Media Budaya, Budaya Media


Media Budaya, Budaya Media

Remy Sylado

B. Herry Priyono

              Sabtu, 10 November 2012, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Studia Humanika ITB mengadakan diskusi bertajuk Media Budaya, Budaya Media. Diskusi ini menghadirkan Remy Sylado (Seniman dan Budayawan) dan B. Herry Priyono (Dosen Filsafat STF Driyakarya). Kedua pembicara ini akan mempresentasikan tentang media dan nilai. Sambil memanti kedatangan Remy Sylado, diskusi pertama disampaikan oleh B. Herry Priyono. Pembicara yang biasa dipanggil Romo ini mengangkat tema Media dan Benturan Nilai.
                 Romo Herry mengawali presentasinya dengan menjelaskan tentang Landskap media di Indonesia. Pada awal kemunculannya, media berfungsi sebagai perjuangan dan pembangunan, namun saat ini orientasi media sudah merambah pada lahan bisnis. Peta media di Indonesia berjejaring dari TV, Radio, Majalah, Koran, dan kini internet yang paling banyak digandrungi masyarakat. 12 kelompok dominasi bisinis media di Indonesia dikuasai oleh Jawa Pos dengan 121 surat kabar cetak. Untuk TV, dikuasai oleh MNC Group Network yang kita tahu membawahi RCTI, TPI (yang sekarang menjadi MNC TV), TV Global, dan pay TV lainnya. Perkembangan ini pula diimbangi oleh Kompas Gramedia Group Network.
             Persaingan bisnis media ini membuat media komunitas dan publik dianggap pingsan sekarang. Media komunitas dan publik dalam ketidaksadarannya menempati ruang di internet karena tak berdaya dalam persaingan bisnis media baik TV, Radio, maupun surat kabar. Fenoma yang terjadi saat ini dalam dunia pertelevisian adalah, sinetron merupakan tayangan terfavorit penonton dibandingkan berita. Pada data riset tahun 2011, pengguna media TV dan internet lebih banyak dibandingkan minat baca anak usia 10 tahun.
                Secara etimologi, media berkaitan dengan locus publicus, mediasi media, dan medium. What do the media mediate? Ranah-ranah yang dianggap sebagai media adalah ranah privat dan ranah publik. Kedua ranah media ini selalu menjadi problematika perkembangan media pada umumnya. Media di Indonesia cukup jelas kehilangan locus publicus yang ditandai oleh berbagai gejala antara lain: perilaku bisnis, keyakinan masyarakat, agenda bisnis, kepentingan publik dan pengontrol media. Contohnya, lumpur lapindo tidak akan muncul di TV one, tapi akan disiarkan secara heboh di Metro TV. Inilah bukti nyata persaingan media.
                Perkembangan teknologi selalu eksponensial atau lebih cepat (contohnya berubahnya fitur nokia dari waktu ke waktu), sedangkan perubahan sosial, politik, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya berkembang secara evolusioner dan terkesan lamban. Dengan demikian, yang terjadi adalah pergeseran makna politik. Politik bukan lagi diartikan sebagai penjaga makna kebenaran bagi masyarakat, melainkan untuk mengangkat pencitraan dalam dunia image politik. Mayoritas pelaku politik sibuk untuk berdandan untuk meningkatkan citra diri tinimbang memikirkan nasib rakyat.
                Dengan latar belakang Romo Herry sebagai pakar ekonomi politik yang telah lama berkecimpung dalam pengorganisasian orang miskin kota, menganggap bahwa LSM dan NGO saat ini sudah bergeser peran dan tercerabut dari akarnya. LSM dan NGO serta organisasi sosial lainnya, saat ini bukan lagi punya habitual, namun sudah mengarah pada lifestyle modernisasi. Dalam hal ini, media berperan penting pada pergeseran nilai budaya. Ketimpangan Human Development Indeks (dilihat dari kesehatan, pendidikan, income perkapita) ini teramat statis dibandingkan perkembangan internet yang melambung. Internet membentuk masyarakat Indonesia untuk menjadi penikmat hiburan tinimbang jadi kreator, sehingga asumsi yang muncul di kalangan remaja saat ini tentang sukses yaitu bisa tampil di TV atau popular di dunia internet.
