Bau
Kematian dan Cinta
dalam Sajak Sapardi: Hujan
Bulan Juni
Oleh
Nita Nurhayati
Membaca buku kumpulan puisi
berjudul Hujan Bulan Juni yang
ditulis Sapardi Djoko Damono membuat saya terperangah, karena saya lebih dulu
mengenal Sapardi yang romantis. Saya begitu menikmati musikalisasi puisi
Sapardi yang berjudul Aku Ingin,
menurut saya puisi liris ini sangat romantis. Begitu pula dengan sajak lain
berjudul Ketika Jari-Jari Bunga Terluka, Hutan Kelabu
dalam Hujan, Hujan Bulan Juni, dan sajak Sapardi lainnya yang bernafaskan
cinta. Ini tidak terjadi ketika saya membaca halaman awal antologi puisi Hujan Bulan Juni. Saya langsung
dihadapkan dengan kematian, ketika membaca sajak yang berjudul Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati.
Hal ini mencekam batin saya dan langsung merobek pikiran saya tentang Sapardi
yang identik dengan cinta.
Dalam sajak Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati, saya menemukan pikiran
Sapardi yang menyentuh aspek iman. Tentang keyakinan seseorang terhadap
kematian, bahkan tentang kuasa Tuhan yang pasti akan menghidupkan dan mematikan
makhluknya. Puisi ini mengisahkan tentang seorang penjaga kubur yang mati, Sapardi
seperti ingin menyingkap sebuah tabir kehidupan seseorang dengan satus sosial
yang berbeda. Sapardi mengibaratkan bumi sebagai ibu yang baik – diterimanya kembali anak-anaknya yang
terkucil dan membusuk. Kematian bagi Sapardi tak memandang status sosial,
siapapun yang hidup akan merasakan mati. Seperti
halnya bangkai binatang; pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau
pedagang, atau klerek – sama saja; dan kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada
bedanya. Dari bait tersebut seolah Sapardi ingin membuka mata pembacanya
bahwa memang tak ada yang abadi, pangkat atau jabatan tidak akan dibawa mati.
Hal lain yang membuat saya merinding
adalah ketika membaca bait terakhirnya: lelaki
tua yang rajin itu mati hari ini, sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya
sendiri. Bait terakhir ini memberikan pesan bagi pembacanya bahwa sehebat
apapun orang hidup di dunia, jika mati pasti akan membutuhkan orang lain.
Meskipun ia seorang penjaga kuburan tetapi saat kematiannya, tak ada yang bisa
dilakukan untuk menolong dirinya sendiri. Ihwal
kematian juga terdapat dalam sajak yang ketiga berjudul Berjalan di Belakang Jenazah, sajak ini menyiratkan betapa kematian
itu datangnya tiba-tiba. tak terduga
betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia. Berbicara tentang
kematian, jadi teringat tentang nasihat bahwa maut, rezeki, dan jodoh di tangan
Tuhan. Jadi, jika Allah sudah berkehendak, Kun
Fayakun maka jadilah. Kemudian orang-orang yang ditinggalkan dalam kematian
hanya mampu berkata kehilangan. Seperti sebuah prosesi pekuburan, Sapardi juga
menulis sajak yang berjudul Sehabis
Mengantar Jenazah yang mendeskripsikan tentang rasa kehilangan teramat dalam
dan penyesalan akan kenangan dengan seseorang yang telah meninggal dunia. Hujan pun sudah selesai sewaktu tertimbun
sebuah dunia yang tak habisnya bercakap di bawah bunga-bunga menua, matahari
yang senja.
Membaca tema kematian ini membuat
jantung saya berdebar kencang dan jadi tak nyaman. Bukan karena takut pada
kematian, saya percaya kematian itu akan datang. Hanya, bayang-bayang
kesendirian dan kesepian itu menghantui saya dengan berbagai pertanyaan apakah
saya sudah siap menghadapi kematian? Karena kematian itu datangnya tidak
terduga, bisa kapan saja dan di mana saja. Inilah keberhasilan Sapardi yang
menurut saya mampu membuat pembacanya menjadi termenung tentang tafsiran
kata-kata dalam puisinya. Tema kematian juga kental dalam puisi Sapardi
berikutnya berjudul Dalam Sakit dan Ziarah. Selain tema kematian, Sapardi
lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Terdapat tiga judul puisi Dalam Doa dalam kumpulan puisi ini. Saya
seperti masih terseret ke dalam tema ketuhanan ketika beranjak pada tema
berikutnya. Simak puisi berjudul Tuan
berikut. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu
sebentar, saya sedang keluar. Sajak ini sangat singkat dan ironis, banyak
orang menganggap seseorang sebagai Tuhan. Sebut saja hakim dapat menjelma Tuhan
ketika memutuskan hukuman mati bagi terdakwanya, atau para bawahan yang
menuhankan atasannya, atau para pembantu yang menuhankan majikannya. Sajak yang
ditulis tahun 1980 ini membuat kita tertawa geli, bahwa sesungguhnya Tuan
memang bukan Tuhan.
