Pandangan Tokoh Perempuan terhadap Perbedaan Agama dalam Novelisasi Harmoni dalam Tanda “?”



Pandangan Tokoh Perempuan terhadap Perbedaan Agama
dalam Novelisasi Harmoni dalam Tanda “?”
Oleh Nita Nurhayati

            Harmoni dalam “?” adalah sebuah novelisasi yang ditulis oleh dua orang yaitu Melvi Yendra dan Andriyati. Novel ini diadaptasi dari film “?” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini berkisah tentang keberagaman agama yang ada di Indonesia. Film “?” ini dibuka dengan bunyi lonceng yang diiringi nyanyian gereja. Lalu ibadah yang dilakukan oleh orang-orang Konguchu, kemudian sholat berjamaah yang dilakukan orang-orang Islam, beralih pada sembahyang orang Tionghoa, aktivitas di gereja lagi, sholat berjamaah, masjid lagi, begitu seterusnya, terasa berulang-ulang sampai adanya peristiwa penusukan seorang Pastur yang sedang menyambut para jemaatnya di depan gereja. Penusukan ini dilakukan oleh seorang oknum yang kemudian melarikan diri dengan motor yang dibawa rekannya. Dinamika agama ini terus berlanjut dan dihadirkan secara gamblang dalam Film “?”

Novelisasi Harmoni dalam “?”
            Seorang laki-laki bernama Surya tengah berjalan, pergerakan cerita dalam novel ini digambarkan serupa dengan filmnya. Saya seolah menemukan sebuah bentuk transformasi dari film ke dalam novel yang agak sulit ditemukan perbedaannya, sebagian besar adegan bagian awal novel serupa dengan filmnya. Yang berbeda adalah judul novel dan filmnya. Jika filmnya berjudul “?” maka novelnya berjudul Harmoni dalam “?” Saya seolah membaca teks film yang denotatif dalam novel, alur novel ini bergerak seperti yang terjadi di film. Bahasa novel yang cenderung popular terkesan kurang enak dibaca. Saya lebih suka menonton filmnya tinimbang membaca novelnya.
            Proses adaptasi bukanlah sekadar memindahkan wacana dalam teks, namun juga mengambil ruh yang terdapat dalam karya asli kemudian dipindahkan ke bentuk yang lain. Adaptasi yang berhasil adalah adaptasi yang dapat menyerap esensi dalam teks asli. Saya tidak menemukan hal ini terjadi dalam novelisasi Harmoni dalam “?” Setiap orang bebas menilai akan film yang ditonton dan novel yang dibacanya, namun dari sudut pandang subyektif, novel yang bagus adalah novel yang bisa berdiri sendiri. Menurut Remy Sylado, karya sastra itu harus memiliki kekayaan spiritual dan kekayaan intelektual. Menurut saya, novel ini bisa saja berdiri sendiri, namun rasanya pembaca sudah cukup untuk menonton filmnya tinimbang membaca novelnya, karena cerita yang dihadirkan relatif sama. 

Kehadiran Tokoh Perempuan dalam Harmoni dalam “?”
            Adegan pertama dalam Film “?” ini menghadirkan seorang tokoh perempuan yang akan pindah agama, dari Islam ke Kristen. Surya, seorang tokoh lelaki yang berprofesi sebagai pemain figuran dalam film ini menanyakan kebenaran gosip tentang keyakinan perempuan yang bernama Rika ini. Benarkah Rika pindah agama karena pelampiasannya terhadap kasus perceraian yang dialami? Adegan ini terputus karena Surya harus pergi dan Rika kembali merapikan buku-buku dalam tokonya.
            Kemudian muncul Revalina Estemat yang berperan sebagai Menuk, seorang pelayan di restauran cina. Pemilik restauran ini beragama Konguchu sedangkan Menuk beragama Islam. Menuk pun mengenakan kerudung rapi yang menyatakan identitas keislamannya. Pemilik restauran ini memiliki seorang anak laki-laki bernama Hendra. Menuk berpapasan dengan Hendra yang kemudian keluar dari tokonya. Di jalan, Hendra bertemu dengan beberapa orang yang memakai koko dan meledeknya sebagai Cina, Hendra membalas makian mereka dengan sebutan teroris asu. Mereka bertengkar dan dipisahkan oleh seorang Ustadz. Setting peristiwa ini terjadi di Semarang, sebuah kota yang menggambarkan kebhinekaan.

