lelah. Kuliahku memang tak jauh dari kostannya. Bahkan tempat magangnya di Pabrik kertas dekat dengan rumahku di Kragilan, jadi untuk saling mengunjungi sudah menjadi rutinitas harian. Kami berdua sama-sama masih kuliah di Untirta. Aku tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Sastra dan dia Jurusan Teknik Industri.
***
Waktu itu, lelaki yang biasa dipanggil Hari menatapku lekat-lekat. Aku suka dengan mata bulatnya bagai bola gas berpijar menggelinding ke ruang hatiku, ke ruang hampa dengan penuh kehangatan. Kami memang sudah lama kenal, sejak ospek tingkat Universitas kami sudah akrab. Ketika awal masuk kuliah, aku dipertemukan dalam satu kelompok dengan lelaki kharismatik ini. Lelaki yang berparas bersih, berpenampilan rapi dan berbadan tegap ini menjadi ketua kelompokku. Awalnya biasa saja, saat itu aku dipercaya teman-teman menjadi sekretaris. Aku menolak, karena sama sekali aku tak memiliki pengalaman untuk menjadi seorang sekretaris.
Jangankan sekretaris, untuk mengikuti organisasi saja aku mesti berpikir dua kali. Teman-teman yang lain mungkin dapat menerima keadaanku yang serba pas-pasan, bicara di depan umum saja aku tak mampu, apalagi untuk memimpin rapat kelompok. “Tidak” tandasku. Ketika jabatan menjadi sekretaris kelompok ini ditawarkan kepada sepuluh teman yang lain, ternyata mereka semua keberatan. Daripada berlarut-larut, dengan berbagai pertimbangan dan otoritas ketua aku terpaksa menjadi sekretaris.
Kubiarkan hari-hariku berjalan bersama Hari yang selalu menemaniku ke manapun pergi. Walaupun kami berbeda jurusan, kami selalu bisa saling berbagi dan melengkapi kekurangan masing-masing. Aku agak aneh mengetahui hal ini, “jangan-jangan.....” Ah, aku selalu berusaha untuk tidak melambung. Rasanya sudah sangat sering aku disakiti laki-laki, seperti Doni, Reza, Amri, Kemal, Jaka, dan semua lelaki yang pernah mampir di kehidupanku adalah lelaki jahanam. Mereka semua berlindung dibalik raut imut kelinci. Aku masih trauma dengan kejadian-kejadian yang hampir merenggut kehormatanku. Hampir saja aku kehilangan keperawanan ketika lulus SMA, tetapi Mama keburu datang dan memaki-maki teman lelakiku kemudian mengusirnya dari rumah.
Rumahku memang sudah biasa sepi, setiap pagi sampai sebelum senja selesai tampak tak berpenghuni. Aku hanya tinggal bersama Mama. Ayah telah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit menurut kabar yang beredar. Aku tak tahu persis kabar kepergian Ayah. Aku tidak datang pada pemakaman Ayah. Jangankan untuk datang, mendengar kabar meninggalnya saja gak ngaruh buatku. Aku menganggap Ayah meninggal sudah sejak lama, ketika Ayah meninggalkan kami sekeluarga dalam kubangan derita.
“Buat apa Ma ditangisi?” Aku menghampiri Mama yang terisak di sudut kamar.
Rasa benciku yang berbalut kecewa berseberangan dengan perasaan ngilu qalbu Mama yang jadi janda. Bukankah Mama memang sudah menjanda ketika dicerai Ayah? Tak ada bedanya kupikir ada atau tiada Ayah, Mamaku tetaplah janda.
“Ayah sudah menyakiti kita Ma, udah ninggalin kita.”
Mama hanya diam dalam tangisnya.
“Kan sudah kubilang, Mama mendingan nikah lagi supaya tidak terlalu capai dan meratapi Ayah terus-terusan begini.”
Mama tak menyahut pembicaraanku, tak ada sepatah katapun yang ke luar dari bibirnya yang bergetar.
“Ma, aku rela punya Ayah tiri. Ayahku sudah mati Ma, dimakan belatung dia”. Aku terus menceracau semauku.
Husss.... kamu gak boleh ngomong begitu”. Mama reflek menabok mulutku.
Aku teringat pada telapak-telapak tangan Ayah yang kekar sering menampar mukaku ketika aku minta sesuatu. Aku terasa terpental pada masa lalu, namun ini terasa lebih sakit. Mama yang kuanggap seperti bidadari, kini berubah bertaring seperti iblis betina. Sesegera mungkin aku menghindar dari amukan Mama menuju kamar.
