Marxisme



Marxisme dan Persoalan Ilmu Sosial:
Sebuah Perspektif Bhaskarian

Kemarin saya datang disambut Uni Rachmidian Rahayu di ITB, lambaian tangannya mengalihkan pandangan saya pada beberapa kelompok mahasiswa yang sedang berdiskusi di bawah pohonan rindang depan Masjid Salman ITB. Ketika daftar dan masuk ruangan, melihat beberapa orang yang berambut gondrong dan berpenampilan gaya seniman, tak aneh memang dalam diskusi semacam ini, tapi cukup mbuat saya agak berpikir tentang penampilan mereka yang sama sekali tak merepresentasikan keluasan berpikir mereka. hahaa...
Dari hasil diskusi, beberapa yang saya pahami tentang Marxisme dan Persoalan Sosial: Sebuah Perspektif Bhaskarian sebagai berikut:
Pemikiran Marx berpengaruh pada hampir setiap cabang ilmu, termasuk kritik seni atau lebih khusus pada seni sastra Terry Egleton yang telah menulis buku tentang Teori Sastra. Begitu pula pada bidang Kajian Gender, Sulamith Firestone mengimplementasikan teori feminis menjadi proses transisi antara nature dan nurture serta peran perempuan dalam ketenagakerjaan dalam bentukan budaya kapitalis. Senafas dengan Marx, Bhaskar mengajukan sebuah filsafat ilmu sosial yang bertumpu pada realisme dan epistemologi. Selebihnya, Martin Suryajaya sebagai pembicara mengaitkan pendekatan realis dan ilmu pengetahuan (penjelasan ini agak kurang saya pahami karena mengambil contoh ilmu fisika dan kimia atom).
Kemudian, Martin bicara tentang Persoalan Naturalisme: Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Menurut Martin, seorang naturalis adalah ia yang meyakini bahwa masyarakat dapat diteliti dengan cara yang sama seperti alam. Bhaskar menulis buku tentang Model Aktivitas Sosial Transformasional, teori ini merupakan hasil rekonstruksi Bhaskar atas pandangan sosiologis Marx. Dalam buku ini diterangkan tentang naturalisme kritis yang mempertanyakan secara transedental: mesti seperti apakah realitas sosial agar apa yang disebut ilmu sosial sebagai sains dimungkinkan? Dengan kata lain, epistemologi mensyaratkan ontologi sosial.
Beralih pada pembahasan berikutnya tentang Model Aktivitas Sosial Transformasional: Struktur dan Agensi. Pada bagian ini, Martin membandingkan antara masyarakat sebagai individu dalam model ‘voluntarisme’ Weber dan masyarakat sebagai individu dalam model ‘reifikasi’ Durkheim. Weber cenderung mereduksi masyarakat pada kehendak individual (voluntarime), sementara Durkheim mereduksi individu pada struktur sosial seperti grup (reifikasi). Dalam konteks wacana budaya yang berkaitan dengan masyarakat, Bhaskar memberikan contoh sederhana seperti aturan tatabahasa (grammar). Di satu sisi, tatabahasa Indonesia dapat dianggap mendahului pemakaian bahasa individual karena pemakaian bahasa tersebut sudah selalu mensyaratkan adanya tatabahasa, tetapi di sisi lain, apabila semua orang Indonesia berbicara dengan bahasa Inggris maka tatabahasa Indonesia itupun lenyap. Dapat disimpulkan bahwa, ilmu sosial tidak bisa ada tanpa adanya manusia.
Adapun materi yang menurut saya penting dari Bhaskar yaitu mengenai kebenaran dalam bab Kritik Emansipatoris: Fakta dan Nilai. Secara praktis saya memahami bahwa jika ada Postulat Situasi: “Apa yang benar sama dengan apa yang baik” Proporsi faktual indikasikan adanya kontradiksi dalam masyarakat yang dikaji sehingga ada tiga Parafrase yang muncul, antara lain: 1. Kontradiksi sama dengan kekeliruan; 2. Kekeliruan sama dengan ketidakbenaran; 3. Ketidakbenaran sama dengan ketidakbaikan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah karena kontradiksi = kekeliruan = ketidakbaikan dan terdapat kontradiksi dalam masyarakat yang dikaji, maka masyarakat mesti diubah jadi benar, dengan kata lain jadi baik.
Demikianlah, yang saya dapat pahami dari diskusi tentang Marxisme, untuk lebih lengkap teman-teman bisa mengopi makalah dari diskusi ini. Inilah yang dapat saya sarikan, semoga bermanfaat.

Nita Nurhayati
ITB, 13 Oktober 2012 @Studi Humanika

Komentar