Membaca Nietzhe, Menyelami Filsafat dalam Puisi


Membaca Nietzhe,
Menyelami Filsafat dalam Puisi
Oleh: Nita Nurhayati

Setelah membaca kumpulan puisi Nietzsche dalam kumpulan puisi Jerman Seri IV, saya merasa terkapar, melayang-layang kemudian tenggelam dan berenang dalam dunia Jerman. Meski, saya tidak tahu letak Jerman itu di mana, tetapi dengan membaca seolah-olah saya berada di tempat Nietzsche berada. Puisi-puisinya begitu membesut jiwa, perhatikan puisi berikut:


Oh, bagaimana aku tak syahwatkan keabadian
dan cincin kawin segala cincin,
-          Cincin Sang Keberulangan!

Tak pernah kutemukan perempuan
Yang ingin kujadikan ibu anak-anakku,
Kecuali perempuan yang kucintai ini:
Karena kucinta kau, oh Keabadian!

Karena kucinta kau, oh Keabadian!

Bait puisi di atas berulang pada akhir baris puisi dalam Tujuh Materai (Atau Lagu Ya dan Amin). Meski puisi ini cenderung panjang dan bait yang diulang pun terdiri dari beberapa baris, namun tetap asyik untuk dinikmati. Kata-kata ini seolah bertenaga dan tak bosan untuk kita bacakan bahkan meresapi maknanya.
Puisi-puisi yang ditulis oleh seorang Profesor di jurusan filologi universitas basel di swiss pada usia 25 tahun ini mengalir begitu saja. Setelah mengendap beberapa hari, saya mulai membacanya lagi hingga sekali habis. Meskipun terjemahan, tetapi hanya beberapa saja yang saya temukan kekakuan yang lainnya sungguh membuat saya menjadi tersirap oleh kata-katanya. Hal ini disebabkan oleh kelihaian dua penerjemah yang sudah berpengalaman dan sangat mahir yaitu Agus dan Berthold. Menerjemahkan puisi-puisi Jerman – yang akan berlaku pada puisi yang berbeda negara selain indonesia membutuhkan keahliaan tertentu. Bukan hanya menerjemahkan kata-kataa secara kamus saja, melainkan mengalihbahasakan maknanya.
Menyelami puisi Nietzsche membuat saya berpikir dengan bahgaia, sebuah keleluasan atau ke”plongan” ketika saya menghabiskan saya menuntaskan tanggung jawab untuk menanggung bebaan berat di atas pundak. Membaca Nietzsche terutama kehidupannya membuat saya miris, lirih karena ia telah gagal dalam percintaan dan mengakhiri kematian secara tragis di sebuah rumah sakit jiwa di Jerman. Mungkinkah sudah nasibnya seorang dunia yang hidupnya selalu terasing, -- dalam kesepian yang meninggi  dengan pola kehidupan yang di luar kebiasaan. Kendati demikian, Nietzsche telah membuktikan puisinya tentang keberulangan keabadian, tentang sebuah eksistensi yang membuatnya abadi hingga saat ini.

Catatan hasil bacaan, 3 Oktober 2010

Komentar