POSISI
PEREMPUAN DALAM SAMAN
Membaca novel Saman karya Utami membuat kita merasa
bahwa perempuan memiliki hak dalam kehidupan. Ayu Utami merupakan penulis
perempuan angkatan 2000, novelnya yang berjudul Saman memenangkan Sayembara
Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 (Biodata pengarang Saman). Kemunculan novel
ini bertepatan pada masa awal orde baru ketika kebebasan berekspresi
digaungkan, hak berbicara dan mengungkapkan ide dibuka seluas-luasnya, dan Ayu
Utami merupakan salah satu pengarang perempuan yang membuka jalan bagi
kebebesan, meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya sehingga ia meraih
Priince Claus Award pada tahun 2000.
Tokoh
perempuan dalam Saman antara lain: Laila, Yasmin, Sakuntala,
Ada pula tokoh Upi yang digambarkan
sebagai perempuan cacat, tokoh ini tak bisa bicara normal sehingga sudut
pandang laki-laki (Wisanggeni) yang digunakan untuk mendeskripsikan tokoh Upi
tersebut.
Laila
Laila adalah
tokoh perempuan yang diceritakan dengan sudut pandang akuan. Laila bersama Toni
mendapat kontrak untuk menulis profil perusahaan Texcoil Indonesia dan menulis
buku tentang pengeboran di Asia Pasifik.
“Perempuan itu dipanggil Laila…
Laila mulai merasa asing sebagai satu-satunya perempuan di tempat ini. Tempat
ini ajaib sebab Cuma ada satu perempuan. Saya” (2001: 8-9).
Dari
kutipan di atas, pengarang seolah ingin mengukuhkan kedudukan perempuan sebagai
sosok yang eksklusif, hanya satu yang berjenis kelamin feminim dengan banyak
orang maskulin yang bekerja di pengeboran kilang minyak Laut Cina Selatan.
Laila menjadi pusat perhatian, karena tempat seperti ini lebih cocok untuk
orang-orang perkasa yang bekerja keras demi mencukupi kebutuhan perut dan
keluarganya.
“Orang-orang yang kami hampiri segera
menatap saya dengan mempertontonkan semangat. Sebab saya satu-satunya
perempuan” (2001: 9).
Kendati
demikian, ada seorang laki-laki yang tak peduli terhadap keberadaan Laila.
Ketidakpeduliaan lelaki ini membuat Laila penasaran dan mulai menyukai Sihar,
salah satu penambang di kilang minyak ini.
Pada
bagian setelah tragedi kecelakaan di kilang minyak akibat kecerobohan itu,
Laila dan Sihar akan berpisah, Laila merasakan perpisahan ini sangat
menyedihkan. Ketika di bandara mereka membicarakan solusi apa yang tepat guna
mengusut kasus ini. Laila mengusulkan agar diperkarakan, ia memiliki teman
pengacara bernama Saman. Ya, Saman adalah judul novel ini. Ada hubungan special
antara Laila dan Saman.
“Sebab lelaki yang saya maksud berasal dari
masa lalu. Seseorang yang pernah begitu lekat di hati saya ketika remaja, lalu
menghilang bertahun-tahun, dan muncul kembali sebagai aktivis perburuhan dan
lingkungan di Sumatera Selatan, tanah masa kanak-kanaknya” (2001:
22-23).
Setelah
kedatangan Yasmin, seolah-olah Laila ingin memiliki Sihar seutuhnya, ia tak
ingin Sihar tertarik pada Yasmin. Semakin dekatlah Laila dengan Yasmin, meski
ia sudah tahu bahwa Sihar telah menikah, namun mereka berdua berhubungan lebih
dari sekadar teman. Laila dan Sihar sering bertemu dan berciuman layaknya
pasangan intim. Dalam hubungan ini tentu moral bukanlah hal yang menjadi tolok
ukur perbuatan, namun hasratlah yang menuntun seseorang untuk melakukan yang
diinginkan.
Dalam
posisi tertentu, Laila merasa menunggu sesuatu. Cintanya pada Sihar membuatnya
berpikir akan hal-hal yang biasa dilakukan pasangan suami isteri.
“Saya kira, jika ia menjauh, itu semata-mata
karena tak tahan, sementara ia ingin menjaga saya. Ia tak mau merusak saya.
Sebab saya masih perawan. Saya percaya, ia masih menyayangi dan menginginkan
saya” (2001: 27).
Ada
hal yang seperti berusaha untuk mendobrak patriarki. Dalam budaya Indonesia,
keperawanan adalah bagian vital bagi perempuan sebelum menikah. Namun, tampaknya
pemikiran Laila yang modern dan cenderung kebarat-baratan membuat sebuah
persepektif baru bahwa keperawanan itu boleh diserahkan kepada siapapun yang
disuka meski belum dalam ikatan pernikahan. Tentu hal ini bukan didasarkan atas
pedoman agama.
NewYork
menjadi tempat bagi Laila dan Sihar melakukan apa yang mereka inginkan. Sudut
pandang pengarang terfokus pada Laila, sehingga yang tercermin adalah pemikiran
dan respons Laila terhadap Sihar. Akhirnya mereka melakukan hubungan intim itu
di taman. Laila dengan sukarela memberikan keperawanannya kepada Sihar, lelaki
yang telah beristeri.
“Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia.
Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun saya tak lagi perawan” (2001:
30).
Perempuan
seperti Laila memiliki pandangan bahwa tak ada bedanya antara laki-laki dan
perempuan. Ia merasa terusik ketika Saman dan Sihar berbicara tanpa melibatkan
dirinya.
