Menjadi Indonesia





“BANGGA” MENJADI ORANG INDONESIA
Oleh Nita Nurhayati

“Malu aku jadi orang Indonesia” Taufiq Ismail.
Inilah yang saya ingat ketika membaca tajuk acara yang digelar Tempo Institute. Rasanya puisi Taufiq Ismail tersebut sudah mendarah daging tanpa diucapkan. Kita lebih bangga menggunakan produk asing dibandingkan produk lokal. Ironisnya, beberapa waktu lalu saya pulang dari Bandung ke Kota Serang
naik bus, ada seorang penjual menawarkan gunting kuku. Saya pikir, itu perlu jadi saya membelinya. Ternyata setelah saya balik gunting kuku tersebut, ada tulisan made in Korea. Terlintas dalam pikiran saya adalah harga gunting kuku itu hanya lima ribu rupiah, apa benar diimpor langsung dari Korea? 
Inilah fakta yang membuat kita merasa harus menundukkan kepala ketika menyebut Indonesia, dan dengan rasa yang sangat bangga apabila kita menyebut negara asing. Tak bisa dipungkiri bahwa kita lebih bangga menggunakan produk asing dibandingkan produk dalam negeri.
 
***
Pada Rabu, 17 Oktober 2012, di Bale Rumawat Universitas Padjajaran, Bandung, diadakan sebuah kegiatan roadshow Menjadi Indonesia. Kegiatan yang dilaksanakan Tempo Institute ini berlangsung dari pukul 09.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Pada sesi sebelum duhur diadakan workshop menulis. Materi kepenulisan ini dibagi menjadi dua sesi, yaitu penulisan esai bersama Mardiyah Chamim dan penulisan popular bersama Gol A Gong. Sebelumnya ada seremoni, karena yang membuka acara adalah Mardiyah Chamim sebagai Direktur Eksekutif Tempo Institute, maka materi penulisan popular dimajukan.

Penulisan Novel Serial
Gol A Gong menyampaikan materi berjudul Novel Serial, Siapa Takut! Gong banyak bercerita tentang proses kreatif dalam menulis novel serial. Menurut Gong, saat ini penulis novel serial masih langka, seperti yang bisa disebutkan adalah Arswendo Atmowiloto dan Hilman Hariwijaya. Padahal cerita dalam serial yang menarik akan menjadi hal yang ditunggu-tunggu bagi pembaca dan dapat meningkatkan oplah majalah yang menerbitkannya.
 
Lebih jauh Gong menjelaskan tentang proses kreatifnya dalam menulis Balada Si Roy (BSR). Ia melakukan riset selama 6 tahun untuk menggarap novel serial itu. Inspirasi dari BSR adalah perjalanan yang diramu dari buku harian, riset lapangan, dan riset pustaka. Sebelum ke masalah teknis dalam penulisan novel serial. Gong bercerita tentang masa kecilnya, ia memperlihatkan foto masa anak-anak ketika tangannya masih utuh dan setelah kehilangan lengan kirinya. Dengan latar belakang ayah dan ibu guru, Gong merasa sangat bersyukur telah dibesarkan dari keluarga berpendidikan. Meski musibah kehilangan lengan sebatas siku itu mesti dihadapinya, dukungan keluarga merupakan tonggak utama sehingga Gong bisa sesukses sekarang. “Ini buku, bacalah!” kata Ayah Gong memberikan buku dan raket agar anaknya bisa melupakan kekurangannya dan berfokus pada kelebihan yang mungkin tidak dimiliki orang lain.
Karena kegelisahan dan jiwanya yang bebas, maka Gong tidak menamatkan studi di Unpad. Ia berpegang pada prinsip Ajip Rosidi yang sekolah hanya sampai SMP namun terpelajar. Gong kemudian mendirikan Rumah Dunia, ia ingin mengubah Indonesia dari rumah. “Rumah Dunia, kubangun dengan kata-kata” inilah yang tertulis pada prasasti di depan gerbang bambu Rumah Dunia. Selain sebagai pendiri Rumah Dunia, saat ini Gong sedang mengemban amanah sebagai Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat. Melalui Rumah Dunia dan FTBM Pusat, Gong mengusung gerakan Indonesia Membaca.
 
***
Dalam menulis novel serial, perlu adanya karakter yang kuat. Jika belum pede untuk memublikasikan karya, maka mulailah menulis di blog. Manfaatkan fasilitas yang ada untuk kreativitas. Untuk mendapatkan karakter yang kuat, maka perlu melihat dan mengamati sekeliling. Lalu dari hasil pengamatan itu, ide dapat digali dengan metode jurnalistik 5 W + 1 H. Kita bisa bertanya apa, mengapa, siapa, di mana, kapan, dan bagaimana karakter tokoh dan segi penceritaan lain yang akan kita buat.
 