Pandangan Menuk terhadap Perbedaan Agama
            Menuk, sebagai tokoh perempuan dalam film ini hidup berdampingan dengan pemilik restauran yang berbeda agama dengannya. Menuk memiliki tenggang rasa yang tinggi dan komitmen terhadap pekerjaannya. Seorang calon pembeli yang beragama Islam menanyakan apakah di restauran ini menjual babi, Menuk mencoba menjelaskan dan meyakinkan calon pembelinya kalau semua panci, pisau, adan alat masak lainnya dipisahkan antara babi dan bukan babi. Namun, calon pembeli ini merasa ragu, dan akhirnya meninggalkan Menuk. Menuk merasa putus asa karena tidak dapat meyakinkan calon pembelinya, namun ketika menatap pemilik restauran yang tersenyum padanya, Menuk kembali pada aktivitasnya.
            Ada keharmonisan dalam persinggungan Menuk dengan pemilik restauran. Ketika adzan, Menuk diingatkan untuk sholat, dan isteri pemilik restauran juga tampak sedang beribadah sesuai dengan keyakinannya. Keharmonisan ini tak berjalan sedemikian rupa ketika tanggung jawab restaurant diserahkan pada Hendra. Sebagai anak pemilik restaurant, Hendra memiliki wewenang untuk mengubah aturan yang selama ini dibuat Papinya, dari siniilah mulai terjadi konflik agama yang akan dijelaskan pada penceritaan selanjutnya.

Pandangan Rika terhadap Perbedaan Agama
            Kemudian beralih pada penceritaan tokoh perempuan yang akan pindah agama. Tokoh perempuan ini bernama Rika.
            “Aku tuh gak mau kalau Abi punya pikiran kalau ibunya tu salah”. Kata Rika.
            “Emang seorang ibu gak boleh salah?” Timpal Surya.
            “Lho, emang aku salah apa to?”
            “Mungkin aja, kamu udah dianggap mengkhianati dua hal yang dianggap baik, pernikahan dan Allah”.
            Rika segera pergi dengan penuh emosi.
            “Aku cerai dari Mas Panji bukan karena aku mengkhianati kesucian perkawinan, dan aku pindah agama bukan karena aku mengkhianati Tuhan” tukas Rika kemudian benar-benar pergi.

            Dari dialog di atas, tampak pandangan perempuan yang memiliki pendirian, prinsip akan agama yang diyakini. Ia memiliki kebebasan untuk memilih agama apa yang akan dianut dan diyakininya. Pun dengan pilihan pindah agama, tentu ini bukan pilihan yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengalami goncangan mental karena mesti bercerai dengan suaminya. Rika mencari perlindungan, ia mencari obat dari penyakit yang dialaminya. Dan pindah agama memungkinkannya untuk mendapatkan penyembuhan. Rika mengikuti acara pembabtisan di gereja.
            Dalam novel, kisah kehancuran rumah tangga Rika dan Panji ada dalam halaman 99 – 100 berikut.
            Tapi begitu teringat saat-saat Panji mengemukakan maksud dan keinginannya untuk menjadikan Andini sebagai isterinya, luka yang tergores semakin dalam terasa di hatinya. Bila sudah begitu, spontan saja sejuta pertanyaan seperti berebut keluar dari rongga dadanya. Apa yang kurang dari aku sebagai seorang istri? Apa yang kurang dari aku dalam melayaninya? Apa yang pernah salah aku perbuat kepada Panji? Kasih sayang dan kesetiaan seperti apa lagi yang ia inginkann dariku? Jujur, aku sangat mencintainya. Dengan sepenuh hati dan jiwa. Tapi, mengapa tak cukup hanya aku yang menjadi istrinya? Mengapa ketika segenap cinta dan perhatianku tercurah kepadanya dan anak kita, ia menumpahkan rasa cinta dan perhatian kepada perempuan lain? Dan tidak sampai di sana, ia juga ingin menjadikan perempuan itu sebagai istrinya! Sama statusnya dengan aku. Tak bisakah cukup aku saja sebagai istrinya? Mengapa? Kenapa? Kok bisa? Rentetan pertanyaan semakin menghujani benak dan kesendiriannya. Semua temannya kalau ketemu Cuma bilang, “Sabar ya Rika. Atau, lupakan saja Rika. Atau, nanti juga kamu bisa mengatasinya.” Mudah diucapkan! Terasa pahit dan perih bagi yang menjalankan. Takdir? I don’t know.  