                Beberapa problematika dalam dunia media yaitu, (1) perihal ketercerabutan; (2) perihal kebusukan profesi (contohnya profesi saat ini bukan dijalani karena komitmen, melainkan lebih pada employement, seperti yang terjadi di DPR); (3) perihal ‘apa-apa boleh’, demokrasi sebagai kebebasan yang salah diartikan; 4) perihal kultus pertunjukkan. Fenomena hibridity vs purity menjadi sangat dilematis dalam pergesekan media dan nilai yang terjadi di masyarakat Indonesia.
                Adapun prospek agenda meliputi: (1) media policy, menderita capture  oleh bisnis media, KKN dalam dunia jurnalistik, dan problematika yang dialami AJI sebagai wadah pers Indonesia; (2) Re-edukasi; (3) pelaku media; (4) media komunitas dan citizen journalism yang memperjuangkan common good melalui media komunitas. Community development harus hidup, dan citizen journalism harusnya lebih mengutamakan pada komitmen dan volunterism. Media sebaiknya dapat memediasi sebuah cita-cita hidup bersama, karena media sebagai locus publicus tidak dapat diciptakan tanpa adanya pelaku media yang kritis dan evolusioner.
                Demikian pemaparan yang disampaikan oleh Romo Herry, berikutnya adalah diskusi media, budaya, dan benturan nilai bersama Remy Sylado. Dalam kesempatan ini, dengan ciri khasnya, Remy menggunakan pakaian putih-putih, cincin yang melingkar di jarinya berwarna putih, jam putih, dan topi putih. Remy mengawali diskusinya dengan sejarah media cetak pada tahun 1850. Surat kabar pertama yang terbit di Surabaya yaitu Bintang Timur. Remy lebih banyak bicara tentang bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa yang mengupas tentang sejarah bahasa Indonesia.
                Peristiwa kultural yang terjadi di Indonesia yaitu saat Fransiscus Saverius menerjemahkan Doa Bapak Kami, yang diambil dari injil ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian bahasa Melayu sebenarnya adalah bahasa Arab gundul yang dikonversikan ke dalam bahasa latin, inilah yang menjadi bahasa tulis pertama. Penciptaan kitab injil ke huruf latin pada masa Belanda (VOC) ini, menjadikan bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Sampai saat ini masih ada tempatnya yaitu di Desa Tugu Jakarta (yang sekarang menjadi pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara). Tulisan Leidekker ini, diperbarui oleh Ceyleber yang juga meminta nasihat pada Abdullah bin Abdulkadir Munshyi.
                Tahun 18-an, mulai adanya bahasa Indonesia yang melahirkan KBBI. Bahasa yang berkembang membuat adanya perubahan nilai dalam media pers. Ada banyak bahasa yang tadinya tidak terpakai kemudian dibakukan dalam kamus. Masa Van of Heisn adalah masa pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang digunakan pertama kali di Indonesia. Kemudian tahun 1973, Anton Mulyono membakukan bahasa Indonesia dalam EYD (Ejaan yang Disempurnakan).
                Saat ini, penggunakan bahasa Indonesia sudah bercampurbaur dengan penggunaan bahasa Inggris. Contohnya dalam Tajuk Rencana Kompas hari ini, terdapat tulisan Dead Hero and Living Hero. Gejala masuknya bahasa Inggris ke Indonesia mempengaruhi pergeseran nilai dan budaya. Lebih jauh akan mempengaruhi gaya hidup, karena bahasa merupakan bagian budaya dan bahasa akan berkembang bersama gaya hidup masyarakatnya. Tidak hanya gaya bahasanya saja yang kebarat-baratan, melainkan kehidupan warga kota di Indonesia pun cenderung westernisasi agar dianggap gaul dan modern.
                Publik figur juga mempengaruhi perkembangan bahasa dan budaya, contohnya MC TV saat ini banyak menggunakan gaya American Language. Banyak orang Indonesia yang ketika mampu melafalkan bahasa Inggris menganggap bahwa dirinya modern. Padahal dalam data tahun 2005, fenomena yang terjadi di Amerika yaitu tidak semua orang Amerika menguasai bahasa Inggris, padahal warganya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa harian mereka. Apalagi di Indonesia, ironis memang yang terjadi di Indonesia, lebih jauh hal ini akan menggeser nilai bahasa Indonesia yang semakin banyak ditinggalkan oleh penggunanya.