Gong menegaskan bahwa fiksi adalah imajinasi. Apabila ada yang bertanya apakah BSR merupakan kisah hidupnya, Gong menjawab itu dengan santai bahwa fiksi adalah imajinasi. Sebagian besar kisah Roy mungkin pernah dialami, namun balutan imajinasi akan lebih kental dari kenyataan yang dialaminya. Beberapa tema sentral yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan adalah Oedipus Complex dan Cinderrela Syndrom. Seperti halnya tokoh Roy dalam Balada Si Roy yang mendambakan Ani sang dewi Venus. Dalam konteks Oedipus Complex meski tak sepenuhnya, Roy adalah anak yang nakal namun sangat sayang pada ibunya. Gong ingin mengangkat cerita single parent yang berjuang untuk keluarganya.
 
“Dalam serial BSR, kita akan menemukan banyak kisah yang open ending. Ini akan membuat pembaca penasaran,” kata Gong. “Alur yang terbuka akan menyisakan pertanyaan bagi pembaca. Dalam serial BSR, meski tokoh Roy cenderung macho, namun di hadapan perempuan Roy tetap romantis dan melankolis,” ujar Gong.
Gong juga selalu berusaha untuk menyusupkan unsur religiusitas dan moralitas dalam karyanya. Meski ada beberapa persepsi tentang karya Gong, namun ia menyebut karyanya sebagai sastra transisi atau Ahmadun Yosi Herfanda menyebutnya semi popular.
 
Untuk membuat sebuah tulisan perlu adanya outline dan untuk menarik pembaca maka perlu ada sinopsis. “Don’t tell to show” jangan ceritakan semuanya secara gamblang, karena karya sastra cenderung bermakna implisit, atau kata Toto ST Radik, puisi berarti menyingkap dan sembunyi. Sama halnya seperti karya sastra, pembaca tak ingin digurui dan tak butuh pula sekadar hiburan. Artinya setelah membaca ada hikmah yang dapat dipetik dari hasil keterbacaannya itu.
 
Gong juga memiliki bible serupa buku panduan dalam menuliskan karyanya. Bukan hal yang praktis untuk menuliskan BSR menjadi sepuluh serial. Roy dihadirkan sebagai tokoh yang unik dan sudah pula dilakukan bedah tokoh Roy. Jadi, ruh menulisnya akan dapat ketika kita benar-benar merencanakan untuk menulis.
 
3 Act Structur dalam unsur plot poin harus kuat, yaitu suatu cerita yang menggerakkan. 3 Act Structur tersebut antara lain: paparan, konflik, dan ending. Saat ini, Gong sedang menggarap skenario BSR. Akan ada proses ekranisasi dari novel ke film. Hal ini sangat dinanti bagi penggemar BSR. Bagi pelanggan majalah Hai, nanti bisa menonton film BSR dengan versi layar lebar. Pada akhir presentasinya, Gong menyatakan bahwa menulis adalah membaca dua kali, jadi selamat menulis.

Penulisan Esai
Sesi kedua yaitu diskusi penulisan esai bersama Mardiyah Chamim. Menurut Chamim, pada awalnya menulis adalah gagasan. Seorang penulis harus memiliki bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterbacaan untuk dapat menuangkan gagasan. Paulo Chelo menyebutkan bahwa berjalanlah, membuka diri, dan biarkan semuanya untuk masuk, resapi, dan menulislah! Ide itu hadir dan mengalir bukan ditunggu. Ketidakpedean seringkali ditemui dalam penulis pemula. Padahal keterbatasan hanya ada dalam pikiran. Yang penting adalah ide, ide, dan ide.
 
Seperti kata Gong, Chamim juga mengungkapkan bahwa riset itu penting. “Kalau perlu sering datangi workshop dan banyak membaca buku. Jika menemukan kerumitan dalam menulis, maka diskusilah dengan para penulis. Jika mentok ide, maka berjalan dan membacalah banyak buku,” ujar Chamim.
Setelah mendapatkan ide, maka rumuskan angle (sudut pandang). Angle bisa disebut sebagai compass virtual yang akan menuntun jalan kita ke arah mana tulisan akan dibawa. Masih serupa yang dijelaskan Gong, perlu merumuskan 5 W + 1 H. Dari pertanyaan ini, kita dapat menemukan banyak jawaban yang bisa dituliskan. Mengenai outline tulisan, perlu adanya penjelasan kalimat pemancing. Hal ini dapat disesuaikan dengan konteks tulisan, deskripsi permasalahan, eksplorasi data dan argumen, terakhir adalah penutup.
 