Semenjak Ayah memperlakukan kami begitu, aku membenci laki-laki. Aku benci pada janji-janji manis yang ke luar dari mulut pejantan yang mayoritas bajingan. Aku memiliki banyak koleksi untuk disakiti. Sebanyak apapun lelaki yang kusinggahi, tak kutemukan kebahagiaan kecuali penderitaan yang ujungnya mempertaruhkan kehormatan perempuan.
***
Sebuah halte menjadi saksi percekcokan antara aku dan Hari. Hilir mudik orang-orang tak jadi halangan bagi Hari untuk menyatakan cintanya padaku. Sungguh suasana yang tidak romantis. Perasaan Hari seperti tak terbendung ketika mengantarku pulang.
“Aku mencintaimu, Min. Aku menanti saat-saat seperti ini sudah sejak lama, dari waktu ospek Min.” Ujar Hari meyakinkan.
Mimin menggeleng.
Menyaksikan respon yang tak sesuai harapan hati Hari. Di langit matahari tertutupi gumpalan awan putih dan menutupi cahaya oranye sehingga menjadi buram seluruhnya. Langit berubah gelap seolah terjadi gerhana matahari total beranjak senja.
“Aku gak bisa, Ri”. Mimin merobek kekakuan yang menjalari lidahnya.
Lelaki yang memiliki paras Dewa Surya ini mencoba menguak peristiwa di balik penolakannya itu.
“Kenapa kau tak bisa menerimaku, bukankah kau mencintaiku?”
“Mungkin, tetapi cinta itu tak mesti memiliki Ri. Banyak orang yang saling mencintai tetapi tidak hidup bersama kan?” Tandas Mimin kemudian.
Suara deru kendaraan lalu lalang di hadapan mereka. Bising klakson angkutan umum berbagai jurusan meraung-raung di gendang telinga, suasana ini tak lebih kisruh dari Hati Hari.
“Tolong jelasin kenapa kau menolakku?” Hari menjadi sangat bingung, berusaha menebak-nebak ke dalam hati dan pikiran Mimin.
“Tidak mungkin Ri, matahari tidak akan bersatu dengan bumi”.
Hari menjuluki Mimin sebagai bumi. Di mata Hari wajah Mimin selalu berseri-seri bagai bumi di pagi hari. 
“Ini bukan persoalan matahari dan bumi yang tidak bisa disatukan, Min. Tetapi, matahari dan bumi saling membutuhkan. Bumi dibutuhkan matahari untuk menyerap sinarnya, dan bukankah energi matahari menghidupkan bumi?” Hari meyakinkan buminya.
“Kenapa Min? Apa karena kita belum lulus, atau kau masih ingin fokus kuliah tanpa adanya gangguan apapun, atau kau sesungguhnya tidak mencintaiku, Min?” Hari memuntahkan semua isi kepalanya yang membuncah.
“Ini yang aku takutkan, Ri. Kita saling jatuh cinta. Bukannya aku tak ingin, tetapi aku gak bisa, Ri.” Kata Mimin terbata.
“Kenapa kita tak boleh saling jatuh cinta?” Desak Hari.
Mimin mengarahkan pandangannya ke lantai halte yang berkeramik putih kecoklatan penuh debu jalanan.
“Ayo, ngomong dong Min! Kalau kamu jujur mungkin aku bisa terima keputusanmu.”
Mimin menarik nafas dalam-dalam, tarikan nafas ini terasa memberat di dadanya.
“Kau tanya Mama sajalah, yang jelas aku gak bisa. Sekarang tolong tinggalin aku sendiri dan kita tak usah bertemu lagi. Toh, setelah lulus nanti kita pun akan sibuk dengan kehidupan masing-masing.” Mimin memohon dengan wajah melas.
Pikiran Hari terus berpacu dengan waktu yang sedang berkejaran dengan matahari terbenam. Keberaniannya menjadi meleleh seperti kutub utara di musim panas. Hari pikir, kedekatan mereka akan menyemikan cinta dalam dada. Hari menjadi bungah ketika Mimin akrab dengannya. Kali ini Mimin tak seperti biasanya.
Ketika bayangan Hari tak lagi ditemui, Mimin masih terpaku di halte terminal, menunggu entah apa yang diharapkan. Sebuah perasaan rela tak rela untuk ditinggalkan.
