Purnabakti Guru (ber)Karakter: Prof. Dr. H. Yoyo Mulyana, M.Ed.




Purnabakti Guru (ber)Karakter: Prof. Dr. H. Yoyo Mulyana, M.Ed.
Oleh Nita Nurhayati

             Deru mobil classy membawa kami menuju Bandung. Sebuah hal yang luar biasa, bersama Pak Firman Venayaksa, Muhamad Jaeni dan Yunita Ainur Rizkiah pada suatu malam berangkat dari Rumah Dunia menuju UPI Bandung. Inilah sebuah keajaiban, sebuah pemakbulan yang di luar dugaan, karena paginya saya dan beberapa relawan Rumah Dunia baru saja menghadiri acara bedah buku di UPI kampus Serang – saat itu terbersit di dalam hati sebuah pertanyaan: kapan ya bisa ke UPI Bandung? Ternyata Allah punya rencana lain, malam itu usai diskusi tentang alm. Wan Anwar dalam Liga Pembaca Sastra, Pak Firman mengajak kami menghadiri acara purnabakti Prof. Dr. H. Yoyo Mulyana, M.Ed. Awalnya saya menolak, karena tak mungkin pergi mendadak. Sebenarnya saya sudah tahu tentang kabar purnabakti Prof. Yoyo Mulyana dari jejaring sosial, saat itu dalam hati ingin sekali menghadiri, tetapi karena keterbatasan saya urungkan niat itu. Ah, kenyataan berkata lain. Mobil classy bermerk charage milik Pak Firman melaju dari Serang menuju Bandung pada dini hari. Kami menikmati perjalanan ini sambil bercerita banyak hal tentang Prof. Yoyo Mulyana.
            Pukul 06.30 kami sampai di UPI Bandung. Ada yang bersorak dalam hati, akhirnya sampai juga setelah menempuh perjalanan 6 jam menuju kampus pendidikan ini. Pak Firman mengajak kami ke ASAS, sebuah komunitas sastra bagi mahasiswa UPI Bandung. Kami bebersih diri di tempat berkumpulnya penulis muda ini, sekitar dua jam kami berada di sana sambil melepas lelah dan membaca-baca karya mereka yang sudah terbit di media massa dan terpampang di mading sisi kiri kami duduk. Setelah dirasa cukup untuk membersihkan diri, kami langsung menuju sebuah gedung yang luasnya tak pernah kami temui di kampus kami: FMIPA, tepatnya ruang itu disebut JIKA.
            Kami masuk ke dalam sebuah gedung kemudian naik ke lantai atas. Kami berhenti di depan sebuah auditorium. Di depannya sudah berjajar bazar buku dan registrasi peserta. Kami menuju bazar buku dan membeli beberapa buku yang kami minati, kemudian layaknya seorang murid kami menunggu titah dosen kami; Pak Firman Venayaksa untuk bisa masuk ke ruangan. Peserta lain sudah mengantri di meja registrasi sambil mengeluarkan biaya administrasi, kami juga melihat rombongan dosen Diksatrasia, mahasiswa Pascasarjana Untirta, dan rombongan lain yang sepertinya adalah murid-murid Prof. Yoyo Mulyana. Kami mengamati mereka dari jauh, dan hanya bisa menanti. Tentu saja, kami sadar bahwa kami memang berasal dari kampung, kami tak punya uang banyak -- hanya satu niatan untuk melihat dan menghormati guru kami yang akan melepas masa pengabdiannya sebagai pegawai negeri. Kami ingin melihat pengabdian maha sempurna seorang Profesor yang kami kenal dari Untirta. Dengan mengirim pesan singkat kepada Prof. Yoyo Mulyana, akhirnya kami bisa masuk tanpa membayar biaya registrasi.