Surat dari & untuk Pemimpin
Setelah breaks sholat dan makan siang, ini adalah acara yang paling menarik yaitu pembacaan Surat dari & untuk Pemimpin. Mardiyah Chamim menjelaskan tentang latar belakang penyusunan surat ini bahwa menjadi Indonesia adalah semangat, harapan, dan cinta yang secara ajaib bisa mengikat sebuah negeri yang bhineka. Lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan. Mending jangan diam menjadi Indonesia. Tempo Institute mengumpulkan surat dari para pemimpin berbagai bidang, para pemimpin yang terbukti memiliki konsistensi, komitmen, dan integritas atas apa yang mereka kerjakan dalam bidang masing-masing. “Kami minta mereka menulis surat yang berisi pesan, refleksi kegagalan dan kesuksesan, kepada anak muda Indonesia” kata Chamim.
 
Menulis surat kepada anak muda, baik tulisan tangan atau ketikan komputer, berarti membuat para tokoh ini merenungkan perjalanan hidup mereka. Hasilnya tak jarang surat yang muncul adalah surat yang emosional dan mengharukan. Pembacaan surat yang pertama oleh Gol A Gong, ia mencurahkan perasaan dan pemikirannya dalam perjalanan membangun Rumah Dunia: pusat belajar jurnalistik, sastra, rupa, film, dan teater. “Aku ingin anak muda di lingkungan rumahku memiliki sense of crisis, kritis menyikapi sistem yang korup, kreatif mencari solusi hidup, berai menjadi pelopor, dan cara berpikirnya out of the box,” kata Gong dengan penuh semangat.
 
Dengan membaca, menonton, dan berolahraga membuat Gong menjadi percaya diri dalam bersosialisasi dan hasilnya saat ini ia bisa berkeliling dunia dan menjalani profesi terhormat sebagai penulis. Gong membuat konsep ‘gempa liteasi’ di Rumah Dunia. Gempa ini diharapkan dapat menghancurkan kebodohan dan membangun peradaban baru dengan literasi. Gong juga mengimbau pada seluruh audiens yang hadir terutama mahasiswa agar menjadikan gempa literasi sebagai semangat untuk menjadi pemimpin di masa depan. “Bayangkan jika semua anak muda di negeri ini sering menyulut ‘gempa’ literasi di taman bacaan masyarakat, maka cita–cita mengubah Indonesia menjadi lebih baik dapat terwujud tanpa perlu pergi ke Jakarta, tapi cukup dari Taman Bacaan Masyarakat saja!” Tegasnya.
 
Gong mengakhiri penyampaian suratnya dengan menampilkan video aktivitas Rumah Dunia. Penyampaian surat berikutnya oleh Tisna Sanjaya, ia menggunakan bring brung untuk mengekspresikan isi suratnya. “Menjadi Indonesia bisa menginspirasi para mahasiswa untuk berani menjadi pemimpin masa depan yang dekat dengan rakyat”.
 
Penampilan yang tak kalah menggugah emosi adalah perform dari Abah Iwan. Ia menggunakan media lagu untuk mengalirkan pemikiran dan harapan akan menjadi Indonesia yang sebenarnya. Lelaki paruh baya yang gemar hiking ini menceritakan tentang pengalaman masa mudanya ketika menjadi mahasiswa Unpad. Ia juga yang menciptakan mars Unpad dan beberapa lagu lainnya yang dinyanyikan dalam kesempatan ini. Audiens diajak untuk merenung dan bersama menyanyikan lagu yang telah digubah.
 
Demikian rangkaian acara menjadi Indonesia yang diselenggarakan Tempo Institute, semoga generasi Indonesia benar-benar mampu menyalakan lilin di antara kegelapan tatanan kehidupan yang problematis ini. Tampaknya puisi Taufiq yang berisi ironi kebanggaan terhadap Indonesia dapat menjadi cerminan bagi anak muda untuk tetap bangga menjadi anak muda Indonesia, yang memiliki mimpi untuk menjadikan Indonesia sesungguhnya Indonesia yang diharapkan bangsa.
 

Nita Nurhayati, relawan Rumah Dunia
Disarikan dari berbagai sumber.

Komentar