Digambarkan pula tokoh Menuk yang hidup sebagai perempuan yang menopang kebutuhan keluarga. Sementara suaminya tidak bekerja. Dalam aktivitas pembabtisan di gereja, Rika disuruh menuliskan tentang Arti Tuhan di Matamu. Rika bingung dan berpikir keras untuk menuliskan apa yang sesuai dengan keyakinannya. Setelah di gereja, Rika menjemput Abi yang sudah menunggu lama usai mengaji di masjid. Abi tampak marah dan kesal pada ibunya karena telah menunggu lama.
            Mami, sebutan untuk isteri pemilik restauran ini sangat taat beribadah, dan meyakini agamanya sebagai penganut Konguchu sejati. Setiap masuk restauran, Menuh selalu mengucapkan salam, dan orang-orang dalam restauran ini juga menjawab salam Menuk, padahal agama mereka berbeda. Lalu adegan ketika Rika berada di toko buku miliknya.
            “Apa? Apa? Mau ngatain aku murtad? Mau ngatain aku kafir, apa?”
            “Yaelah, barusan aku dimarahin sama Bu Novi, sekarang dimarahin sama Mbak, gitu ya” Surya pun pergi, kemudian datang lagi.
            “Eh, Mbak. Sebenarnya saya tuh bangga sama Mbak, Mbak berani mengambil langkah besar dalam hidup Mbak. Sementara saya, saya gak kemana-mana Mbak. Sepuluh tahun saya jadi aktor Mbak, cuma jadi figuran doang. Malah kadang-kadang saya mikir kalau hidup saya. Saya ini hidupnya cuma numpang lewat doang.” Surya meluapkan emosinya kemudian benar-benar pergi meninggalkan Rika yang tampak tercengang.
           
Tentang pindahnya agama Rika, dalam novel Harmoni dalam ? terdapat pada dialog antara Rika dan Surya berikut.
            “Mmm.. Mbak sudah pindah keyakinan?” Surya melepaskan pertanyaannya.
            Rika menghentikan kegiatannya sejenak, memikirkan pertanyaan Surya, lalu kembali sibuk menyusun buku-buku.
            “Sebenarnya belum resmi. Aku hanya sedang berkonsultasi dengan seorang pastur. Kamu dengar dari siapa soal ini?”
            “Ibu kos.”
            “Bu Novi?”
            “Siapa lagi. Bu kos saya kan cuma satu itu.”
            “Katanya, Mbak pindah keyakinan gara-gara perceraian Mas Panji. Yah, semacam pelarian untuk mengusir perasaan galau…” (2011: 12).

Harmonisasi Tiga Perempuan yang Berbeda Agama
            Suami Menuk datang ke restauran tempat Menuk bekerja setelah ditolak Rika yang tak memberikan kesempatan padanya untuk bekerja. Soleh, suami Menuk merasa tidak berdaya karena tidak sanggup menopang hidup keluarga. Mendapati peristiwa pertengkaran rumah tangga yang terjadi di depan restauran, Mami menghibur Menuk. Dalam adegan ini terjadi pembauran agama, toleransi antar umat beragama sangat tampak, antara Islam dan Konguchu. Kedua perempuan ini hanyut dalam persoalan rumah tangga yang dihadapi Menuk. Mami menenangkan Menuk dengan menguraikan pandangannya sebagai perempuan, sebagai seorang ibu, dan juga sebagai seorang isteri yang bekerja untuk kehidupan keluarganya.
            “Dia minta cerai, Mbak.” Tangis Menuk pada Rika yang baru datang untuk menenangkannya.
            “Tolong jangan masukkan kata-kata itu dalam hidup kamu dan Soleh, kamu harus kuat, supaya Soleh juga kuat.” Hibur Rika.