                Contoh lain yang diutarakan Remy adalah Koran Meteor yang terbit di Jateng dan DIY, pada desember 2006. Judul setiap berita dalam Koran ini menggunakan bahasa Jawa, namun isinya menggunakan bahasa Indonesia. Inilah salah satu ciri penggunaan bahasa yang tidak konsisten. Bahasa daerah hanya digunakan sebagai alat pengantar sebuah pemberitaan. Hal lain yang terjadi pada Koran Lampu Merah yang dengan fulgar mengekspresikan bahasa ranjang. Apabila Koran ini banyak dikonsumsi publik tentu akan berpengaruh besar pada pergeseran budaya dan nilai yang terjadi di Indonesia. Adapun bahasa Slank yang sekarang banyak digunakan remaja, juga memiliki potensi untuk dimasukkan ke dalam daftar kata dalam KBBI.
                Demikianlah pemaparan dari kedua pembicara, selanjutnya adalah sesi diskusi. Pak Mif (dosen Psikologi UPI) bertanya tentang pembawa acara infotainment yang dianggap tabu menjadi tontonan yang biasa, lalu bagaimana jika koran mesum tersebut dibredel saja? Lalu penanya lain memberikan tanggapan tentang penyiar media yang kurang idealis. Kedua pertanyaan ini terlebih dahulu ditanggapi oleh Romo Herry, yang menjabarkan tentang posisi teologi dalam masyarakat. Tidak bisa hanya regulasi pemerintah yang berperan dalam mendidik rasa, membaca, berbahasa, dan berevolusi jangka panjang. Peran masyarakat sebagai pelaku media juga sangat diperlukan untuk mempertahankan identitas budaya Indonesia. Romo Herry juga menganalogikan BBC London yang tetap konsisten pada civilizing proses, yaitu memproses peradaban. Something outside the media, media itu sendiri menjadi konten di luar media.
                Remy menjawab pertanyaan tersebut dengan menjelaskan tentang Departemen Penerangan sebelum Gusdur menjabat sebagai Presiden RI. Dahulu, ada yang disebut sebagai SIT (Surat Izin Terbit) yang setelah ditelusuri ternyata adanya korupsi besar-besaran yang dilakukan Harmoko dengan kroni-kroninya Soeharto. Imbasnya juga terjadi pada majalah yang dibina Remy yaitu Aktuil. Departemen Penerangan saat itu merupakan penjahat besar bagi dunia pers Indonesia. Kemudian SIT menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang jelas-jelas sebagai badan usaha yang berorientasi pada bisnis. Lalu bagaimana pertanggungjaban  media?
                Menurut Mas Marko Tirto Adikusumo, cita-cita media adalah untuk memerdekakan Indonesia, memperkuat kebangsaan, dan mengentaskan buta aksara, namun yang terjadi sekarang adalah media sebagai ajang bisnis, yang syah sebagai prostitusi intelektual. Jika membahas tentang pembredelan, sebenarnya bredel bukanlah tindakan yang mendidik, dan tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi saat ini yang terjadi adadalah perkembangan internet yang tidak dapat dibendung. Ketika bahasa internet dan film berubah, maka bahasa verbal juga berubah yang menyebabkan pergeseran nilai dan budaya Indonesia.
                Remy juga menyinggung tentang keberadaan PKI, yang menyatakan Inggris kita linggis, dan Amerika kita setrika. Pernyataan ini lebih logis apabila ingin tahu tentang kemurnian budaya Indonesia. Solusi yang paling mendasar adalah dengan kesadaran yang membutuhkan integrasi berbagai lapisan masyarakat sebagai subyek dan obyek media. Tentang prinsip, ‘apa yang tersedia di media, maka dikonsumsi masyarakat ini’, tanpa adanya sikap kritis dan idealis masyarakat maka siap-siaplah Indonesia akan tergerus arus globalisasi modernisasi dan kehilangan indentitas sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya.