Setelah membaca puisi bertema ketuhanan, pembaca
seolah diajak untuk masuk dan menemukan dirinya sendiri, bergelut dengan
perasaan cinta, rindu, dan segala hal yang berkecamuk dalam dada. Semisal sajak
berjudul Ketika Jari-jari Bunga Terbuka,
pada puisi ini disebut dua kali kata cinta. Entah cinta Kita yang dimaksud cinta pada manusia atau cinta pada Tuhan
karena dituliskan dengan huruf K kapital. Puisi berikutnya berjudul Hutan Kelabu dalam Hujan, dalam puisi
ini memang sudah cukup jelas bahwa Sapardi sedang bicara tentang cinta. Puisi
ini mengibaratkan tentang betapa dalamnya kerinduan seseorang terhadap
kekasihnya, lalu kembali kusebut kau pun
kekasihku langit di mana berakhir setiap pandangan bermula kepedihan, rindu
itu. Dari sinilah saya bisa belajar tentang “sebuah hal” dalam puisi dengan
maksud tersembunyi. Jika yang biasa kita ketahui tentang seseorang yang rindu
kepada kekasihnya dengan mengucapkan kata rindu secara langsung, tetapi Sapardi
membalut rindu itu dengan sedemikian romantis. Rasanya mustahil jika metafor
hutan sebagai hati manusia yang sedang gelisah. Kita bisa mengambil padanan
kata hutan semisal rimba yang berbahaya, dalam hal ini seorang manusia seolah
bergulat dengan perasaannya sendiri. Begitu pula metafor hujan, hujan
diibaratkan sebagai pengharapan, apapun yang disentuh hujan tentu akan basah.
Salah satu faktor mengapa hutan dapat dikatakan lebat karena disiram hujan.
Dengan demikian, hujanlah yang jadi pengobat kerinduan hati.
Setiap cinta yang sudah diresmikan
maka akan ada perkawinan, dalam Sajak
Perkawinan, betapa unik Sapardi
mendeskripsikan hubungan intim. Perhatikan sajak berikut. cahaya yang ini, siapakah? (kelopak-kelopak malam) kaki langit yang
kabur dalam kamar, dalam persetubuhan. butir demi butir (Kau dan aku, aku
serbuk malam) tergelincir menyatu. Inilah hebatnya penyair, dapat
mendeskripsikan sesuatu yang senonoh dengan sangat puitik. Sapardi
mengibaratkan persetubuhan dengan kelopak
malam, butir demi butir, dan serbuk malam. Proses biologis ini jadi tampak
unik dan estetik.
Puisi hadir dari hasil kontemplasi,
beberapa puisi juga mengisahkan tentang pertanyaan dalam diri. Contohnya sajak Dalam Diriku, bertema tentang pencarian
jati diri: dalam diriku meriak gelombang
sukma, hidup namanya! dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya. Saya
percaya bahwa kata-kata memang mencerminkan pemikiran seseorang yang berkata.
Sebuah kebalikan antara hidup yang indah dan menangis. Bukankah ketika
menikmati hidup yang indah kebanyakan orang tertawa, tetapi aku dalam puisi ini menangis
sepuas-puasnya. Kadang memang ada yang menangis karena bahagia, tapi saya kira
bukan ini yang Sapardi maksud. Sesuatu yang indah dapat dikatakan indah, dan
sesuatu yang indah tidak pula selamanya dapat dikatakan indah. Takdirnya dalam
hidup adalah, apabila ada tangis maka ada tawa, jika ada sesuatu yang indah
pasti ada juga yang buruk. Namanya juga hidup, jika selamanya indah tentu akan
terasa monoton, tetapi ketika ada kabut
pelahan maka itulah yang disebut hidup yang indah.
Sajak Sapardi yang paling popular
berjudul Aku Ingin, selain sudah ada
musikalisasi puisinya, sajak ini juga sering dijadikan kata-kata indah yang
tercantum di surat undangan pernikahan atau bahkan digunakan ketika seseorang
menyatakan cinta pada kekasihnya. Cinta yang tak terukur ini membuat cinta
memang tak bisa diwujudkan dengan apapun sehingga Sapardi mengibaratkan dengan
kesederhanaan. Menyatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sederhana dengan
kesederhanaan. Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang
menjadikannya abu. Menurut Maman S Mahayana (Kompas: 29 Maret 2009) bahwa dalam
kesederhanaan, puisi Sapardi kaya tafsir. Itulah yang membuat puisinya mampu melahirkan
pentas baru, entah dalam bentuk lagu, musik, atau monolog.
Demikianlah apresiasi saya tentang
sajak Sapardi. Membaca buku kumpulan puisi Hujan
Bulan Juni seolah saya diajak mengenal Sapardi lebih dalam. Seperti
memasuki ruang pikirnya yang bergulat dengan diri sendiri, Tuhan, Kematian,
cinta, dan realita sosial. Beginilah cara Sapardi merespons kehidupan yang
hadir di sekelilingnya.
***Sumber: Damono, Sapardi Djoko. 2009. Hujan
Bulan Juni. Ciputat: editum.
Dimuat di http://www.rumahdunia.net pada 02 April 2011 - 21:35
Komentar
Posting Komentar