            Dialog yang terjadi antara Menuk, Rika, dan Mami, seolah tak memandang perbedaan di antara mereka. Perbedaan agama yang dianutnya tak menjadi halangan bagi mereka untuk saling peduli, menyayangi, dan mengasihi. Menuk yang Islam, Mami yang Konguchu, dan Rika yang tadinya Islam berubah jadi Katolik. Ketiga perempuan ini seolah-olah ingin menggambarkan kerukunan antarumat beragama. Mami dan Rika, sama-sama berusaha merasakan beban yang diderita Menuk sebagai seorang perempuan. Sisi humanis sangat tampak di antara ketiganya, tanpa memandang perbedaan keyakinan di antara mereka.
            Lalu di toko buku Footnote milik Rika sudah ada Surya yang duduk di antara tumpukan buku, kemudian datang Abi yang mencari ibunya, dan datang pula Bu Novi, pemilik kostan Surya.
            “Kalau ingin toko bukunya ini laris, mbok ya menjual buku-buku agama Islam pasti laris. Nanti tak hubungkan sama penerbitnya. Kebetulan suamiku menerbitkan buku-buku agama Islam, nah untuk Abi ini, banyak lho komik-komik Islam yang bagus-bagus, mau kan kamu membacanya, bisa pintar, gak kayak ini”. Bu Novi dengan nyinyir menunjuk Surya.
           
Konflik perceraian yang terjadi antara Rika dan Mas Panji ternyata karena Mas Panji menginginkan poligami, sementara Rika tak ingin dimadu. Rika lebih memilih diceraikan tinimbang mesti membagi kasih sayang suaminya. Hemat saya, inilah yang mebuat Rika pindah agama menjadi Katolik, dalam Katolik, menikah hanya dianjurkan satu kali seumur hidup, sementara Islam membolehkan laki-laki menikah sampai empat kali. Rika sedang khusuk berdoa di gereja, kemudian hadir Doni yang mengisahkan tentang penderitaan Yesus.
            “Yesus menyembuhkan saya.” kata Doni.
            “Dia juga janji akan menyembuhkan saya.” jawab Rika dengan penuh keyakinan.

            Dalam rumah Rika yang kecil tampak ada dua agama, yaitu agama Katolik yang diyakini Rika sekarang dan agama Islam yang dianut oleh Abi. Di pintu kamar Abi terdapat gambar Abi dan keluarganya, yang di atasnya ada kaligrafi bertuliskan Allah. Sementara di sisi sebelahnya terpampang Yesus yang sedang disalip. Rika sering ke gereja, kali ini masih membahas tentang Tuhan di Matamu. Tuhan di mata Rika.
            “Tuhan itu Allah, Dia Ar-Rahman Maha Pengasih, Ar-Rahim Maha Penyayang, Al-Malik Maha Memerintah, Al-Kudus Maha Suci, Al-Mu’min Maha pemberi Keamanan, Al-Muhaimin Maha Pemelihara”.