“Urusan laki-laki,” kata Saman. Itu membuat
saya tersinggung, tetapi juga heran. Dulu Saman tidak begitu. Malah cenderung
ada kesadaran dalam dirinya untuk menghapuskan kelas-kelas urusan lelaki dan
perempuan” (2001: 33).
Yasmin
Dalam penceritaan berikutnya muncul tokoh
perempuan bernama Yasmin yaitu teman dari Laila yang berprofesi sebagai
pengacara.
“Yasmin Moningka adalah perempuan yang
mengesankan banyak lelaki karena kulitnya yang bersih dan tubuhnya yang
langsing” (2001: 23).
Dari
deskripsi ini tampak adanya persaingan antara Laila dan Yasmin. Secara
diam-diam Laila merasa sangat khawatir apabila Sihar menyukai Yasmin.
Kecantikan seolah membuat perempuan merasa perlu bersaing dengan perempuan lain
meskipun mereka berteman.
Sakuntala
Tokoh Sakuntala
muncul pada bagian yang diberi identitas tempat, Ney York, 28 Mei 1996.
“Namaku Sakuntala. Ayah dan kakak perempuanku
menyebutku sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa
perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku.
Aku tidak menghormati mereka” (2001: 115).
Dari
deskripsi awal ini tampak bahwa tokoh perempuan yang akan dihadirkan oleh Ayu
Utami adalah tokoh yang memiliki pandangan bebas tentang seksualitas.
Lingkungan keluarga yang kurang harmonis membuat Sakuntala menjadi perempuan
yang liar. Ia merasa bahwa dirinyalah yang benar, tanpa memedulikan komentar ayah
atau kakak perempuannya yang sama sekali tidak peduli padanya.
Sakuntala
adalah teman Laila.
“Namaku Sakuntala. Aku melihat temanku
Laila, lewat jendela” (2001: 116).
Jika
Laila rela memberikan keperawanannya pada Sihar sebagai bentuk pendobrakan terhadap
persepsi kesucian, maka Sakuntala lebih dari sekadar menantang budaya
Indonesia. Sakuntala merasa bahwa dirinya bisa menjadi apa saja, seperti
perempuan yang bisa melayani dan serupa laki-laki yang sanggup menjaga diri
dengan keperkasaannya.
“Apa sulitnya menjadi laki-laki? Meskipun
yang menerima telepon bukan istrinya, aku sudah terlanjur menjadi pria Amerika”
(2001: 118).
Pandangan
Sakuntala terhadap keperempuanannya terjadi karena semasa kecil ia telah
mendapat wejangan dari ayah yang menurutnya jahat.
“Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghapiri
perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua.
Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan
menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa,
aku menganggapnya persundalan yang hipokrit” (2001: 120-121).
Wejangan
ayah Sakuntala kita ketahui seperti wejangan seorang ayah pada umumnya.
Laki-laki dianggap berhak atas perempuan, dan apabila ada perempuan yang
mengambil peran laki-laki berarti ia telah menyalahi kodrat bahkan dianggap
sundal. Perempuan liar.
Cerita
tentang masa kecil Sakuntala dibubuhi dengan imajinasi.
“Apa bedanya kenyataan dengan impian?”
(2001: 119).
Pengimajinasian
ini lebih berkembang pada penceritaan berikutnya ketika Sakuntala merasa bahwa
sejak kecil ia sudah tidak perawan. Sakuntala menyerahkan keperawanannya pada
raksasa.
“Ketika umurku Sembilan tahun, aku tidak
perawan… Akan kuserahkan keperawannanku pada raksasa yang kukasihi” (2001:
124 - 125).
Cok
Cok adalah nama
dari diantara 4 orang sahabat: Laila, Yasmin, dan Sakuntala.
“Kami berteman sejak kelas enam SD. Waktu
itu akulah yang paling jangkung di antara mereka. Laila yang paling kecil.
Yasmin yang paling bagus nilai rapornya. Cok yang paling genit” (2001: 47).
Cerita
empat orang sahabat ini hamper mirip. Sakuntala melepas keperawanannya ketika
masih kecil, Laila menyerahkan keperawannya pada lelaki bersuami yang sangat
dicintainya (Sihar), dan Cok melakukan hubungan seks dengan teman sekolahnya.
Sedangkan Yasmin melakukan hubungan seks dengan Saman.
Dari
deskripsi tokoh dan alur cerita novel Saman di atas, dapat disimpulkan bahwa
Ayu Utami memosisikan tokoh-tokoh perempuannya dalam satu pandangan yang sama.
Keempat perempuan yang bersahabat ini memiliki persepsi yang mirip dalam
memandang kesucian. Keempat-empatnya bahkan memandang bahwa peleburan
keperawanan tak mesti menunggu pernikahan. Keperawanan bisa diserahkan kepada
siapa saja yang disuka. Laila yang bersedia berkorban demi laki-laki yang sudah
beristeri, Sakuntala yang begitu membenci ayahnya dan menyerahkan
keperawanannya pada raksasa, Yasmin yang berhubungan seksual pada seorang
pastur yang melakukan penyamaran (Saman), dan Cok yang melepas keperawanan
ketika sekolah.
Posisi
perempuan dalam novel Saman ini seolah ingin mendobrak patriarki bahwa kesucian
harus dijaga sebelum menikah. Pada beberapa bagian, terutama yang berkaitan
dengan cerita Sakuntala, posisi perempuan serupa Sakuntala berada dalam
maskulinitas. Sakuntala membenci ayahnya, ia bisa berubah peran menjadi
laki-laki. Dengan demikian, novel ini memosisikan perempuan dalam batasan yang
lebih luyas dari cengkeraman budaya patriarki yang berkembang di masyarakat.
Komentar
Posting Komentar