Ketika asyik memilah-milih buku, saya melihat seorang perempuan tengah berdiri di belakang: Bu Nenden Lilis Aisyah, seorang penulis asal Bandung yang juga dosen di UPI Bandung ini. Saya mengenal Bu Nenden dari alm. Wan Anwar, beliau meninggalkan jejak rekanan yang membuka jalan bagi kami. Kami bercakap cukup lama, sampai akhirnya Pak Firman mengajak kami masuk ke dalam ruangan. Dengan santainya kami menuju ruangan, kami mencari-cari seorang guru yang ingin kami temui. Di dalam sudah berkumpul para peserta seminar bertema “Optimalisasi Fungsi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Penguat Jati Diri Bangsa”. Seminar itu diadakan serangkai dengan acara purnabakti Prof. Yoyo Mulyana karena yang kami ketahui, Prof Yoyo adalah Ketua II Yayasan Jati Diri Bangsa.  
Benar saja, setelah kami mendapat tempat duduk di lantai atas, kami melihat sang guru dalam jajaran paling depan. Hal yang tidak biasa kami lihat, guru kami menggunakan peci hitam bermotif. Dalam keseharian, ia tak pernah menggunakan penutup kepala sepanjang yang pernah saya lihat, karena kepalanya yang sudah berambut jarang mencirikan gelar Profesornya. Selebihnya masih seperti biasa, mengenakan baju batik lengan panjang dengan setelannya yang sudah menjadi cirri khas dia penyuka batik.
***
Menyaksikan perjalanan hidup Prof. Dr. H. Yoyo Mulyana, M.Ed., membuat air mata seluruh hadirin menetes. Ini tak terelakkan dan bukanlah sebuah sandiwara. Jika tidak mengeluarkan air mata, hatinya pasti bergetar ketika menyaksikan profil singkat yang ditayangkan tentang perjuangan dan perjalanan hidup Prof. Yoyo hingga saat ini. Seorang tokoh yang sungguh luar biasa. Tokoh ini ada di dekat kita, inilah yang seringkali tidak kita sadari.
Sebagai salah satu mahasiswa Untirta yang pernah dibimbing beliau, menjadi keberuntungan bagi saya. Mendapatkan bimbingan langsung dari sang punya ilmu. Pertemuan ini tidak hanya usai sampai wisuda, melainkan sampai saat ini Prof. Yoyo masih membuka jalan silaturahim bagi kami yang masih rindu petuahnya. Prof. Yoyo Mulyana, dengan komitmen dan konsistensinya terhadap pembangunan karakter dan jati diri bangsa tanpa lelah mencoba menyadarkan tentang pentingnya karakter kepada siapapun. Jika berbicara dengan beliau sebuah mantra sakti yang akan keluar adalah ‘karakter’. Sebagian orang menganggap bahwa karakter adalah urusan masing-masing individu, namun jika dikaji lebih dalam karakter menjadi penentu tentramnya kehidupan. Karena orang yang tidak berkarakter tentu akan menimbulkan keresahan bagi orang lain yang ada di sekitarnya.  
Sambil menyeka air mata, Prof. Yoyo mendengarkan testimoni dari seorang gurunya; Prof. Soemarno Sudarsono. Prof. Soemarno menganggap bahwa Prof. Yoyo adalah gurunya, begitupun sebaliknya. Menurut Prof. Soemarno, Prof. Yoyo adalah seseorang yang sangat sederhana dan perhatian terhadap lingkungannya. Ia selalu mendengarkan keluh kesah bawahannya, tak hanya sampai di situ, ia juga mencarikan jalan keluar bagi bawahannya yang sedang mengalami kesulitan dalam hidup. Jika memberi solusi, ia tidak akan memberikannya secara langsung untuk dinikmati, melainkan Prof. Yoyo akan membukakan jalan atau peluang bagi seseorang untuk mendapatkan jalan keluar dari masalahnya.
Testimoni selanjutnya adalah dari Staf Administrasi yang pernah bekerja dengan Prof. Yoyo, panggilan akrabnya Mas Joko. Menurut Mas Joko, Prof. Yoyo ini adalah seorang pemimpin yang peduli terhadap anak buahnya, walaupun galak namun kedisiplinannya membuat saya selalu merasa malu jika tidak bisa datang lebih dulu dari pada beliau. Hal yang lucu diungkapkan Mas Joko adalah Prof. Yoyo pernah menjadi supirnya – “karena saya tidak bisa menyetir mobil. Hebat bukan? Saya disupiri profesor yang juga atasan saya, ini kan jadi kebalik. Heeeee….” Semua audien yang tadinya menangis jadi tertawa geli mendengar testimoni yang polos seperti ini. Menurut Mas Joko, Prof. Yoyo selalu mencintai seseorang yang terlibat dalam hidupnya.