            Semua jemaat gusar mendengar tulisan Rika yang dibacakan oleh Pastur di gereja. Itulah pandangan Rika tentang Tuhan. Yang disebutkan Rika semuanya ada dalam Al-Qur’an, yaitu nama-nama Allah dalam Asmaul Husna. Tentu ini adanya dalam agama Islam sebagai agama yang Rika anut sebelum ia menjadi Katolik.
            Rika melihat Surya yang tampak lapar, ia mengajak Surya untuk makan soto.
            “Ikut aku ke gereja yuk! Jangan negatif dulu, dikit lagi kan Paskah, biasanya di hari jumat agung itu ada pementasan drama Yesus disalip, dan aku udah ngomong sama panitianya, kamu mau kan ikut casting?”
            “Casting jadi penjahat lagi?”
            “Jangan negatif ah, bayaranya mahal lho”.
            “Hmemm.. gak ah Mbak, takut.”
            “Takut apa?”
            “Apa kata orang-orang?”
            “Kamu ini ya, seneng banget denger kata orang-orang, lihat aja aku. Aku akhir-akhir ini banyak ngelakuin hal yang di luar batas, di luar moral, gak wajar, tapi setidaknya ya jujur dari hati aku sendiri”.
            Rika digambarkan sebagai perempuan yang baik, perempuan yang peduli pada Surya. Hubungan Rika dan Surya tampak dekat, bahkan Bu Novi menyebut mereka pacaran, namun hubungan ini tampak wajar karena keduanya biosa saling menghargai perbedaan. Rika memahami keadaan Surya yang butuh pekerjaan.
            Soleh datang menemui Menuk di restauran.
            “Mas.....” kata Menuk bahagia melihat suaminya kembali
            “Maafin aku Nuk.”
            “Kamu ke mana aja dih Mas?”
            “Aku dapat kerjaan Nuk.”
            “Alhamdulillah, kerja di mana?”
            “Aku diterima jadi anggota Banser. Banser NU Nuk, NU. Nahdatul Ulama.”
            “Tapi, bukannya itu bahaya ya Mas?”
            “Gak bahaya Nuk, itu perjuangan di jalan Allah, dan ini cita-cita aku Nuk. Kamu percaya sama aku kan Nuk, yah?”
            “Aku selalu percaya sama kamu Mas.”

            Semenjak Soleh mendapatkan pekerjaan, hubungan keluarga mereka menjadi membaik. Soleh adalah suami yang ingin bertanggung jawab terhadap kebutuhan isteri, anak, adik dan keluarganya. Namun, nasib baik tak memihaknya. Beralih ke setting tentang Surya dan Rika.
            “Percaya gak Mbak, saya diterima.” ujar Surya pada Rika
            “Sebagai?” tanya Rika penasaran.
            “Peran utama”
            “Yesus.”
            “Husyuut.. Iya kan selama ini saya dapat peran kalau gak penjahat, ya figuran, sekali-kalinya dapat peran jagoan, jadi gak ada salahnya saya terima.”
            “Yeaah… makasih ya.” Rika bersorak gembira.

            Pada malam jumat agung paskah, semua tokoh penting dalam film ini berada di sekitar gereja. Engkoh mendapat order catering untuk konsumsi acara ini. Menuk dan teman-temannya yang notabene Islam membantu Engkoh mengurus makanan. Begitu pula Soleh dan anggota Banser lainnya turut menjaga selama acara Paskah berlangsung.
            Motif pertengkaran beda agama yang terjadi dalam film ini juga karena adanya cinta segitiga antara Menuk, Soleh, dan Hendra. Menuk lebih memilih Soleh yang seagama sebagai suaminya.
            “Mi, Menuk lebih memilih menikah dengan Soleh hanya karena dia taat beragama. Taat, taat, taat tok Mi. Bayangin, bayangin, picik to, itu goblok.” Maki Hendra dengan kesal.
            “Setidaknya Menuk sudah memilih Soleh. Kamu apa? Apa yang kamu sudah pilih Hen, apa kamu sudah sepenuhnya berada di restauran Papamu?”
            Berlanjut pada setting Bulan Ramadan.
            “Bukan cuma tirai aja yang dicopot Mas, tapi kita juga gak dikasih waktu break sholat.” keluh Menuk pada suaminya.
            “Dasar Cina” bentak Soleh
            “Eh, kita bukan lagi ngomongin Cina, tapi Hendra.”
            “Podo waelah.”

