Perempuan dan Pendidikan (Menjejaki Langkah Kartini Masa Kini)


Perempuan dan Pendidikan
(Menjejaki Langkah Kartini Masa Kini)
oleh: Nita Nurhayati

            Perempuan? Kita bisa memulai pembicaraan ini mengenai perempuan. Perempuan dengan laki-laki dibedakan atas kelaminnya. Namun, ternyata perbedaan kelamin ini menyebabkan semuanya jadi berbeda. Perempuan dahulu berbeda dengan perempuan zaman sekarang. Jika dulu, perempuan memiliki hak dan kewajiban mengurusi rumah tangga tetapi saat ini perempuan tidak hanya berkutat di kamar, kasur, dan dapur. Sejak bergemanya wacana emansipasi wanita, banyak perempuan yang bergerak untuk memperjuangkan haknya.
            Salah satu penggagas emansipasi wanita Indonesia adalah RA. Kartini, melalui surat-suratnya, Kartini menyuarakan isi hatinya bahwa perempuan juga punya hak mendapatkan pendidikan. Saya kira memang tidak bisa perempuan dipersamakan haknya dengan laki-laki. Semisal dalam urusan rumah tangga, laki-lakilah yang memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah lalu perempuan mengurus anak. Dalam film Perempuan Berkalung Sorban ada sebuah petikan yang membahas tentang hak-hak perempuan, “Kita harus bisa membedakan mana yang nature dan mana yang nurture. Nature itu adalah perempuan melahirkan, laki-laki tidak, sedangkan nurture adalah baik laki-laki maupun perempuan itu memiliki kesempatan dan ruang yang sama untuk berkreasi, mengembangkan diri sampai dengan belajar. Sebenarnya hal-hal seperti, perempuan harus di dapur itu bukan sifat nature, itu gak lebih dari bentukan budaya itu sendiri”.
            Dari penjelasan di atas, makna emansipasi tidak bisa semerta-merta mengartikan kesamaan gender antara perempuan dan laki-laki. Antara perempuan dan laki-laki yang saya ketahui saling melengkapi. Lalu, apakah perempuan juga punya hak yang sama dengan laki-laki dalam meraih pendidikan. Dalam hal ini memang tidak perlu dibedakan. Seperti dalam sebuah Hadits: Tholabul Ilmi Faridhatun Ala Kulli Muslimin Wa Muslimatin, artinya menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Berarti tidak ada batasan bagi perempuan untuk meraih cita-cita yang lebih tinggi dan menempuh pendidikan hingga akhir hayat.
Inilah salah satu isi surat Kartini yang berkaitan dengan hal tersebut, surat ini ditujukan kepada Ny. N. Van Kol, “Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, agar supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk wataknya, mengembangkan otaknya yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita dari hari depan, supaya dapat meneruskan segala yang baik itu ...”. (Maraihimin, 2005: 262).
            Membaca surat Kartini tersebut, tampak bahwa Kartini memang seorang wanita yang sadar akan pendidikan. Tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk pendidikan orang banyak terutama perempuan-perempuan yang ada di sekitar Kartini saat itu. Kepedulian ini membuat Kartini menjadi perempuan pertama pendobrak patriarki. Pada masa itu, perempuan merasa tidak dipentingkan untuk mendapatkan pendidikan. Perempuan diperlakukan sesuai kodratnya untuk beranak dan melahirkan, bentukan adat tersebut membuat perempuan tertutup pemikirannya sehingga ia hanya menerima konsekeunsi sebagai perempuan yang taat adat, walaupun tidak mengenyam pendidikan. Jika kita berkumpul bersama keluarga dan bertemu dengan Nenek-nenek kita, maka kita dapat mendengar cerita mereka yang pada usia masuk haid sudah menikah. Artinya perempuan zaman dulu memang hidup dalam kungkungan adat yang sedemikian mutlak.
            Begitu pula kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pada zaman dulu, hanya anak bangsawan yang diizinkan sekolah, sedangkan sekarang strata sosial seperti ini tidak berlaku lagi. Pergeseran strata sosial ini berubah menjadi kesenjangan ekonomi. Mahalnya biaya pendidikan menjadi faktor utama mengapa seseorang terputus pendidikannya. Hal ini karena kualitas pendidikan masih bergantung pada dana pendidikan yang dibutuhkan, sehingga imbasnya bagi peserta didik. Hanya seseorang yang memiliki banyak harta yang berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi, walaupun tidak sedikit yang telah membuktikan bahwa anak miskin juga bisa sekolah. Hal ini bergantung pada seberapa keras perjuangannya untuk dapat sekolah.  
            Sebagai perempuan masa kini, jika kita hanya sebatas menjalani hidup sesuai kodrat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka zamanlah yang akan menggerus kita. Saat ini lulusan SMA hanya diterima sebagai buruh pabrik atau pegawai, sementara untuk menjadi guru minimal memiliki ijazah S1. Oleh karena itu, apabila ingin melanjutkan cita-cita Kartini, tentu saja kita mesti menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Namun, yang menjadi permasalahan adalah soal niat dan tekad perempuan untuk meraih pendidikan. Kebanyakan perempuan terbentur pada masalah dana pendidikan karena acapkali dari pihak orangtua, lebih mementingkan pendidikan anak laki-lakinya. Pola pikir bahwa Lelaki lebih butuh pendidikan yang tinggi karena akan menjadi pemimpin, sampai saat ini masih terpatri di masyarakat.
            Dalam surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya yang ditulis pada tanggal 4 Oktober 1902, Kartini menyebutkan tentang tujuannya dalam memperjuangkan pendidikan perempuan. Menurut Kartini, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami yakin menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam memperjuangkan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Harapan Kartini tersebut menyiratkan bahwa kontroversi mengenai emansipasi wanita mesti sejajar dengan laki-laki berbenturan dengan pertanyaan sejauh mana kesejajaran itu? Dalam suratnya, Kartini menegaskan bahwa pendidikan diharapkan dapat menambah wawasan perempuan bukan untuk menyaingi laki-laki. Keinginan ini didasari akan pentingnya pengetahuan seorang perempuan sebagai seorang ibu. Hal ini karena keluarga merupakan pendidikan pertama bagi seorang anak. Sebelum seorang anak mengenyam pendidikan di sekolah, maka pendidikan dari orang tualah yang pertama kali diterima. Dengan demikian, pendidikan seorang ibu memengaruhi perkembangan kecerdasan anaknya.
Dalam surat-suratnya, Kartini tidak hanya menyeburkan diri dalam sebuah perjuangan tanpa akhir, tetapi Kartini mengarahkan juga bagaimana akhirnya perempuan harus berlabuh dengan pengetahuannya. “Pergilah. Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Dengan demikian, Kartini mengabarkan kepada perempuan bahwa perjuangan selalu melahirkan penderitaan. Sejauh mana perempuan itu mampu bertahan maka sejauh itulah langkah perempuan akan teguh berdiri. Kartini mati muda, setelah melahirkan anaknya yang bernama RM. Soesalit. Dengan surat-suratnyalah sampai sekarang Kartini masih tetap hidup di hati perempuan-perempuan yang cinta akan pendidikan, yang berani mendobrak patriarki demi menjadi perempuan sejati. Seperti suratnya, Kartini mengabadi. Setelah sekian lama Kartini kembali kepada PemilikNya, siapakah yang akan melanjutkan cita-cita mulianya?

Nita Nurhayati, 10 April 2011
Surat-surat Kartini dari berbagai sumber.

Komentar