                Sebenarnya ada yang disebut sebagai kejenuhan cita rasa, semuanya back to nature, kembali pada masa lalu lagi. Menurut Romo Herry, tayangan Bajaj Bajuri adalah tayangan yang sehat karena kita bisa menertawakan diri sendiri. Lalu dengan maraknya sinetron di TV, tak bisa lagi disebut sebagai pembuat skenario, melainkan pencuri skenario yang dilakukan oleh Multivision pimpinan Raam Punjabi. Kata Remy, sinetron Indonesia itu modelnya kelontong, yang kejar tayang tanpa memperhatikan kualitas tontonan.
                Sebelum diskusi diakhiri, Romo Herry juga menyinggung tentang fanatik identitas, dalam filsafat ada yang disebut sebagai metafisika. Dalam metafisika, identity akan selalu berdampingan dengan different, sehingga kemurnian menjadi hibriditas yang tidak murni dalam pencampuran yang kompleks. Mengambil contoh BBC London lagi sebagai kecongkakan luhur sebagai perjuangan Republik yang syah, yang seharusnya dapat dicontoh oleh media di Indonesia. Tanggung jawab moral, kerusakan di negeri ini demikian massif dan media adalah symptom dari gejala yang terjadi. Pencarian identitas bangsa bisa ditelusuri dengan pertanyaan, mengapa kita disebut orang Indonesia? Remy menyebutnya sebagai anugerah Ilahi dan kutukan dewata. Tidak ada yang murni dalam proses pembentukan bahasa Indonesia, semuanya terjadi karena adanya percampuran antara bahasa dan bangsa yang bersentuhan dengan nilai budaya Indonesia.
                Terakhir membahas tentang perkembangan sastra Islam di Indonesia. Remy mengaitkannya dengan sastra Islami. Menurut Remy, sastra yang menunjukkan ayat suci dianggap tidak kuat karena minim nilai kemanusiannya. Seperti menjauhkan esensi sastra sebagai bahasa universal. Umar Kayam versi Persia, Jalaluddin Rumi, yang terkenal sufistik justru membahas persoalan nilai secara universal, bukan menempel pada ayat-ayat dalam kitab suci sebagai penguatan. Justru yang kuat ini dianggap tidak kuat karena kekuatannya yang kurang kuat. Maka yang lahir adalah absurditas dan makna yang sublim, yang hanya mampu menyentuh elemen kehidupan pada bagian permukaan. Bukankah Lir Ilir yang diciptakan para wali itu bukan berasal dari Al-Qur’an? 
Pada bagian ini juga dibahas pengaruh sastrawangi terhadap moral pembaca. Bagaimana dengan kemunculan sastrawangi yang ekpresi bahasanya tak beda jauh dengan Koran Lampu Merah? Bukankah ini akan mempengaruhi nilai dan moral pembacanya? Walaupun beberapa karya yang tergolong dalam sastra wangi ini menyentuh sisi humanis, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan humanis dalam karya sastra ini? Sastra wangi menurut Remy adalah sastra pemula dalam perkembangan sastra Indonesia. Lembaran budaya yang diminati oleh pembaca sastra wangi ini menjadi media yang menyediakan ruang sastra cukup manusiawi. Kita tidak bisa menghukum kehadiran sastra wangi di tengah-tengah perkembangan sastra Indonesia. Biarlah karya sastra genre ini muncul, dan tak ada yang salah apabila ditulis oleh penulis yang cantik, wangi, dan usia 30-an, tetapi jika usianya sudah 50-an tentu ini yang patut dipertanyakan tentang kewangiaannya.
 Masyarakat cenderung tidak tertarik pada teks sastra dan budaya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat praktis yang lebih senang pada hiburan semata. Sementara karya sastra yang agung adalah karya yang memiliki kekayaan intelektual dan kekayaan spiritual. Demikianlah, diskusi saya bersama Remy Sylado dan B. Herry Priyono. Betapapun media berkembang di Indonesia dan mempengaruhi identitas budaya kita, sebagai orang yang berbudaya kita selayaknya selektif untuk menerima budaya yang setiap waktu mengintai hidup kita. Adanya media dapat digunakan untuk kreativitas dan hal-hal positif yang dapat mengembangkan produktivitas dalam memperkaya budaya yang beradab. Salam seni budaya..

Nita Nurhayati, Mahasiswa Sastra Kontemporer Unpad

Komentar