Dari dialog antara Menuk dan Suaminya tampak bahwa Menuk lebih punya pandangan yang terbuka terhadap perbedaan agama. Sedangkan suaminya memiliki pandangan yang fanatik terhadap perbedaan agama. Padahal profesinya sebagai Banser justru dalam posisi menjadi pelindung bagi agama lain yang sedang melakukan ibadah. Semenjak Papi sakit keras dan tanggung jawab beralih ke Hendra. Sikap Hendra ternyata  lebih ekstrem dari apa yang biasa dilakukan Papinya. Restauran Cina itu menempel tulisan yang isinya, Tetap Buka di Bulan Puasa.
Rika menunggu Abi dan Surya yang sedang menunaikan sholat Taraweh di tempat mie ayam. Rika menawarkan Surya untuk jadi Sinterclaus, ada anak temannya yang sakit dan meminta untuk dihibur Sinterclaus. Surya menerima tawaran itu, kali ini Surya lebih banyak menerima tawaran sebagai aktor meski perannya berbeda dengan agama yang diyakininya.
Menuk menghampiri Hendra yang lewat di depan masjid.
“Mas, Mas.. Maaf kalau saya pernah menyakiti hati Mas Hendra. Saya tahu dulu kita pernah, kita pernah punya cerita yang mungkin menurut Mas Hendra itu gak enak. Tapi, buat saya itu anugerah, karena Tuhan ngajarin arti cinta dalam agama yang berbeda. Saya minta, Mas jangan lampiasin rasa marah Mas Hendra ke suami saya, atau ke orang tua Mas Hendra, itu aja Mas. Assalamualaikum.”

Menuk benar-benar digambarkan sebagai tokoh perempuan yang terbuka, yang bisa menerima perbedaan, yang moderat, yang memiliki rasa toleransi yang tinggi, bahkan juga berani mengakui perasaan di antara mereka berdua yang pernah menjalin cinta. Menuk menyadari hal ini sebagai sebuah anugerah, karena dengan kejadian ini, ia dapat istiqomah pada prinsip agama yang diyakini dan memilih pasangan hidup yang seagama.
Dalam novel, alur cerita cinta Menuk dan Hendra lebih detail digambarkan, bahkan ketika Hendra mengungkapkan cinta pada Menuk seperti berikut.
“Terimalah cintaku Nuk. Walaupun ada perbedaaan di antara kita.” Hendra meneruskan. Perasaan Hendra mengatakan, pasti Menuk keberatan dengna perbedaan agama di antara mereka. Tapi batinnya tak bisa lagi menyembunyikan cintanya. Dan perasaan cintanya seperti mampu menembus dinding-dinding tebal perbedaan itu. Dalam diam, dalam hening, dalam kesendiriannya selama ini, hanya wajah Menuk yang melintas. Ada banyak perempuan teman sekolahnya yang sama-sama Cina. Tapi jatuh hatinya justru pada Menuk. Anak perempuan dari pelayan restoran papinya. Dan anak itu, Menuk, sekarang ada di tepat di hadapannya sedang menikmati es campur. Sementara bunga mawar masih di genggaman tangannya. (2011: 51).

Di rumah Rika, yang notabene berbeda keyakinan dengan Abi, anaknya. Rika mengajarkan Abi cara berdoa untuk sahur, dan Abi pun mengikutinya. Dalam hubungan ibu dan anak ini tampak keterbukaan untuk menerima perbedaan. Di sinilah nilai humanisasi dan toleransi. Betapa perdamaian antar umat beragama dapat terwujud dengan rukun apabila satu sama lain saling menghargai.
Hari Raya Iedul Fitri.
“Jadi, besok Mbak masuk?” Tanya Rifka.
“Iya.” Jawab Menuk.
“Ya, makannya, kita jalan-jalannya hari ini aja ya.”
“Kenapa gak bolos aja to, gampang.” timpal Soleh.
“Gak enak sama Engkoh.” kata Menuk
“Engkoh apa Hendra, hmemm… Engkoh op Hendra.” Soleh tampak geram.

Persoalan cinta segitiga yang terjadi antara Menuk, Soleh, dan Hendra agaknya kurang diterima oleh Soleh. Soleh termasuk tipe suami yang pencemburu dan temperamental. Ia selalu curiga terhadap apa yang dilakukan Menuk di restauran, karena di restauran itu selalu ada Hendra.
Di tempat lain, Surya datang untuk bersilaturahim ke Rumah Rika.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam.. Selamat Iedul Fitri.” sambut Rika.
“Selamat Iedul Fitri juga.”
Lalu datang Abi menghampiri mereka.
“Lebaran ke mana aja?” Tanya Surya pada Abi.
“Tadinya sie mau lebaran di rumah Eyang Puteri kata ibu, tapi eh gak jadi.” keluh Abi, polos.
“Ibu melarang saya, katanya menjaga perasaan Bapak.”
“Emang kakeknya Abi belum tahu kalau kamu pindah agama, sampai kapan?”
“Aku gak berani berani berharap.”