Mimin teringat pada ucapan Hari yang mengibaratkan lelaki dan perempuan bagai matahari dan bumi. Matahari selalu menyinari permukaan bumi hingga meresap ke dasarnya. Matahari selalu bersinar meskipun bumi tak henti berputar, matahari tak pernah ingkar janji untuk menghidupkan bumi. Perspektif ini yang merubah pandangan Mimin tentang lelaki, detik demi detik terhapus oleh intensitas pertemuan yang membuatnya bahagia. Bongkahan es yang membekukan hatinya seolah mencair tersengat panas semangat Hari yang membara untuk selalu membantunya beraktivitas. Orang pertama yang selalu membantunya dalam kesusahan adalah Hari. Apapun yang dikerjakan selalu diceritakan pada Hari kecuali masa lalu keluarganya yang broken home.
Mimin tersadar ketika hari berubah gelap dan dia tinggal sendirian di halte yang sepi. Ia melangkahkan kaki ke sebuah mobil PS sambil bergumam.
“Kaukah lelaki matahari itu?”
Mobil tiga perempat melaju ke arah Serang Timur, menghapus jejak tanya di hati Mimin.
***
Pada hari-hari berikutnya, matahari tetap menyinari bumi, tetapi Hari tak jua kunjung datang ke rumah Mimin. Hari butuh waktu untuk menegakkan keberaniannya yang runtuh di hadapan Mimin. Hari mulai menyusun kepingan-kepingan semangat, segenap doa, semua tenaga dan usaha demi mendapatkan cinta Buminya. Mimin yang dulu setiap hari mengiringi harinya, lama-lama lenyap ditelan kenangan dan kesibukan. Lokasi kampus mereka yang berjauhan, menambah kesenjangan pertemuan mereka. Mimin benar-benar memutuskan hubungan komunikasi dengan Hari.
Setelah beberapa tahun ini Hari mengumpulkan seluruh bekal untuk kembali memperjuangkan cintanya. Ia datang ke rumah Mimin, ia ingin meminta Bumi menyerap kehangatannya. Ketika mengunjungi rumah Mimin, Hari disambut oleh Mama. Jantungnya berdegup kencang, ia mesti mengatakan kejujuran hatinya pada Mama. Pelan-pelan dan sangat hati-hati, Hari menjelaskan maksud kedatangannya.
“Mama bukannya tidak setuju Mimin dekat dengan lelaki. Tapi, kau tahulah kondisinya. Mimin sudah cerita kan tentang kehidupan keluarga kami. Mama memang pernah dikecewakan lelaki. Tetapi, Mama tak berpikir sikap Mimin akan sejauh ini”. Jelas Mama.
Cerita Mama membuat Hari bingung bukan main. Mimin tak pernah menceritakan perihal apapun tentang Ayahnya, tentang teman-teman lelaki yang mencoba memerawaninya. Mimin yang selalu ceria ternyata menyimpan duka yang teramat dalam di hatinya. Bahkan Mimin sampai takut jatuh cinta, ia takut dikecewakan seperti Mamanya atau lagi-lagi disakiti oleh para lelaki yang dicintainya. Hari mendengarkan semua cerita Mama tentang Mimin, Hari semakin yakin Miminlah wanita yang tepat untuk hidupnya.
“Bagaimana menurut Mama jika aku kembali dekat dengan Mimin?”
Seketika itu, sebelum pertanyaan Hari terjawab, Mimin datang dari bengkel sastranya. Saat ini Mimin telah dikenal sebagai aktivis perempuan. Mimin yang kukenal dulu gagap bicara di depan umum kini menjelma pembicara di berbagai kajian wanita. Waktu-waktu yang memisahkan kita membuat Mimin menyibukkan dirinya dalam berbagai organisasi kewanitaan di Kampus. Aku jadi teringat ketika dulu dia begitu malu-malu untuk menjadi sekretaris kelompok. Kehancuran keluarga dan kegersangan dalam hati mampu memompanya menjadi feminis sejati.
Mimin terkejut melihat kedatangan Hari. Memori tentang Hari sudah dikuburnya dalam jurang ingatan, kini terpaksa terkuak lagi. Kali ini Mimin tak bisa menghindar, Mimin mencari-cari Hari dalam belantara hati, tidak cukup sulit karena belum ada cinta bersemi selain Hari di hati Mimin. Mimin hanya butuh keikhlasan untuk menyerap pantulan cahaya cinta yang mampu menembus perasaannya. Rasanya terlalu hangat spektrum cahaya yang dipancarkan dari pesona ketulusan cinta Hari. Dengan restu Mama, ia akan membiarkan buminya disinari matahari sepanjang hari. Hingga terbenam di suatu malam yang menimbunnya pada kelam kuburan.

Di senja harapan, 20 Agustus 2010
Sebelum Senja Selesai: judul antologi puisi WA
Telah diterbitkan dalam Kumcer Gilalova 2






















Komentar