Konflik dalam Narasi dan Kehidupan



Konflik dalam Narasi dan Kehidupan
           
Dalam sebuah narasi, cerita mengalir melalui lintasan alur. Narasi dalam arti khusus adalah cerita (susunan peristiwa dalam alur atau plot) yang di dalamnya melibatkan tokoh, setting, narator, point of view, dan gagasan yang menjadi dasar atau aspek tematik. Dalam arti luas narasi adalah logika atau paradigma zaman (grand narrative). Narasi adalah penuturan yang tertata dan berurutan yang mengklaim diri sebagai rekaman suatu kejadian. Narasi adalah bentuk terstruktur yang digunakan suatu kisah untuk mengajukan penjelasan tentang bagaimana dunia berjalan.
Narasi memberi kita kerangka pemahaman dan aturan-aturan referensi (rules of  reference) mengenai bagaimana tatatanan sosial dibentuk dan dalam melakukan hal ini  memberi kita jawaban atas pertanyaan: bagaimana kita seharusnya hidup (Barker, 2005). Sedangkan Ricoeur menyebutkan, narasi adalah aktivitas manusia yang diartikulasikan melalui tanda-tanda, hukum, dan norma. Adapun Lyotard menjelaskan, narasi adalah inti pengetahuan (tradisional) yang bisa dibedakan dari sains  (pengetahuan modern). Dengan demikian, narasi dapat disebut juga sebagai sebuah cerita secara khusus memiliki struktur naratif dan merupakan kerangka pemahaman yang dapat menuntun jalan hidup.
Aristoteles menyebutkan, struktur dramatik secara berurutan meliputi eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks, dan resolusi. Begitu pun dengan kehidupan. Manusia lahir (seperti dikenalkan pada dunia) kemudian hidup (mengalami konflik), menjalani kehidupannya, dan meninggal dunia (resolusi hidupnya). Hidup ini seperti narasi atau narasi memang membentuk kehidupan.
Gambaran tentang konflik dapat dilihat dalam lakon satu babak berjudul Kuburan Laut karya John Millington Synge. Lakon ini disutradarai Fathul A. Husein dan pernah dipentaskan di STSI. Lakon ini menyuguhkan konflik dari awal hingga akhir. Tak menyediakan ruang untuk bernapas atau sekadar tersenyum menikmati alur cerita. Inikah drama tragedi itu. Adegan demi adegan menyuarakan tentang kematian, kehilangan, harapan, dan ketakrelaan untuk ditinggalkan.
***
Dalam sebuah narasi, kehadiran hero menjadi sangat penting untuk mengatasi konflik. Hero merupakan sosok kepahlawanan yang berusaha melerai konflik. Kebutuhan konflik akan sebuah cerita tidak hanya pada konflik itu sendiri yang membuat cerita menjadi menarik, konflik bukan berarti pertentangan, keinginan terhadap sesuatu dapat pula membangun konflik. Hidup ini terjadi karena konflik. Dalam kesusastraan, konflik menjadi sangat penting untuk membangun sebuah cerita. Jika tak ada konflik, tak ada tujuan. Sekalipun drama Becket yang absurd dirasa tanpa konflik, namun absurditas itu sendiri membangun konflik. Ketakjelasan akan tujuan hidup menjadi konflik.
Dalam sastra klasik, epos Mahabharata dan Ramayana terdapat tokoh hero sebagai tokoh yang diposisikan untuk melerai konflik. Hero merupakan representasi hasrat akan keidealan bagi pengarang maupun pembaca. Wacana dominan yang dibangun memosisikan hero sebagai tokoh yang diagungkan dan tokoh yang dipahlawankan. Pengetahuan pengarang menjadi ideologisasi realitas yang direpresentasikan dalam tokoh rekaan, baik protagonis maupun antagonis, sehingga tokoh hero dalam Ramayana dan Mahabharata menjadi tokoh yang dimitoskan. Tokoh yang dipercayai akan kesaktian dan kepahlawanannya. Ketika epos itu tersebar bersama mitos yang melingkupinya, maka mitos tersebut membentuk tradisi. Tradisi yang lahir dari kebiasaan masyarakat, yang peristiwanya mengalami pengulangan. Seperti yang dikemukakan Bhartes bahwa frekuensi pengucapan yang tinggi menjadi tradisi, menjadi mitos. Dengan tersebarnya Ramayana dan Mahabharata dari India dan diterima dengan baik oleh masyarakat tradisional Indonesia, maka di beberapa kalangan, terutama pecinta wayang, tokoh-tokoh hero dalam dua kisah klasik tersebut menjadi mitos yang diyakini kebenarannya.
Dalam karya sastra, konflik melekat antara tujuan dari dua atau lebih karakter atau kekuatan. Konflik menciptakan ketegangan dan minat dalam cerita, resolusi konflik menciptakan penutupan yang mungkin atau tidak mungkin terjadi pada akhir cerita. Konflik dalam karya sastra mengacu pada perbedaan karakter tokoh yang terdapat dalam narasi. Konflik paling terlihat antara dua atau lebih karakter, biasanya protagonis dan antagonis, musuh dan penjahat, tetapi terjadi dalam berbagai bentuk (wikipedia).
Konflik senantiasa hadir dalam kehidupan, baik kehidupan nyata maupun khayalan, diminta ataupun datang dengan sendiri. Manusia hidup dalam konflik dan konflik itulah yang menghidupi manusia. Tanpa konflik hidup ini tidak akan menjadi ramai dan dinamika di dalamnya menjadi bergelombang, sehingga adanya konflik yang dinarasikan atau konflik bernarasi menjadikan kehidupan ini semakin beragam rasanya.

Sumber: 
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang

Komentar