Konflik batin dan sosial terjadi di dalam diri Rika. Persoalan pindah agama tak bisa dengan mudah diterima banyak orang, terutama keluarganya. Sejak kecil, Rika sudah didik untuk beragama Islam, ketika dewasa dan setelah bercerai dari Panji, pilihan Rika untuk pindah agama tentu tak bisa diterima begitu saja. Sebab agama adalah keyakinan, adalah iman yang ditanam tidak hanya di hati melainkan juga terealisasi dalam bentuk perbuatan.
Setting beralih ke restauran Cina.  
“Anak-anak diliburin berapa hari, Mi?” Tanya Papi.
Mami tidak menjawab. Kemudian Papi turun untuk memastikan bahwa karyawannya masih diliburkan. Ia turun ke bawah melihat restaurannya.
“Pulang, pulang semua, ini baru hari kedua lebaran.”
“Pi, aku cuma pengen jualan seperti biasa kok.” Bela Hendra.
“Pi, tunggu-tunggu, jangan ditutup.”
“Justru pada saat lebaran itu orang-orang pada makan di luar karena pembantunya pada mudik. Kalau kita tutup, kita gak dapat untung Pi.”
“Eh.. eh, dengar kamu ya. Dengar! Ngejalanin bisnis itu bukan cuma untung doang, ngerti kamu. Tutup. Tutup!” teriak Papi.
Tiba-tiba rombongan yang dipimpin oleh Soleh datang menyerbu restauran. Suasana jadi kisruh.
“Koh, Koh.. Astagfirullahaladziem…” tangis haru keluar dari Menuk.

Soleh tak sengaja memukul Engkoh yang akhirnya jatuh pingsan. Ini bentuk kekacauan yang mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai toleransi antarumat beragama, apabila masing-masing penganut agama sudah mengedepankan egonya.
            “Maafin Ping Hen Pi, sekarang aku ngerti kenapa Papi selalu baik dengan seseorang yang gak seagama. Sekalipun mereka gak selalu baik sama Papi.” Ujar Hendra dengan penuh penyesalan, sambil menggenggam buku Asmaul Husna yang ternyata adalah pemberian Hendra untuk Menuk. Papi membisikkan sesuatu di telinga Hendra dan akhirnya meninggal dunia.

            Di tempat lain, Abi sedang menghias pohon natal bersama ibunya di toko buku mereka.
            “Mas, saya belum sempat minta maaf dan ngucapin turut berduka cita.” kata Menuk pada Hendra.
            “Makasih, Nuk.”
            “Kira-kira kalau saya buka restauran lagi, ada gak ya yang mau kerja dengan saya?”
            “Saya akan ajak teman-teman untuk balik lagi ke sini Mas.
            “Makasih.”
            “Kamu percaya Nuk, kalau manusia itu bisa berubah?”
            “Percaya Mas.”

            Beralih pada perayaan ulang tahun Surya di toko buku Rika.  
            “Ini ada novel bagus banget dan paling aku suka. Ini juga kado buat kamu. Aku bacain yah.”
            “Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Berjalan, berlari, dan sesekali berhenti, semua jalan setapak itu boleh beda-beda, namun menuju ke arah yang sama. Mencari suatu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama. Hingga dekat ke tujuan, manusia menyadari bahwa di sepanjang jalan setapak yang sudah dilewati, ia takkan pernah benar-benar sendiri. Manusia selalu bersama apa yang dia cari. Bersama tujuannya, yaitu Tuhan.”  