Kemudian adalah testimoni dari Dr. Sumiadi, yang mengawali testimoninya dengan humor bahwa mengingat Prof. Yoyo maka akan teringat pula dengan goloknya. Sebagai putera Banten yang terkenal dengan jawaranya, dulu menurut cerita Dr. Sumiadi katanya Prof. Yoyo pernah memiliki golok sakti. Ketika ditanya kepada Prof. Yoyo, golok itu ternyata sudah tidak disimpannya lagi. Dr. Sumiadi merupakan salah satu murid Prof. Yoyo yang sudah berhasil. Prof. Yoyo tidak menjanjikan Dr. Sumiadi bisa menjadi dosen, melainkan menyarankan untuk menunjukkan kinerjanya. Prof. Yoyo merupakan guru besar satu-satunya di FPBS UPI Bandung saat ini, karena yang lain masih bergelar Doktor. Dr. Sumiadi mengajak semua Doktor yang ada d UPI Bandung agar meneladani kebijaksanaan dan karakter Prof. Yoyo Mulyana, M.Ed.
Di akhir testimoni ini, moderator mengajak hadirin untuk membuka emosi dan hati, marilah membuka pikiran dengan menyaksikan pemaparan kuliah akhir Prof. Yoyo Mulyana dengan judul “Karakter menuju bangsa dari gelap menuju terang”. Mendengar judul kuliah yang disampaikan Prof. Yoyo seolah menemukan persamaan dari buku Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Satu hal yang sama dari dua tokoh ini adalah keduanya berjuang untuk pendidikan. Jika Prof. Yoyo konsentrasi dengan pendidikan karakter, maka Kartini berjuang untuk pendidikan perempuan. Keduanya mengharapkan sebuah situasi yang membawa penerangan dalam dunia pendidikan.
***
Bersama dengan Prof. Yoyo dan mendapatkan banyak nasihat darinya ternyata adalah hal yang sangat luar biasa, sungguh menjadi sebuah keberuntungan yang mestinya disadari bagi setiap orang yang pernah bersentuhan dengannya. Prof. Yoyo dalam pidato akhirnya mengajak kita untuk memimpin dengan hati. Merekonstruksi kepemimpinan yang bobrok dengan kejujuran dan ketulusan mengabdi. Pemimpin juga harus mementingkan pendidikan, pendidikan bagi dirinya dan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Sebaiknya pendidikan juga harus berorientasi pada karakter sehingga melahirkan pemimpin yang berkarakter. Marilah kita membangun budaya yang berkarakter melalui kesengajaan yang tidak disengaja.
Beginilah semangat putera daerah yang mestinya disadari bagi anak muda Banten. Walau bagaimanapun, melihat seseorang dari jauh ternyata membuat kita menjadi pengagum. Kita seringkali tidak sadar bahwa banyak orang hebat yang sudah ada di samping kita. Salah satunya adalah Prof. Dr. H. Yoyo Mulyana, M.Ed. Demikianlah Purnabakti Prof. Dr. Yoyo Mulyana, M.Ed., memang tak ada lagi yang mesti dicari lagi selain ketentraman setelah semuanya dapat diraih, dengan semangat dan jiwa mudanya, Prof. Yoyo terus menerus membangun dirinya, sampai pada masa seharusnya beliau istirahat dan menikmati masa pensiunnya tetapi Prof. Yoyo Mulyana, M.Ed., memilih untuk menjadi Rektor Unbaja Serang, sebuah Universitas swasta di Serang Banten. Oleh karena itu, kami sebagai mahasiswa mengucapkan terima kasih yang maha luas atas segala ilmu dan nasihat yang telah Bapak berikan kepada kami. Selamat atas pengabdian yang Maha Purna...(*)

Muridmu, Nita Nurhayati
06 Juni 2011 di UPI Bandung       

Komentar