            Di hari natal, gereja juga mengadakan pementasan yang aktornya adalah Surya. Soleh masuk ke dalam ruangan ketika bertengkar dengan Menuk. Soleh meyakinkan Menuk, ia merasa bahwa sebagai laki-laki, ingin berarti di hati isterinya, anaknya, adiknya, dan keluarganya. Anggota Banser mencari-cari Soleh. Tiba-tiba Soleh melihat kotak kardus yang terletak di bawah kursi. Setelah dibuka dengan gemetaran, ternyata isinya adalah bom. Soleh merasa sangat ketakutan.
            “Awas minggir, minggir, bom iki.” Teriak Soleh sambil berlari ke luar gereja.

            Soleh mengorbankan dirinya demi menyelamatkan seluruh umat yang sedang merayakan hari natal di gereja.
            “Mas Soleh, Mas Soleh…” Menuk berteriak-teriak penuh haru memanggil suaminya yang telah hancur berkeping-keping bersama bom yang baru saja meledak.

            Hendra mengganti nama restaurannya dari Chantoon Chinese Food menjadi Barokah Chinese Food Halal.
            “Eyang Utie…” kedua orang tua Rika datang pada syukuran khataman Al-Qur’an Abi. Mereka berpelukan dengan bahagia.

            Di masjid, tampak Hendra sedang konsultasi tentang agama bersama Ustadz.
            “Apa itu Islam Pak Ustadz?”
            “Islam itu artinya adalah penyerahan hati dan juga penyerahan jiwa. Pada saat hati sudah diserahkan pada Allah SWT, yang ada adalah keikhlasan, maka menjadi Islam adalah menjadi manusia yang berupaya untuk ikhlas. Memperbaiki kekurangan yang ada dalam dirinya dan merubah kekurangan itu menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya.”

            Hendra pindah agama dari Konguchu menjadi Islam dengan mengucap dua kalimat syahadat.  
            “Pi, mulai hari ini Ping Hen melakukan perubahan besar dalam hidupnya, seperti yang Papi minta sebelum pergi. Dia sudah menepati janjinya untuk berubah, untuk memilih.” kata Mami pada abu mendiang suaminya yang disimpan di dalam pot bunga.
           
Dalam novel, keinginan Hendra untuk pindah agama sudah ada sejak lama ketika Hendra benar-benar merasakan jatuh cinta pada Menuk.
“Bila saja engkau tahu Menuk, aku rela mengikuti keyakinanmu, agamamu, demi mendapatkanmu. Dan beberapa hari terakhir ini aku pergi, juga karena inginku mempelajari lebih dalam agamamu, agar ketika kita dapat bersatu, aku mampu menjadi imam yang baik untukmu dan anak-anak kita. Andaikan engkau tahu apa yang sedang aku perjuangkan, Menuk.” (2011: 123).  

Tahun 2011, Pasar Baru berubah nama menjadi Pasar Soleh. Semua orang menghadiri peresmian Pasar Soleh ini. Hidup rukun dan bahagia.  

Bagian penutup
            “Allah tidak melarang kamu berbuat adil kepada orang kafir yang tidak memusuhimu.” QS. Al-Mumtahanah: 8

            “Kasihanilah sesamamu, seperti kamu mengasihani dirimu sendiri.” Matius 22: 36 – 40.
            “Cinta sejati tidak pilih kasih. Tak bersyarat, tak melekat, dan selalu ingin berbagi pada sesama.” Budhist.

            Dengan demikian, dalam film dan novel ini benar-benar digambarkan kebhinekaan yang ada di Semarang atau yang terjadi di Indonesia pada umumnya. Demikianlah pandangan perempuan terhadapa perbedaan agama. Tiga tokoh perempuan yang berperan banyak dalam film dan novel ini memiliki toleransi beragama, menghargai hak sesama, hak untuk memilih yang diyakininya, memiliki keimanan jiwa dan raga atau istiqomah terhadap agama yang telah dipilhnya, saling tolong-menolong, sehingga terwujud indahnya keberagaman dalam hidup beragama.

Unpad, 13 November 2012
Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan


Referensi
Yendra, Melvy dan Andriyati. 2011. Harmoni dalam “?”. Jakarta: Mahaka Publishing.
Film “?” yang disutradari Hanung Bramantyo. 2011.

Komentar